BUKU BUKAN BUKU
PENDAHULUAN
( PROLOG)
RIBETNYA MERAWAT DEMOKRASI
Setiap bangsa, terlebih yang sedang mengalami perubahan tatanan kekuasaan yang mendasar, memerlukan sebuah cita-cita besar untuk mempertahankan eksistensi, survivalitasnya, serta mencapai cita-cita yang diimpikan bangsa yang bersangkutan. Gagasan luhur tersebut menjadi absolut karena bangsa yang bersangkutan harus menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi, memberi inspirasi, serta mempersatukan mereka mewujudkan kebahagiaan bersama. Upaya tersebut memerlukan tekad serta perjuangan terus menerus, mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa beragam, baik dari perspektif satus sosial, kebhinekaan yang melekat kepada identitas yang sifatnya kodrati, serta keyakinan.
Heterogenitas yang didasarkan atas sentimen asal usul dan kepercayaan sangat rawan terhadap konflik karena pertarungan politik berpotensi menjadi sangat tidak rasional; sebab glorifikasi dan keunggulan kelompok satu dengan lainnya tidak mempunyai ukuran yang masuk akal, dan oleh sebab itu sulit dikompromikan. Dalam sejarah umat manusia perbedaan primordial yang dijadikan sarana berburu kekuasaan menjadi awal dan penyebab perang saudara yang berdarah-darah dan saling mematikan.
Namun demikian perjuangan bangsa Indonesia sebagai nasion yang terdiri dari berbagai ‘bangsa’ (etnisitas) sangat beruntung karena mempunyai modal sosial dan modal kesejarahan yang panjang. Berdasarkan modal tersebut, melalui negosiasi yang kadang-kadang cukup keras dan melelahkan, namun disertai dengan semangat dan jiwa yang luhur, para pendiri bangsa berhasil merumuskan pemikiran-pemikiran besar yang sarat dengan nilai-nilai mulia bangsa sebagai dasar, ideologi, dan falsafah bangsa. Titik kulminasi semangat para pendiri negara untuk membangun bangsa dan negara ditandai dengan ditemukannya jawaban terhadap permasalahan ideologi, yakni Pancasila. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila adalah kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Ia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur yang digali dari akar budaya bangsa. Keutamaan yang mencakup seluruh kebutuhan hak-hak dasar dan azasi manusia secara universal sehingga dapat dijadikan landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang heterogen.
Kesepakatan seluruh bangsa tersebut menjadi sangat monumental, karena kelompok-kelompok yang mempunyai perbedaan ideologi yang bersandarkan sentimen primordial bersepakat lebih mengutamakan kepentingan umum dan mengesampingkan kepentingan sempit mereka. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai yang digali dari kearifan bangsa tersebut sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Dalam perspektif penataan negara, para pendiri negara mencoba menggali nilai-nilai luhur bangsa yang menjadi alternatif dari pertarungan ideologi besar saat itu, yakni liberalisme yang mengutamakan kebebasan individu, dan sosialisme yang menekankan kolektifitas. Upaya tersebut bermuara pada kesepakatan; Bapak dan Ibu bangsa bertekad mengelola kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan prinsip daulat rakyat atau yang secara populer disebut demokrasi.
Euphoria dan dinamika demokrasi membahana pasca reformasi politik akhir tahun 1990-an. Namun kegairahan tersebut juga dihantui praktik politik nasional selama hampir tiga dekade, yang tidak pernah sepi akan gejolak politik yang memakan saraf karena berpotensi terjadi kerusuhan sosial. Misalnya, situasi politik menjelang Pemilu 1999. Pemilu pertama yang diselenggarakan Pasca Reformasi dibayangi kekhawatiran eskalasi kerusuhan yang mengancam eksistensi bangsa dan negara. Kecemasan amat beralasan, mengingat beberapa tahun sebelumnya, masyarakat mengalami berbagai kerusuhan sosial bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan korban ratusan jiwa melayang tanpa dapat diungkapkan sebab-sebabnya dan siapa dalangnya. Sebagai contoh peristiwa Situbondo Oktober 1996, Tasikmalaya Desember 1996, Rengasdengklok Januari 1997, Sanggau Ledo Pontianak akhir 1996-awal 1997, Ujung Pandang September 1997, dan berpuncak pada peristiwa Mei 1998 yang mengerikan dan penuh misteri.
Antisipasi penyebab kerusuhan, diperkirakan Parpol hanya akan menjual sentimen primordial dan ketokohan dalam memperebutkan suara di tengah masyarakat yang tingkat saling curiganya amat tinggi. Ternyata dugaan itu meleset. Pemilu dapat diselenggarakan dengan baik dan korban yang jatuh pada Pemilu 1999 jauh lebih sedikit dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya yang direkayasa penguasa. Pemilu yang dianggap paling demokratis sejak Pemilu 1955. Dalam perspektif makro, merebaknya romantika demokrasi karena manajemen politik tersebut memuliakan kekuasaan, serta kehadirannya mempersyaratkan hadirnya nilai-nilai yang menghargai martabat manusia. Namun yang tidak kalah penting adalah penetrasi ideologi individualisme, liberalisme, kapitalisme, persaingan bebas, serta globalisasi sebagai roh perburuan kemakmuran yang sangat dominan setelah perang dunia kedua. Terlebih setelah jatuhnya Uni Soviet, banyak negara yang terpikat dengan retorika demokrasi sehingga semakin meningkatkan gelombang demokrasi; meskipun tidak sedikit terjadi arus balik, kembali menuju otoritarian atau anarki.
