Oleh : J Kristiadi
PUTARAN kedua Pilkada DKI Jakarta dimulai minggu ini. Pelajaran utama dari putaran pertama adalah praktik demokrasi yang sarat hasrat kemaruk (gelojoh) kuasa dapat melibas tatanan negara. Nilai-nilai mulia sebagai basis ideologi identitas masyarakat sipil (/civil identity/) yang beradab, terhuyung-huyung melawan ketamakan para penggelojoh kekuasaan yang mempersenjatai diri dengan senjata yang mematikan ”bermerek” SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) atau politik identitas.
Sedemikian kuatnya gelombang politik identitas SARA, seakan-akan Negara telah digulung ombak kebencian dan permusuhan. Rakyat celingukan mencari keberadaan negara karena tidak dirasakan kehadirannya. Sementara itu, politik identitas semakin membatu dan kasatmata. Masyarakat juga semakin bingung dan gelisah; alih-alih merasakan negara melakukan perlawanan sengit terhadap isu-isu SARA, rakyat heran karena sementara petinggi negara justru memberikan sinyal ancaman negara di depan mata adalah gerakan komunisme, yang terbukti gagal total di seantero dunia.
Kehadiran negara dirasakan setelah Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa praktik demokrasi dewasa ini sudah kebablasan. Ia menegaskan, demokrasi membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dalam bentuk suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA (Kompas.com, 24/2).
Presiden tampaknya sangat menghayati politik identitas semakin mengeras. Betapa mencemaskannya politik SARA, antara lain menjadi berita utama /The Jakarta Post/ (27/2), ”Muslim Residents Against Threats of No Burial Rites”, disertai foto mencolok memamerkan ancaman bersifat diskriminatif. Ilustrasi tersebut mewakili dahsyatnya gelombang politik SARA dan kegelisahan masyarakat terhadap ancaman politik identitas. Apabila Pilkada DKI Jakarta didominasi oleh pertarungan politik SARA, siapa pun yang menang bukan hanya mengalahkan lawan politiknya, melainkan juga keindonesiaan, kekalahan politik ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang inklusif. Harganya amat mahal.
Pengalaman di negara-negara Eropa menjelang dan pasca Perang Dunia I serta konflik politik SARA pasca runtuhnya negara-negara komunis menelan korban puluhan juta manusia meninggal dan penderitaan lahir batin bagi yang masih hidup. Diperlukan waktu puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk memulihkan luka batin rakyat akibat perilaku para penggelojoh kekuasaan yang memanipulasi politik SARA.
Demikian pula prinsip kesetaraan jika dipraktikkan tanpa pandang bulu justru dapat merusak demokrasi karena kesetaraan dianggap semua orang sama derajat, niat, dan kompetensinya. Tidak peduli mereka yang ingin memuliakan kehidupan bersama atau mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan demi mengejar kekuasaan.
Referensi pengelolaan kekuasaan dalam konteks manajemen pemerintahan untuk kepentingan umum telah ribuan tahun didis- kusikan mendalam antara Socrates dan Glaucon (sahabatnya). Wacana yang dapat dijadikan pelajaran tersebut dikumpulkan Plato dalam bukunya, /Republic/, Chris Emlyn-Jones dan William Preddy (editor), 2013. Dalam Bab VIII (hal 107-305), memuat perdebatan tentang kekuasaan. Pelajaran penting, antara lain, manipulasi para elite politik yang mengobarkan propaganda untuk memenuhi hasrat kuasa hanya menempatkan rakyat sebagai budak. Namun, para budak tersebut semakin lama tidak dapat dikendalikan sehingga akan menghasilkan pemerintahan oleh gerombolan yang tidak mempunyai kompetensi memerintah alias mobokrasi. Kemaruk kuasa selalu dapat memorakporandakan negara.
Mewujudkan cita-cita tatanan demokrasi dalam masyarakat plural karena identitas primordial sangatlah rumit. Jebakan demokrasi yang paling mudah menjerat kedaulatan rakyat adalah dalil mulia dari demokrasi itu sendiri: kebebasan dan kesetaraan. Prinsip tersebut baru bermanfaat untuk mewujudkan kesejahteraan umum jika disertai kualitas manusia yang mampu membatasi kebebasannya untuk merawat nilai dan aturan guna mewujudkan cita-cita bersama.
Praktik di negara-negara yang mapan demokrasinya, biasanya sebelum terjadi ledakan partisipasi rakyat, lembaga-lembaga politik telah dibangun sehingga dapat menampung partisipasi publik. Sebab, tanpa manusia yang mempunyai kompetensi dan tingkat pemahaman tentang hidup bersama, kebebasan menjadi ekspresi kemerdekaan yang liar dan tidak bertanggung jawab, anarkistis.
Kebebasan individual harus dipagari oleh kepentingan umum melalui hokum dan lembaga-lembaga politik yang mampu mengelola partisipasi publik. Tanpa batas-batas jelas, para penggelojoh kekuasaan dengan sigap akan mengobarkan propaganda, mengelabui rakyat, membangun dukungan untuk kepentingan mereka sendiri.
Agenda bangsa Indonesia membangun tatanan kekuasaan bermartabat adalah menyu- sun politik pendidikan yang jelas. Tujuannya, membangun watak generasi muda memahami dan loyal pada nilai-nilai yang menjadi landasan hidup bersama dalam keanekaragaman. Tanpa agenda tersebut, demokrasi justru akan luluh lantak oleh dalilnya sendiri. Oleh sebab itu, pilkada putaran kedua harus menihilkan propaganda yang mengobarkan kebencian dan permusuhan SARA agar Indonesia tetap kukuh sebagai bangsa yang memuliakan Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.[]
Pernah dipublikaskikan di KOMPAS Selasa, 07-03-2017.