Oleh : J Kristiadi
BESOK pagi, Rabu, 15 Februari, sebagian rakyat Indonesia di 101 daerah akan memilih kepala daerah. Pilihan itu akan menjadi pertaruhan rakyat dalam lima tahun mendatang, apakah akan hidup semakin sejahtera atau justru sebaliknya, menjadi makin sengsara. Karena itu, masyarakat harus benar-benar menimba pengalaman pilkada langsung yang sejak tahun 2005 sampai 2016 telah berjumlah sekitar 1.400 kali.
Data menunjukkan, selama lebih dari 10 tahun, dari perspektif pemilih, secara umum rakyat Indonesia gagal memperoleh kepala daerah yang punya kompetensi manajerial dan moral untuk memenuhi harapan rakyat. Selama lebih dari satu dekade, kepala daerah yang dianggap berhasil dapat dihitung dengan jari. Bahkan, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sekitar 400 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersengat tindak pidana perkara korupsi selama kurun waktu itu.
Pengalaman pahit tersebut tak boleh berulang. Oleh sebab itu, dalam pilkada kali ini dan selanjutnya, pemilih harus benar-benar berpikiran jernih untuk menentukan kandidat yang mampu mengemban tugas dan mandate rakyat. Namun, hal itu tidak sederhana karena tidak jarang kompetisi politik amat panas dan disertai dengan adu siasat serta adu argument akal-akalan. Tidak jarang wacana publik terperangkap pada tingkat batas ambang kewarasan publik yang nyaris menyentuh titik nadir. Untuk memitigasi ekses kampanye serta akal bulus tim sukses para kandidat, sebaiknya pemilih memperhatikan beberapa hal yang mungkin dianggap kuno, tetapi tidak pernah basi.
Pertama, dilarang hanya mendengarkan janji, terlebih janji yang terlalu muluk. Ini karena mereka yang mengumbar komitmen selangit biasanya cepat melupakan niatnya. Rakyat sebaiknya berpikir jernih dan mencoba menggali rekam jejak pasangan calon. Melalui penelusuran itu, setidaknya diketahui simtom-simtom perilaku para kandidat, terutama daya tahan dari godaan kekuasaan.
Biasanya, mereka yang telah membuktikan selagi berkuasa tidak menyalahgunakan kekuasaan pantas mendapatkan kepercayaan dan kehormatan dari rakyat mengelola kekuasaan. Rakyat harus kedap terhadap bujuk rayu yang sering dirangkai dengan kalimat yang membius, tetapi sebenarnya jerat yang menyandera rakyat. Kata-kata indah hanya sensasi sesaat untuk meninabobokan kesadaran rakyat.
Kedua, dilarang hanya percaya kepada perilaku santun, muka manis, memelas, merengek, sesambat, atau merasa dizalimi, dan sejenisnya. Menghadapi kandidat model begini justru harus ekstra hati-hati. Tidak mustahil di balik perilaku yang memikat itu sekadar cara menutupi inkompetensinya. Jurus politik semacam ini sebenarnya kejam karena mereka dengan topeng kesantunan sedang melakukan siasat cerdik untuk memanipulasi ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan masyarakat yang kurang paham kejamnya politik kekuasaan. Rakyat yang merindukan hidup sejahtera mudah terbius rayuan politisi bertopeng. Pada awal reformasi biasanya perilaku santun disertai dengan amplop dan bahan pokok sekadarnya, tetapi tampaknya jurus tambahan ini sudah diketahui rakyatsebagai pengelabuan sehingga tidak terlalu laku.
Ketiga, jangan memilih hanya karena rasa ”benci” terhadap kandidat lain. Perlu diingat, pilkada adalah kompetisi dengan tuntutan sportivitas tinggi. Bukan Perang Baratayudha yang harus saling mematikan. Justru yang terpenting adalah sportivitas itu sendiri. Kalah dan menang jadi sekunder karena kompetisi politik hasilnya adalah menang dan belum menang, bukan kalah. Apalagi, kompetisi ini akan selalu terjadi selama Indonesia masih jadi negara republik dan demokrasi.
Anjuran terakhir ini perlu mendapatkan perhatian karena rasa benci bukan lagi sekadar fenomena /psyche/ (kejiwaan), melainkan telah jadi penanda bahaya, rasa tidak aman. Karena itu, perlu kontrol oleh negara atau komunitas politik tertentu. Niza Yanay dalam bukunya, /The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse /(2013), menegaskan teori kebencian harus diteorikan kembali jadi ideologi kekuasaan dan kontrol. Itu karena tangan-tangan tak kelihatan bergerayangan secara kasatmata menggunakan ”kebencian” sebagai strategi pertahanan dan politik.
Ilustrasinya, peristiwa 11 September 2001 serangan bunuh diri di New York City dan Washington DC. ”Kebencian” dipakai Presiden Bush, Negara demokrasi Barat dan media sebagai retorika metaforatikal untuk mendapatkan legitimasi menyatakan negara dalam keadaan darurat, membentuk profil rasial (/racial profiling/), serta melakukan operasi militer dengan Irak. Hal yang sama adalah permusuhan kebencian antara keturunan Yahudi Israel dan keturunan Yahudi Palestina. Jadi, kebencian adalah konsep politik.
Karena itu, bangsa Indonesia tak boleh membiarkan ideologi kebencian mengisi ruang publik dan jadi instrumen melakukan kompetisi politik. Fenomena ini sangat berbahaya karena akan menggerogoti pilar-pilar keindonesiaan yang merupakan tonggak ideologis yang menopang kehidupan bersama.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Selasa, 14-02-2017.