Setelah lebih kurang dua dekade eksperimen berdemokrasi, keyakinan terhadap “keajaiban” daulat rakyat sebagai pilihan alternatif yang dianggap lekat dengan nilai-nilai kemanusiaan, secara gradual mengalamai tingkat kekeroposan yang akseleratif. Kualitas lingkungan kehidupan politik yang sarat dengan transaksi kepentingan dan politik uang serta perilaku sebagian politisi yang tamak dan rakus telah memproduksi limbah politik beracun. Toksin itu mencemari dan membuat tandus Ibu Pertiwi yang sedang menyemai benih-benih peradaban politik. Akibatnya, rakyat hanya menjadi obyek politisi mengejar ambisi mereka. Demokrasi semakin kehilangan validitasnya sebagai intrumen politik mencapai kebahagiaan karena dilumpuhkan oleh mashab populisme dan pasca kebenaran yang mengobrak-abrik nalar masyarakat. Pembangunan lembaga-lembaga politik semakin gontai dan tertatih-tatih menghadapi gelombang kedua mashab yang melanda dunia dan mampu mengobrak-abrik nalar publik, terutama di dorong oleh tingkat akselerasi teknologi digital.
Dinamika demokratisasi dalam bayang-bayang pragmatisme di Indonesia pasca reformasi juga ditandai dengan tingkat pendangkalan yang pesat, sehingga demokrasi yang maknanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan otentik, disetarakan dengan sederet angka mati. Ideologi pargmatisme yang berlebihan serta mengagungkan dan memuliakan materi bermuara kepada tindakan merayakan kedangkalan. Fenomena yang oleh oleh Frank Furedi (2006) dalam bukunya “Where Have All the Intellectuals Gone?:”Confronting 21st Century Philistinism”, disebut philistinism. Perilaku, kebiasaan, atau watak yang cenderung merendahkan etika dan budaya, anti intelektual, mengabaikan keindahan dan estetika, pongah tetapi berwawasan sempit. Dalam perspektif ini angka lebih mulia dari manusia. Kedaulatan rakyat seakan lumpuh oleh kedaulatan uang. (Khrematokrasi, Setya Wibowo, A; Basis, nmr 05-06, 2014). Membiarkan pemuliaan kedangkalan, berarti menyediakan jalan lapang menuju negara otoritarian atau anarki sosial. Padahal harapan pemilih adalah memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit pemilih yang harus berjalan kaki berkilo-kilo meter atau medan yang sangat sulit, untuk menyampaikan harapan dengan memilih pasangan Capres pilihannya. Harapan dari pemegang tertinggi kedaulatan.
Praktik politik uang dan populis menggiring bangsa ini menuju dimensia kolektif yang menggoyahkan eksistensi dan survivalitas Negara Pancasila. Peranan kapital telah merajah negara melalui transaksi kepentingan antara pemilik modal dan para pemutus politik. Hasrat perburuan kekuasaan yang didorong oleh gelora jiwa yang menggebu dengan hasrat menikmati kekuasaaan, semakin menambah kerumunan orang pandir yang korup merusak negara.
Medan politik sesak dengan politisi yang memburu jumlah perolehan suara dengan segala cara. Kedaulatan rakyat ditukar dengan kertas berangka (mata uang), bukan karya nyata dari sebuah gagasan atau cita-cita. Mereka, para pemuja angka, mengganggap angka sebagai barang keramat yang dapat mengubah kehidupan secara tiba-tiba menjadi bergelimang harta dan kuasa. Semakin besar angka yang diperoleh, semakin besar kekuasannya. Dalam persaingan yang sengit didorong oleh semangat dan praktik transaksi kepentingan, pertarungan politik yang seharusnya beradab, menjadi persaingan merebut perolehan angka dengan saling membinasakan. Lawan politik yang seharusnya menjadi partner dalam memilih kebijakan paling baik bagi kemaslahatan rakyat, justru dianggap sebagai musuh yang harus dilibas.
