Oleh : J Kristiadi
PENANTIAN rakyat Papua selama empat tahun yang mencemaskan akhirnya bersepakat membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dilantik 31 Oktober 2005 lalu.
Suatu lembaga yang mempunyai peran sentral dan vital agar UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dapat dilaksanakan. Sedemikian pentingnya peran MRP sehingga tanpa MRP Otsus Papua tidak dapat dilaksanakan.
Menuntut jiwa besar Terbentuknya institusi itu patut disyukuri, mengingat kendala yang menghadang pembentukannya amat mendasar dan menuntut jiwa besar bagi semua pihak agar lembaga itu dapat dibentuk.
Kendala pertama, saling curiga antara pemerintah pusat dan rakyat Papua. Pemerintah menganggap MRP adalah superbody yang dapat menjadi langkah awal Provinsi Papua menuju kemerdekaan. Karena itu, sejauh mungkin pembentukan MRP dihambat.
Kekhawatiran ini sebenarnya berlebihan mengingat Pasal 68 Ayat (2) menyebutkan dengan jelas, pemerintah (pusat) berwenang melakukan pengawasan represif terhadap semua jenis peraturan daerah Provinsi Papua dan Keputusan Gubernur.
Sementara itu, masyarakat Papua menganggap pembentukan MRP merupakan syarat mutlak. Tanpa MRP, Otsus Provinsi Papua tidak dapat dilaksanakan.
Masalah menjadi lebih kusut karena kehadiran Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) yang keberadaannya ditetapkan melalui kebijakan Presiden Megawati lewat Inpres No 3 Tahun 2003 tentang pemberlakuan atau percepatan UU No 45 Tahun 1999.
Eksistensi Provinsi Irjabar menjadi kontroversial karena oleh elite di Provinsi Papua kebijakan itu dianggap upaya memecah belah rakyat Papua. Perasaan itu kian tertanam karena ketidakjelasan (ketidaktegasan) Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU No 45 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945 tetapi substansinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Suatu putusan tidak sederhana untuk bisa dimengerti masyarakat biasa, termasuk masyarakat Papua.
Persoalan ini menggiring pendapat umum menjadi dua kutub: kalangan elite di Provinsi Papua yang tidak setuju keberadaan Provinsi Irjabar dituduh sebagai kelompok separatis. Sementara mereka yang setuju eksistensi Provinsi Irjabar dianggap pemerintah pusat sebagai nasionalis tulen, terlebih karena selalu menyatakan diri sebagai loyalis yang setia terhadap NKRI.
Pertentangan politik
Kedua, pertentangan politik tingkat lokal, terkait agenda pemilihan kepala daerah tingkat provinsi di Papua maupun Irjabar. Ini terkait kewenangan MRP dalam pilkada. MRP berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan atas bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Bagi elite politik (terutama kandidat gubernur/wakil gubernur)- yang merasa lebih diuntungkan bila pilkada dilakukan DPRP tanpa persetujuan MRP- mereka cenderung menghendaki pembuatan MRP tidak terlalu mendesak. Pertimbangannya, kehadiran MRP mungkin dapat mengganjal pencalonannya.
Namun, bagi mereka yang mempunyai kalkulasi politik, kehadiran MRP memberi peluang meraih kemenangan dalam pilkada. Misalnya, karena dekat dengan tokoh-tokoh adat dan sebagainya, mereka mendesak agar MRP segera dibentuk. Dengan demikian, bagi elite politik, MRP hanya menjadi komoditas politik guna mengejar kekuasaan.
Tentang proses pembentukan MRP, dilakukan dengan musyawarah dan secara berjenjang, mulai dari kampung hingga tingkat provinsi guna memilih wakil darikelompok adat dan wanita.
Sementara dari kelompok agama dipilih oleh lembaga keagamaan pada tingkat provinsi secara proporsional sesuai jumlah penganutnya. Jumlah masing-masing kelompok adalah 14 orang, sehingga jumlah total anggota MRP 42 orang.
Dengan terbentuknya MRP, diharapkan proses pengelolaan otonomi khusus Provinsi Papua segera dapat dilakukan dengan menyusun strategi percepatan pembangunan yang memihak kepada kepentingan rakyat Papua, misalnya pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.
Hal itu perlu dilakukan sebab sejak ditetapkannya UU Otsus Provinsi Papua, dana otsus yang dikucurkan ke wilayah itu mulai tahun anggaran 2002 hingga 2005 berjumlah triliunan rupiah. Bahkan, proyeksi dana otsus tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp 2 triliun. Tetapi jumlah anggaran yang amat besar secara numerik dan proporsional bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hanya dua juta,seakan hilang tanpa bekas.
MRP dan Irjabar
Kehadiran MRP diharapkan dapat menyelesaikan masalah krusial, menuntaskan status Irjabar. Ini penting mengingat PP No 6/2005 Pasal 73 menegaskan, eksistensi Provinsi Irjabar harus diselesaikan pemerintah dibantu MRP, Pemerintah Provinsi Papua serta DPRD. Agenda penting adalah pemilihan kepala daerah provinsi mengingat masa tugas Gubernur Provinsi Papua berakhir 23 November 2005. Sementara pemilihan Gubernur Provinsi Irjabar telah lama kosong dan harus dilakukan pilkada juga.
Aspek penting lain terbentuknya MRP, kehadirannya merupakan stimulus proses pembentukan nation Indonesia baru. Proses ini merupakan perkembangan nasion Indonesia yang semula dibentuk oleh negara dan bersifat unilatelaristik (sepihak). Akibatnya, negara menjadi dominan dan jargon kesatuan dan persatuan bangsa telah menjadi alat legitimasi negara (penguasa) mengatasnamakan persatuan dan kesatuan dapat bertindak apa saja.
Dominasi negara seperti itu memproduksi kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Akibatnya, setelah rezim otoriter jatuh, aspirasi kemerdekaan muncul di mana-mana, termasuk di Papua. Dalam merespons aspirasi itu, agar Papua tetap menjadi bagian Indonesia, dilakukan aneka negosiasi politik yang bermuara kepada pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua.
Dari perspektif pembentukan nasion Indonesia, konsensus itu merupakan upaya bangsa Indonesia membangun nasionalisme baru. Dengan demikian, terbentuknya MRP, lembaga penting pelaksanaan otsus di Provinsi Papua, tidak saja merupakan jembatan emas bagi masyarakat Papua untuk mencapai kemakmuran serta keadilan, tetapi juga proses untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Kamis, 10-11-2005.