Oleh J Kristiadi
KALAU kecenderungan perolehan jumlah suara pada pilkada di Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat konsisten, hampir dapat dipastikan Barnabas Suebu dan Alex Hasegem akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua; sementara Abraham Octavianus Atururi dan Rahimin Katjong akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat.
Sejauh ini proses pemilihan berlangsung dengan tertib dan damai. Rakyat Papua yang selama ini ketinggalan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari tingkat kesehatan yang rendah, miskin, serta dianggap kurang berpendidikan, ternyata mempunyai jiwa yang besar dan mampu menunjukkan martabatnya sebagai suatu masyarakat yang mempunyai peradaban yang tinggi.
Salah satu manifestasinya adalah kemampuan melakukan kompetisi politik secara damai. Namun, hal itu tidak berarti Papua sudah bebas dari gejolak dan dinamika politik yang dapat mengakibatkan kerusuhan.
Penghargaan tersebut pantas disampaikan kepada rakyat Papua, lebih-lebih bila mengingat isu paling panas dan kontroversial selama beberapa tahun terakhir ini didominasi oleh eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) sehingga hal itu menimbulkan dikotomi di kalangan elite di Papua, antara mereka yang setuju pemekaran dan mereka yang menolak keberadaan Provinsi Irjabar.
Mudah-mudahan sikap bijak dari masyarakat Papua dapat memberikan keteladanan bagi para elite di Papua, terutama bagi calon gubernur dan wakil gubernur yang gagal dalam pilkada kali ini, agar dapat memetik hikmah sehingga mereka bersikap ksatria, baik dalam menerima kekalahan maupun dalam memperoleh kemenangan.
Sikap yang bijak dan arif sangat dituntut oleh para elite di seluruh Papua agar para gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan oleh sebab itu mempunyai legitimasi yang kuat, dapat memanfaatkan momentum ini untuk melakukan akselerasi pembangunan di Papua.
Perlu diingat bahwa sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus diterbitkan, rakyat telah kehilangan kesempatan selama lima tahun untuk memperoleh hak mereka atas dana otonomi khusus yang selama kurun waktu tersebut totalnya sekitar Rp 6 triliun sampai Rp 7 triliun.
Angka itu akan bertambah besar bila ditambah dengan dana tambahan lainnya. Jumlah tersebut menjadi semakin besar dan akan sangat berarti kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua yang hanya sekitar 2,3 juta jiwa.
Dana sebesar itu, menurut UU No 21/2001, harus digunakan untuk pendidikan dan kesehatan. Namun, tampaknya anggaran yang sangat besar tersebut tidak menetes sampai ke bawah.
Hal itu tampak, misalnya, dari terjadinya musibah kelaparan, penanganan penyakit AIDS yang tidak memadai, serta dana pendidikan yang tidak jelas. Semua itu merupakan indikasi ketidakjelasan kebijakan anggaran yang tepat dan akuntabel.
Oleh sebab itu, para elite di Papua tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan segera membuat program prioritas dan terfokus pada peningkatan kesejahteraanmasyarakat. Harus diingat bahwa dana otonomi khusus hanya akan diberikan sampai tahun 2026.
Fokus agenda ke depan adalah mengejar ketertinggalan rakyat Papua vsehingga mereka dapat segera menikmati otonomi khusus secara nyata dalam wujud kehidupan yang aman, makmur, dan berkeadilan.
Kekacaubalauan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua, termasuk dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan oknum-oknum pemerintah daerah selama ini, selain disebabkan oleh terlambatnya peraturan pemerintah (PP) tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), juga karena belum adanya ketentuan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan otonomi khusus.
Oleh sebab itu, agenda yang harus dijadikan prioritas adalah sebagai berikut. Pertama, menyusun aturan perundang-undangan khususnya, perdasus (peraturan daerah khusus ) dan perdasi (peraturan daerah provinsi), yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan UU No 21/21.
Perdasus yang segera perlu disusun adalah perdasus untuk melaksanakan pembagian penerimaan bagi hasil bidang pertambangan minyak bumi, gas alam,serta penerimaan khusus untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan (Pasal 34 Ayat 7).