&&&&
Demokrasi moderen adalah demokrasi perwakilan, bukan utopia yang memimpin, tetapi rakyat seluruh negara menjadi penguasa. Daulat rakyat diwakili oleh mereka yang dipilih oleh rakyat untuk mengelola kekuasaan negara untuk membuat kebijakan yang bertujuan mewujudkan kebahagiaan bersama. Kualitas keterwakilan itu yang mengakibatkan demokrasi secara eksistensial melekat kontradiksi antara government ability (Pemerintahan yang efektif) dan representativeness (keterwakilan). Tidak ada jaminan para wakil rakyat benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Selalu terjadi kemungkinan lembaga perwakilan rakyat justru memasung kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu sejak lahir demokrasi sudah mempunyai cacat bawaan, yaitu defisit representasi. Dalam Bahasa Wisnton Churchil yang sangat terkenal, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling buruk, hanya lebih baik karena yang lain lebih buruk.
Tanpa roh yang menjadi modal sosial dan mengutamakan kepemihakan kepada kepentingan rakyat. Ia adalah bentuk dari kekuasaan yang dijalankan sewenang-wenang karena merusak basis konsensus dan kesetaraan, tetapi ditaati publik karena mereka yang mewakili (wakil rakyat) dianggap sosok yang bermartabat, jujur, dan kompeten. Biang rezim politik yang despotis adalah parlemen yang tidak representatif sehingga tidak menghasilkan kebijakan yang memihak rakyat.
Politisi terjebak bukan hanya penikmat kekuasaan, melainkan juga pemadat nikmat kuasa yang sudah kehilangan kendali moral, etika, perilaku juga hati serta peradaban dan absennya kemauan baik serta rasa malu. Kedaulatan rakyat dikerdilkan maknanya menjadi sekadar Demokrasi Esoteris (Esoteric Democracy). Demokrasi yang ditafsirkan segelintir orang sesuai dengan interes mereka. Gejala tersebut membenarkan dalil Nietzsche, pemilu adalah puncak manifestasi ”naluri kerumunan manusia” (popular elections were the ultimate expression of the herd instinct). Karakter utamanya, gampangnya sesama anggota terhipnotis perilaku satu sama lain sehingga mudah terpancing emosinya untuk melakukan anarki. Praktik politik selama satu setengah dekade telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meyakinkan, para politik elite secara anarkis membabi buta menguras kekayaan negara untuk ongkos transaksi kekuasaan.
PraFenomena ini dalam terminologi Condorcet disebut /indirect despotism/. Ia mengatakan, agen kekuasaan despotik yang baru adalah parlemen. Hal itu terjadi ketika aspirasi publik tidak lagi benar-benar terwakili dalam parlemen atau telah terjadi ketimpangan (kepentingan) antara rakyat dan para wakilnya. Kutipannya :The agent this new kind of political despotism was the parliament, … the despotism of ”the legislative body takes place when the people are no longer truly represented or when it becomes too unequal” to them/ (Condorcet, /Representative Democracy: Principles and Genealogy/, 2006). Agar demokrasi perwakilan tak mereduksi kedaulatan rakyat, para wakil rakyat dan rakyat harus mampu membentuk dan mengekspresikan kemauan politik yang sama. Tanpa konkurensi aspirasi antara rakyat dan wakilnya, lembaga perwakilan rakyat akan menjadi oligarki politik yang mengejar kekuasaan dan menindas rakyat. (Nadia Urbinati, 2008, Representative Democracy, Principle and Genealogy).
&&&&
Praktik daulat rakyat lebih dari dua dekade terakhir, para elit politik, terutama mereka yang duduk di lembaga perwakilan rakyat, semakin mengabaikan suara rakyat. Institusi tersebut sudah kedap terhadap aspirasi rakyat. Perilaku politik mereka secara kasat mata dapat dilihat, antara lain melalui kinerja lembaga penampung suara rakyat, DPR, pada tahun 2015. Misalnya, sepanjang perjalanan reformasi politik, kinerja DPR periode 2014-2019, pada tahun 2015 adalah yang paling buruk dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya. Sementara itu dalam kasus pelanggaran etika, tidak kalah menyedihkan. Sebanyak 18 perkara melibatkan anggota dan 2 perkara melibatkan pimpinan DPR di Majelis Kehormatan DPR ( MKD).
Kehidupan politik riuh tanpa ruh etika, hanya mengumbar retorika dan membangun citra, seperti manusia tanpa tulang rusuk, lunglai tanpa daya, muaranya rakyat semakin sengsara. Politik yang bising hanya menguras energi bangsa. Oleh karena itu belajar dari kegaduhan politik selama ini, suara rakyat harus lebih terkonsolidasi dan fokus sehingga mampu mengontrol ambang batas kebisingan politik. Gema suara rakyat harus jauh melampaui kegaduhan politik yang bersumber dari para elit politik. Harus dicegah jangan sampai tubuh politik mengidap penyakit moral insanity, penyakit kelainan jiwa dan buta etika. Manipulasi para elit politik yang mengobarkan propaganda untuk memenuhi hasrat kuasa, hanya menempatkan rakyat sebagai budak. Namun para budak tersebut semakin lama tidak dapat dikendalikan sehingga akan menghasilkan pemerintahan oleh gerombolan orang yang tidak mempunyai kompetensi memerintah alias mobokrasi. Kemaruk kuasa selalu dapat memporak perandakan negara.
