Leadership is not about being nice. It’s about being right and being strong. (Paul Keating, Perdana Menteri Australia 1991-1996, dalam majalah “TIME”, 9 Januari 1995).
Jumat, 20 Oktober 2006, usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) menginjak dua tahun. Pada usia dua tahun ini, rasanya pantas jika melihat kembali program pasangan SBY- JK. Secara singkat, pokok program kerja SBY-JK dalam lima tahun adalah mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis, serta mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera.
Apakah Itu Sudah Terwujud?
Tak mudah menjawabnya. Paling tidak, evaluasi publik terhadap kinerja SBY-JK dapat dirangkum dalam dua pandanganyang bertentangan. Pertama, persepsi masyarakat yang menganggap kinerja SBY-JK pada umumnya memuaskan, sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2006.
Sementara persepsi kedua, yang tercermin dalam pemberitaan media massa, menganggap kinerja SBY-JK masih jauh dari harapan. Sebagian menganggap kegagalan SBY-JK disebabkan gaya kepemimpinan SBY yang kurang tegas, terlalu hati-hati, dan sebagainya.
Memperdebatkan mana yang lebih benar hanya membuang waktu. Karena itu, akan lebih penting menjawab pertanyaan apakah pemerintahan SBY- JK dapat meningkatkan kinerja lebih baik lagi pada sisa pemerintahannya? Jawabannya: hampir dapat dipastikan sangat sulit, untuk tidak mengatakan hampir mustahil. Itu, terutama, disebabkan sistem pemerintahan yang rancu.
Secara konstitusional ia adalah pemerintahan presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya adalah sistem parlementer. Kerancuan system menyebabkan Yudhoyono tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan DPR. Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 19 menteri berasal dari delapan partai politik. Kalau akomodasi partai dalam kabinet direfleksikan dalam kekuatan di DPR, partai yang ikut memerintah sebanyak 404 kursi (sekitar 73 persen) dan di luar pemerintah 146 kursi (sekitar 23 persen).
Melihat konstruksi kekuasaan tersebut, sebenarnya pemerintahan SBY-JK adalah pemerintahan kolektif yang lemah dan rawan konflik kepentingan dan dapat mengancam kelangsungan pemerintahan. Konflik kepentingan bahkan mungkin terjadi antara Presiden dan Wakil Presiden. Oleh sebab itu, energi pemerintahan SBY-JK, selain terkuras untuk menjaga hubungan dengan partai politik yang duduk dalam kabinetnya agar tetap harmonis, juga terforsir untuk memelihara duet mereka.
Popularitas SBY-JK, sekitar 67 persen (hasil survei LSI, Oktober 2006), tidak mudah ditransformasi menjadi kekuatan yang dapat mengimbangi aliansi partai di parlemen bila terjadi konflik antara pemerintah dan DPR. Selain itu, pemerintahan SBY-JK juga menghadapi birokrasi dengan profesionalisme yang rendah. Dengan demikian, dalam batas tertentu dapat dikatakan kelangsungan pemerintahan SBY-JK justru diselamatkan oleh kepemimpinan SBY yang dianggap lembek, hati- hati atau sering dikatakan ragu-ragu, serta disiplin partai yang lemah.
Sekiranya gaya kepemimpinan SBY tegas dan tidak mudah kompromi, mungkin pemerintahan SBY-JK mengalami nasib yang sama dengan pemerintahan KH Abdurrahman Wahid yang dijatuhkan MPR. Kemungkinan lain, pemerintahan SBY-JK akan mengalami kebuntuan politik sebagaimana terjadi di Provinsi Lampung akibat konflik antara PDI-P yang berpihak kepada gubernur (Ketua PDI-P Provinsi Lampung) dan Partai Golkar sebagai oposisi. Kerancuan pemerintahan tampak jelas pada saat Menteri Dalam Negeri dipanggil Komisi II DPR. Saat itu, fraksi Partai Golkar, partainya pemerintah, gemas dengan Mendagri yang dianggap tidak bersedia menindak (memecat) gubernur, sementara Fraksi PDI-P (partai oposisi) justru cenderung mendukung sikap Mendagri agar tidak mengambil keputusan gegabah.
Ancaman krisis pemerintahan mungkin akan menjadi kenyataan kalau dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, November 2006-dengan alasan desakan dan tekanan daerah-mereka menarik dukungan terhadap pemerintahan. Alasannya, pemerintahan SBY-JK dianggap tidak adil karena dukungan Partai Golkar terhadap SBY-JK hanya dihargai dua kursi di kabinet.
Menghadapi konstruksi kekuasaan semacam itu, tampaknya SBY ingin bertahan dengan membangun citra dan lebih banyak melakukan hal seremonial dan simbolik. Keberhasilan SBY mencitrakan dirinya sebagai tokoh yang bekerja keras, santun, responsif, dan manusiawi menghasilkan persepsi SBY adalah presiden yang bijak dan tidak dapat disalahkan. Kegagalan pemerintahan adalah kegagalan pembantunya, apakah itu wakil presiden atau menterinya.
Politik pencitraan SBY berhasil memisahkan antara dirinya dan pembantunya. Kalaupun kebijakan tidak jalan, rakyat tetap mempunyai persepsi: SBY telah bekerja keras untuk rakyat. Karena itu, tak mengherankan kalau pembantunya juga berlomba-lomba membangun citra di media massa agar tidak ketinggalan dengan pemimpinnya, dan pencitraan sekaligus ingin menunjukkan kepada presiden bahwa mereka juga bekerja keras.
Pengalaman pemerintahan SBY-JK dalam menjalankan roda pemerintahan dari sistem yang rancu menyebabkan pemerintahan tidak efektif. Sementara itu, Mainwawaring (1990, p168) dalam kesimpulannya setelah mempelajari sistem presidensial di negara Amerika Latin menyatakan bahwa kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multipartai yang terfragmentasi adalah musuh stabilitas demokrasi.
Secara sendiri-sendiri, sistem multipartai dan sistem presidensial secara potensial dapat merupakan sistem yang mendukung demokrasi yang stabil. Namun, jika dijadikan satu, kedua eleman tadi dapat menghancurkan demokrasi. Oleh sebab itu, bangsa perlu menentukan pilihannya. Apakah ingin mempertahankan sistem presidensial murni sebagaimana tersurat dalam konstitusi, yang kedudukan presiden dan DPR sama kuat sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Maka, yang harus dimodifikasi adalah sistem kepartaiannya agar menjadi multipartai terbatas. Namun, jika yang dipilih adalah sistem multipartai tak terbatas, sistem pemerintahan presidensial harus dimodifikasi, misalnya jadi sistem semipresidensial yang banyak dianut negara Amerika Latin.
Untuk itu, perlu disusun regulasi yang koheren dan kohesif yang mengatur mengenai pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, kepartaian, serta peraturan perundangan yang mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. Agenda lain yang berkaitan dengan itu adalah kemungkinan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota lembaga perwakilan dilakukan secara bersama-sama.
Menurut pengalaman beberapa negara yang telah mempraktikkan, system tersebut akan menimbulkan apa yang disebut coattail effect, yaitu kecenderungan pemilih memilih presiden dari partai yang sama sehingga akan menghasilkan sistem presidensial yang mempunyai dukungan politik di parlemen. Tentu saja gagasan ini masih perlu diperdebatkan secara luas dan konstruktif dalam masyarakat agar proses demokratisasi ke depan menghasilkan pemerintahan yang relatif efektif, tetapi demokrasi juga berkembang dengan baik.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Selasa, 17-10-2006.