Selain itu, perdasus untuk mengatur usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam (Pasal 38), perdasus untuk penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil, dan terabaikan (Pasal 66 Ayat 2). Juga perdasus untuk melaksanakan pengawasan sosial dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (Pasal 67).
Sementara itu, perdasi yang perlu segara disusun adalah Tata Cara Penyusunan dan Pelaksanaan Anggaran Belanja dan Pendapatan Provinsi, perubahan dan perhitungannya, serta pertanggungjawaban dan pengawasannya (Pasal 36, Ayat 3).
Perdasi lainnya adalah tentang pelaksanaan pemberian bantuan dan/atau subsidi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam bidang pendidikan (Pasal 56, Ayat 2), dan lain sebagainya.
Dengan tersedianya perangkat peraturan daerah sebagaimana disebutkan di atas, diharapkan kucuran dana otonomi khusus dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi kepentingan rakyat Papua yang telah lama memimpikan hidup yang lebih layak.
Pengalaman lima tahun pertama pelaksanaan otonomi khusus harus dijadikan pelajaran yang sangat mahal bagi para elite politik di Papua (dan tentu saja Jakarta), untuk tidak terlalu sibuk dengan permainan politikkekuasaan yang hanya akan mengakibatkan nasib rakyat menjadi terbengkalai. Harus diingat bahwa rakyat telah puluhan tahun menunggu kapan kehidupannya menjadi lebih baik.
REVISI UU
Masalah penting kedua adalah perlunya revisi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dalam kaitannya dengan eksistensi Provinsi Irjabar. Sebab, tanpa dilakukan perubahan terhadap UU itu, status Irjabar sebagai provinsi tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan peraturan perundangan, setiap pemekaran harus disahkan melalui undang-undang. Sementara itu, kalau mengacu pada UU No 21/2001, hanya dikenal satu provinsi sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 huruf a yang berbunyi: Provinsi Papua adalah provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penjelasan pasal tersebut secara lebih rinci lagi menyatakan bahwa wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu Kabupaten Jayapura, Merauke, Biak Numfor, Mimika, Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai,Nabire, Sorong, Fakfak, Yapen Waropen, Manokwari, Kota Sorong dan Kota Jayapura.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara dengan Samudra Pasifik, di sebelah selatan dengan Maluku dan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, di sebelah Timur dengan negara Papua Niugini.
Dengan demikian, jelas bahwa meskipun sebagai fakta politik kehadiran Provinsi Irjabar tidak dapat dibantah, secara yuridis perlu diwadahi dengan melakukan perubahan terhadap UU No 21/2001.
Dengan landasan hukum yang jelas, program dan kebijakan yang akan dilakukan selanjutnya dapat dilakukan dengan dasar-dasar aturan yang jelas pula.
Untuk itu, MRP diharapkan segera mengambil inisiatif untuk memfasilitasi pertemuan antara Gubernur Provinsi Papua, Gubernur Irjabar, dan DPR Papua untuk melakukan rekonsiliasi guna mengusulkan perubahan pasal-pasal tertentu dalam UU No 21/2001 sehingga dapat mengakomodasi eksistensi Irjabar.
Misalnya, Pasal 1 huruf a beserta penjelasannya perlu diubah agar sesuai dengan perkembangan pascapemilihan kepala daerah.
Selain itu, masalah yang cukup rumit dalam kaitannya dengan pemekaran Irjabar adalah ketentuan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 76 UU No 21/2001 yang menyatakan bahwa pemekaran Papua harus memerhatikan tiga hal sebagai berikut.
Pertama, memerhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial- budaya. Kedua, kesiapan sumber daya manusia. Ketiga, kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang. Usulan tersebut dilakukan melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah (Pasal 77 UU No 21/2001) agar dapatdiproses lebih lanjut.
Sebagai cacatan penutup dapat dikemukakan bahwa keberhasilan warga Papua melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dijadikan momentum yang sangat baik bagi rakyat Papua. Terutama para elite yang sudah mendapatkan mandat dan kepercayaan rakyat, untuk bersatu padu dan bekerja sekeras-kerasnya guna mewujudkan impian bersama, yaitu hidup aman, tenteram, sejahtera, makmur, serta berkeadilan.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Sabtu, 18-03-2006.