Demokrasi mereduksi manusia Indonesia haya setara dengan angka. Para elit politik menggerakan rakyat dengan mengeksploitasi hasrat instingtual dan sentimen primordial demi ambisi politik. Berbagai macam teori dicoba untuk menjelaskan gejala kebencian primordialistik, terutama kelompok yang merasa inferior dan termarjinalkan. Salah satunya adalah permenungan Nietzcshe tentang filosofi dan psikologi asal-usul serta silsilah dendam kesumat atau biasa disebut ressentiment (Setyo Wibowo, Majalah Basis, nomor 03-04 thn ke 65, 2016). Untuk mempermudah menjelaskan gagasannya, ia mempergunakan metafora elang, sebagai binatang perkasa yang kodratnya pemangsa dan domba yang ditakdirkan sebagai makluk yang lemah, serba kalah, merasa tersingkirkan, dizolimi, tak berdaya, iri, dengki, hina, dan frustrasi. Pokoknya gerombolan domba merasa sebagai pecundang, sementara elang adalah pemenang. Gerombolan domba yang secara kodrati tidak berdaya menghadapi kedigdayaan Elang, mereka menciptakan ideologi tentang kebenaran. Inti filosofi nilai-nilai tersebut adalah kepasrahan, tidak melakukan perlawanan, mengalah dengan harapan serta keyakinan Tuhan yang akan membalas dan menghadiahi surga. Dengan meyakini nilai-nilai tersebut, mereka merasa sudah setara bahkan merasa menang. Oleh karena itu para petinggi Gerombolan Pecundang selalu membakar pengikutnya dengan mengemas kebenaran semu dan janji masuk surga. Akibatnya, dalam perburuan nilai-nilai kebenaran subyektifnya, mereka justru menghalalkan cara bahkan melakukan revolusi yang meluluh- lantakan tatanan dunia agar masuk surga. Dalam tataran mondial, contoh kelompok tersebut antara lain kelompok yang menamakan diri kelompok Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS.
Rasa benci bukan lagi sekedar fenomena Psyche (kejiwaan), melainkan telah menjadi penanda bahaya, rasa tidak aman dan karena itu perlu kontrol yang memadai oleh negara atau komunitas politik tertentu. Niza Yanay, dalam bukunya The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse ( 2013), menegaskan teori kebencian harus diteorikan kembali menjadi ideologi kekuasaan dan control. Sebab secara empirik tangan-tangan tidak kelihatan (invisible mechanism) bergerayangan secara kasat mata menggunakan ”kebencian” sebagai strategi pertahanan dan politik. Ilustrasinya, peritiwa 11/9/2001 serangan bunuh diri di New York City dan Washington, D.C, dimana “kebencian” digunakan oleh Presiden Bush, negara-negara demokrasi Barat dan media sebagai retorika metaforatikal untuk mendapatkan legitimasi menyatakan negara dalam keadaan darurat, membentuk profil rasial (racial profiling) serta melakukan operasi militer perang dengan Irak. Hal yang sama adalah permusuhan kebencian antara Keturunan Yahudi Israel dan keturunan Yahudi Palestina.
Simtom ujaran kebencian dan permusuhan yang diproduksi oleh sentiment primordial, secara kasat mata terjadi dalam pilpres 2014 seta Putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017. Pelajaran utama yang dapat ditarik dari Putaran pertama adalah praktik demokrasi yang sarat dengan hasrat kemaruk pemburu kuasa dapat melibas tatatan negara. Nilai-nilai mulia sebagai basis ideologi identitas masyarakat sipil (Civil Identity) yang beradab, pontang-panting menghadapi ketamakan para pemburu kekuasaan yang mempersenjatai diri dengan senjata yang mematikan, SARA ( Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau Politik Identitas. Sedemikian kuatnya gelombang Politik Identitas SARA, seakan-akan negara telah digulung ombak kebencian dan permusuhan. Rakyat celingukan mencari keberadaan negara, karena tidak dirasakan kehadirannya. Sementara itu, Politik Identitas semakin membatu dan kasat mata. Masyarakat juga semakin bingung dan gelisah; alih-alih merasakan negara melakukan perlawanan sengit terhadap isu-isu SARA, tetapi justru rakyat heran karena sementara petinggi negara justru memberikan sinyal ancaman negara di depan mata adalah gerakan Komunisme. Manuver politik yang terbukti telah gagal total dipraktekan di seantero dunia.
Kompetisi politik yang didominasi oleh pertarungan Politik SARA, siapapun yang menang bukan hanya mengalahkan lawan politiknya, tetapi kekalahan Ke Indonesiaan, kekalahan Politik Ke-Bhineka Tunggal Eka-an yang inklusif. Harganya amat mahal. Pengalaman di negara-negara Eropa menjelang dan pasca Perang Dunia Pertama serta konflik Politik SARA pasca runtuhnya negara-negara Komunis, menelan korban puluhan juta manusia meninggal dunia dan penderitaan lahir batin bagi yang masih hidup. Diperlukan waktu puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk memulihkan luka batin rakyat akibat peri laku para Penggelojoh kekuasaan yang memanipulasi Politik SARA. Oleh Karena itu, bangsa Indonesia tak boleh membiarkan ideologi kebencian mengisi ruang publik dan jadi instrumen melakukan kompetisi politik. Fenomena ini sangat berbahaya karena akan menggerogoti pilar-pilar ke-Indonesiaan yang merupakan tonggak ideologis yang menopang kehidupan bersama.
&&&&
Praktek demokrasi sudah kebabalasan. Jebakan demokasi yang paling mudah menjerat kedauatan rakyat adalah dalil mulia dari demokrasi itu sendiri: kebebasan dan kesetaraan. Prinsip tersebut di- praktekkan secara sembarangan, kesetaraan dipersepsikan semua orang sama derajat, niat, dan komptensinya. Tidak peduli mereka yang ingin memuliakan kehidupan bersama atau mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan demi mengejar kekuasaan. Padahal dalil itu baru bermanfaat untuk mewujudkan kesejahteraan umum bila disertai dengan kualitas manusia yang mampu membatasi kebebasannya untuk merawat nilai dan aturan guna mewujudkan cita-cita bersama. Sementara itu praktik di negara-negara yang telah mapan demokrasinya, biasanya sebelum terjadi ledakan partisipasi rakyat, lembaga-lembaga politik telah dibangun sehingga dapat menampung partisipasi publik. Sebab, tanpa manusia yang mempunyai kompetensi serta tingkat pemahaman tentang hidup bersama, kebebasasan menjadi ekspresi kemerdekaan yang liar dan tidak bertanggung jawab, anarki. Kebebasan individual harus di- pagari oleh kepentingan umum melalui hukum dan lembaga-lembaga politik mampu mengelola partisipasi publik. Tanpa batas-batas yang jelas, para pemburu kekuasaan dengan sigap akan mengobarkan propaganda mengelabuhi rakyat membangun dukungan untuk kepentingan mereka sendiri. Prinsip kesetaraan bila dipraktikkan secara membabi buta justru merusak demokrasi karena kesetaraan dianggap semua orang sama derajat, niat dan kompetensinya. Tidak peduli mereka yang ingin memuliakan kehidupan bersama atau mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan demi mengejar kekuasaan.
&&&&&
Membenahi politik bersuara dapat dimulai dengan memahami perbedaan antara voice (suara) dan noice (jenis suara yang tidak dikehendaki, karena dapat merusak gendang telinga). Dalam khazanah ilmu politik dikenal political voice (suara politik), sebagai institusi yang amat penting dalam masyarakat demokratis. Voice berfungsi mengkomunikasikan kepentingan, preferensi serta aspirasi publik kepada pemegang kekuasaan sehingga mempunyai efek langsung terhadap kebijakan publik agar memihak rakyat. Bersuara secara kolektif mempunyai kekuatan yang ampuh mempengaruhi kebijakan publik. Oleh sebab itu tidak berlebihan kalau Albert Hirschman menyebutkan “Voice is polical action par excellence” , bersuara adalah wujud paling utama dari aksi politik (Albert O. Hirschman; Exit, Voice and Loyalty; 1970). Namun bersuara yang bermakna memerlukan proses pendidikan dan sosialisasi politik agar warga negara mempunyai civic competence (kompetansi berwarga negara). Kajian yang dilakukan oleh Erik Anderson ( 2012) : The Political Voice of Young Citizens:Educational Condition for Political Conversation School and Social Media, 2012),secara panjang lebar membahas tentang makna percakapan murid-murid di Swedia. Salah satu kesimpulannya, betapa pentingnya pendidikan dan sosialisasi politik terhadap generasi muda dipersiapkan agar mempunyai kompetensi berwarga-negara, karena dalam masyarakat demokratis, percakapan yang berkualitas sangat diperlukan. Bersuara yang menjadi bermakna, bukan bersuara yang memproduksi kebisingan.
Anjuran terakhir ini perlu mendapatkan perhatian karena rasa benci bukan lagi sekadar fenomena ‘psyche’ (kejiwaan), melainkan telah jadi penanda bahaya, rasa tidak aman. Karena itu, perlu kontrol oleh negara atau komunitas politik tertentu. Niza Yanay dalam bukunya, ‘The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse ‘(2013), menegaskan teori kebencian harus diteorikan kembali jadi ideologi kekuasaan dan kontrol. Itu karena tangan-tangan tak kelihatan bergerayangan secara kasatmata menggunakan ”kebencian” sebagai strategi pertahanan dan politik.
Tragedi “de-humanisasi” praktek politik yang merendahkan manusia Indonesia sama nilai dengan angka mati yang diungkapkan oleh Gus Mus (Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim), secara harafiah menyatakan sebagai berikut: “Pimpinan, anggota DPR, semua yang di atas harus jadi manusia dulu. Sekarang, orang berebut kekuasaan untuk apa? Setelah berkuasa juga mau apa? Banyak yang mementingkan ‘ngerebut kursinya dulu, baru mikir’. Setelah dapat kursinya apa yang mau dilakukan.” Menurut Gus Mus, menjadi manusia adalah mengenali dirinya dengan segala sisi-sisi kemanusiaannya sehingga mampu memanusiakan orang lain dan tidak menganggap dirinya sendiri yang paling benar.(Tempo.com, Jum’at, 28 Agustus, 2015).
Intinya, mereka belum menjadi manusia yang mampu bertahta (bersemayam, bertachta atau berdaulat) terhadap dirinya sendiri. Mereka belum mempunyai kompetensi moral untuk menjadi manusia yang mampu menyangkal dirinya sendiri (self-denial) mengusir pamrih pribadi, mengendalikan vorasitas (kerakusan), serta mempergunakan ketajaman nalar serta daya empati untuk mengendalikan nafsu mereguk kenikmatan kekuasaan. Lembaga wakil rakyat memerlukan manusia yang mampu mengontrol dorongan nafsu serakah, mempunyai kearifan, serta kompetensi penalaran yang benar, sehingga dalam mengelola negara, mereka lebih mengutamakan kepentingan bersama. Suara kenabian Gus Mus hampir dapat dipastikan bermakna demikian.
&&&&
Elit politik membentuk kasta baru karena mempunyai kapital untuk melakukan transaksi kekuasaan dan membeli kedaulatan rakyat. Fenomena menguatnya kasta politik tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi sumber pembusukan politik yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kajian Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nation Fails: The Origin of Power, Prosperity, and Poverty (2012) dapat dijadikan pelajaran. Dalil mereka, negara gagal bukan karena faktor kebodohan, geografi, dan kebudayaan. Variabel tersebut hanya terjadi di negara tertentu, bukan fenomena global. Kajian mereka menyimpulkan, penyebab vital negara gagal adalah merebaknya institusi politik dan ekonomi ekstraktif. Lembaga tersebut diciptakan elite politik, fungsi utamanya menguras kekayaan negara untuk kepentingan kekuasaan dan menindas rakyat. Negara-negara yang pernah jaya dan digdaya menjadi nestapa karena menjamurnya institusi politik dan ekonomi ekstraktif. Joseph Schumpeter (ekonom) menganggap merajalelanya institusi ekstraktif karena menolak fenomena yang disebut penghancuran kreatif (creative destruction). Proses penghancuran tatanan lama digantikan oleh tatanan baru dengan nilai dan teknologi baru serta lebih inklusif. Oleh sebab itu Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man (1992), mengingatkan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, demokrasi tidak dapat bekerja sebagaimana semestinya; diktator modern dianggap dapat lebih efektif mewujudkan kondisi sosial yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang stabil.
&&&&
Sejalan dengan kemajuan teknologi digital, validitas demokrasi perwakilan sebagai manifestasi kedaulatan rakyat semakin diragukan. Penegasan itu disampaikan oleh Noah Harari. Ia menyatakan tingkat percepatan manusia dalam rekayasa bio-organisme mempertanyakan kembali tentang sistem politik kedepan. Dikutip : “ We can not say what kind of political system it will have, how its job market will be structured, or even what kind of bodies its inhabitants will possess. ( 67). Lebih jelas lagi:
’’in the twenty first century might decline and even disappear …institutions like elections, political parties and parliaments might become obsolete, not because they are unetcical, but becase they can’t, recess data efficiency enough”….( p. 436-436). “
Gejala ini dalam buku terbarunya Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21st Century, 2018, disebut Digital Dicatorship (Kediktatoran Digital p 61). Ia mendalilkan teknologi digital akan sangat berguna untuk menyejahterakan masyarakat. Namun di tangan seorang yang sangat ambius akan menyebabkan bencana yang mematikan. Penguasa politik tiranikal dapat melakukan ekspansi ke negara lain dengan menciptakan robot-robot melalui program alogarithma, berbasiskan maha data ( Big Data) yang besarannya melimpah ruah serta amat beragam. Rejim ini juga dapat mengontrol ketat warga negara yang secara emosional tidak senang kepada pemimpinnya. Bermodalkan gelang biometric, (Biometric bracelet) penguasa dapat mengetahui warga yang muak melihat fotonya. Prajurit dari robot menihilkan emosi, empati serta nilai-nilai kemanusiaan. Loyalitas mereka absolut terhadap perintah Masternya. Padahal dalam perang, meskipun membunuh musuh adalah absah, tetapi ada rule of engagement yang merupakan aturan perilaku agar para prajurit tidak sewenang-wenang terhadap lawan.
&&&&&&
Perdebatan tentang pengelolaan kekuasaan negara dan pemerintahan telah berusia ribuan tahun lalu, didiskusikan mendalam antara Socrates dan Glaucon (sahabatnya). Wacana yang dapat dijadikan pelajaran tersebut dikumpulkan Plato dalam bukunya Republic ( Editor Chris Emyliyn-Jones, dan William Freddy: Harvard University Press, London, England, 2013). Dalam bab VIII (hal 107 sd 305), memuat perdebatan tentang kekuasaan. Sementara itu di bagian pengantar ( halaman xxx), structure of the state and soul; ( halaman xxx). Ia mendalilkan bentuk tatanan kekuasaan, mulai dari Oligarki, demokrasi, dan tirani pararel dengan tata kelola kalbu manusianya, terutama para elit penguasa. Kualitas pengelolaan kekuasaan negara sejalan dengan mutu pengelolaan moral para penyelenggara negara. Ia masih menambahkan, bila tatanan kekuasan dikangkangi oleh para perburu uang (money grubbing), dapat dipastikan jabatan publik menjadi komoditas. Orang kaya dipuja, mereka yang miskin dikutuk. Mengingat akar permasalahan terletak pada tataran pengelolaan jiwa, maka tidak ada resep instan untuk mengobati penyakit tersebut.. Hadirnya negara yang bermartabat akan mewujudkan keadilan dan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melawan ideologi apapun, termasuk ideologi kapitalisme, komunisme, serta politik identitas. Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengelola kedaulatan rakyat adalah problem universal sejarah umat manusia membangun kehidupan bersama. Tata kelola gerak jiwa para pemutus politik yang mengutamakan nikmat kuasa, akan menghasilkan tatanan kekuasaan yang rapuh, korup dan menghancurkan. Modal meraih kekuasaan adalah kapital, bukan cita-cita mulia.
Solusi harus dilakukan jangka panjang dengan melakukan pendidikan hasrat manusia Indonesia dalam mengelola gelora dan gerak jiwanya. Pendidikan hasrat akan menghasilkan manusia yang terasah nurannya, sehingga secara gradual pengelolaan negara pararel dengan pengolaan jiwa yang memuliakan kekuasaan. Mewujudkan demokrasi dalam masyarakat yang plural menjadi cukup rumit karena membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme; serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi bangsa dan negara. Hadirnya negara yang bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melawan idologi apapun, termasuk ideologi kapitalisme, komunisme serta politik identitas.
Mengelola kerumitan kedaulatan rakyat sebagai basis pengorganisasian kekuasaan untuk mewujudkan kebahagiaan bersama dapat juga dapat ditelusuri mulai dari gagasan republicanism, abad ke enam sebelum tarih masehi, diteruskan kurun waktu Renaissance, Revolusi Perancis dan Amerika sampai dengan menemukan bentuk yang disebut demokrasi. Ia kemudian menjadi ikon tata kelola kekuasaan yang berbasis kedaulatan rakyat, tertib politik yang memuliakan peradamaian kemanusiaan dan manusia. Sebagaimana gagasan republicanism, demokrasi juga mengalami dinamika gelombang pasang surut yang menandai kompleks dan rumitnya memperjuangkan pengelolaan kekuasaan yang beradab.
&&&&
Agenda mendesak adalah sebagai berikut. Pertama, mewujudkan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus menjadi pilihan mengingat demokrasi dalam dirinya selalu mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang efektif) di satu pihak dan representativeness (keterwakilan) di pihak lain. Secara lebih rinci prinsip-prinsip tersebut
harus dituangkan dalam kebijakan politik perundangan komprehensif, kohesif serta koheren.
Salah satu opsi adalah mengadopsi sistem Pemilu konkuren (concurrent elections ). Variasinya cukup beragam dan memilih varian yang tepat sangat mempengaruhi hasil dari coattails effect. Opsi yang mungkin cocok adalah pemilu konkuren untuk pilpres dan pileg mulai dari pusat sampai daerah dilakukan secara bersamaan, baru kemudian dilakukan pilkada untuk memilih kepala daerah untuk satu provinsi. Artinya, pemilu serentak tingkat lokal ini khusus memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara bersamaan di suatu provinsi dan jadwalnya tergantung dari siklus pemilu lokal di setiap provinsi yang telah disepakati.
Agenda berikutnya adalah Reformasi partai politik. Peningkatan kualitas pertama-tama adalah dengan melakukan pengkaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang kapabel, akuntable, mempunyai komitmen, kepekaan serta ketrampilan menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan melakukan kaderisasi dan pendidikan politik secara reguler maka kapasitas partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dan lain-lain juga akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang kredibel.
Agenda ini dilakukan melaui rute sebagai berikut. Pertama, kontrol dana parpol. Kalau dibiarkan partai menjadi lembaga pemburu rente yang tidak hanya menggerogoti kredibilitasnya tetapi bahkan dapat melumpuhkan kehidupan demokrasi. Oleh sebab itu pengaturan dana partai sangat penting dilakukan, karena tiadanya peraturan yang jelas dan tegas mengenai keuangan partai, bukan hanya mengakibatkan ‘vote buying’, tetapi yang lebih berbahaya adalah akses pemilik kapital terhadap penguasa atau calon penguasa-penguasa di dalam partai politik. Banyak dugaan dana partai selain dari para pemilik modal yang ingin selalu mempertahankan dan meningkatkan keuntungannya, disedot pula dari sumber-sumber kekayaan negara melalui akses parpol birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu lembaga perwakilan rakyat sebagai tempat bertemunya berbagai kepentingan politik selalu tidak tegas dalam menyusun rumusan tentang dana parpol.
Agenda raksasa ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh negara sendiri. Masyarakat sipil, kalangan ulama, masyarakat kelas menengah, pelaku usaha, pokoknya semua komponen bangsa harus terlibat dalam gerakan kebangsaan. Kekuatan bersama ini harus membangkitkan rasa merasa menjadi Indonesia dengan menciptakan iklim yang sehat dan jeli memanfaatkan momentum, misalnya peringatan-peringatan hari besar nasional dan hari besar lain sebaiknya dimanfaatkan untuk menggelorakan gerakan ini. Selain itu Presiden dan Wakil Presiden, sebagai tokoh sentral dan simbol negara, perlu rajin bersiliaturahmi dengan berbagai kalangan masayrakat, para ulama, pemimpin-pemimpin serta tokoh-tokoh masyarakat di Pusat dan daerah.
Gerakan besar-besaran ini diharapkan secara pelan-pelan mendorong masyarakat untuk mulai merasakan pertama-tama, aku adalah bangsa Indonesia yang ditakdirkan lahir sebagai suku atau ras tertentu serta memeluk agama tertentu pula. Selain itu kompetisi politik dilakukan dengan semangat saling rasa merasakan sebagai warga negara Indonesia yang betekad bersatu padu mewujudkan kebahagiaan. Menjadi bangsa Indonesia bukan kebetulan, melainkan upaya keras para pendiri negara yang menyadari Indonesia adalah bangsa yang beragam tetapi harus bersatu dalam mewujudkan cita-cita bersama. Oleh sebab itu seluruh komponen bangsa Indonesia dilarang keras ‘kapok’ menjadikan Indonesia yang beragam tetapi tetap bersatu padu menuju kebahagian bersama.
&&&&&
BIBLIOGRAFI :
1. Albert Hirschman; Exit, Voice and Loyalty; 1970
2. Frank Furedi, “Where Have All the Intellectuals Gone?:”Confronting 21st Century Philistinism”, 2006
3. Niza Yanay, The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse, 2013.
4. Jack Snyder: Terjemahan oleh Parakitri Simbolon ,Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Etnis, KPG, 2003,
5. Niza Yanay, The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse, 2013.
6. Plato, (Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Chris Emyliyn-Jones, William Freddy: Republik; Harvard University Press, London, England, 2013.
7. Setya Wibowo, A; Khrematokrasi, Basis, nmr 05-06, 2014.
8. Grabow, Karsten dan Riek. E, Christian (eds.), Parties and Democracy, pp 110-111; Konrad-Adenauer-Stiftung e.V; Klingenhoferstrasse 23, D-10907 Berlin, Germany.
9. Hayek, FA; The Constitution of Liberty, Routledge & Kegan Paul Ltd, London EC4E 4EE.
10. Hirschman, Albert O., The Passion and The Interest: Political Argument for Capitalist Before Its Trial, Princeton University Press, New Jersey, 1997.
11. Hollifield, James F. & Jillison Calvin (eds), Pathways to Democracy: The Political Economy of Democratic Transitions, Routledge, London, 2000.
12. Huntington, Samuel P; The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991.
13. Jones, Michael E, Libido Dominandi: Sexual Liberation and Political Control; St Agustine’s Press, South Bend, Indiana, 2000.
14. Kristiadi, J.; Sistem Pemilihan Umum dan Representasi Politik dalam Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia; Bantarto Bandoro (eds), CSIS, Jakarta, 1995.
15. Kristiyanto, Eddy, OFM, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria, Penerbit Lamalera, Desa Wilirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, 2008;
16. Liphard, Arend (ed), Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, 1992.
17. Mainwaring, Scott, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Comparative Political Studies, Volume 26, No. 2, July 1993, pp 198-228.
18. Mainwaring, Scott & Soberg Shugart (eds): Presidentialism and Democracy in Latin America, Cambridge University Press, 1997.
19. Przewosrski, Adam (et.al): Democracy and Development: Political Institutional and Well-being in the World, Cambridge University Press,2000.
20. Przewosrski, Adam, Democracy and the Market: Political and Economics Reforms in Eastern Europe and Latin America, Cambridge University Press, 1991.
21. Montesquieu, The Spirit of Laws, diterjemahkan dan diedit oleh: Anne M. Cohler; Basia. Miller; Harold Stone; Cambridge University Press, New York, 1989.
22. Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence, penterjemah: Martin Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003.
23. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank Report: Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth, First Printing November 1989, manufactured in the United States of America.
Jakarta, Mei 2021