Oleh: J Kristiadi
ARTIKEL ini ingin memberi klarifikasi terhadap artikel Rizal Sukma, Direktur Studi CSIS, “Militer, Sipil, dan Politik Indonesia” (Kompas, 6 Mei 2004).
Catatan itu sebagai berikut. Pertama, kesan penulis gembira atas hasil konvensi Golongan Karya (Golkar), menunjuk artikel “Kemenangan Wiranto, Kemenangan Nurani Konvensi Golkar” (Kompas, 22/4/2004), dapat dipahami. Hal itu menyangkut persepsi subyektif masing-masing pembaca. Tetapi, tidak bolehkah orang bergembira melihat hasil konvensi terkait sikap peserta konvensi, khususnya para calon presiden (capres) yang telah bertanding habis-habisan berbulan-bulan, berakhir dengan saling menunjukkan sikap ksatria?
Meski kalah, Akbar Tandjung menerimanya dengan sikap gentleman. Sementara pemenang konvensi, Jenderal (Purn) Wiranto, dengan rendah hati mengatakan, ini kemenangan seluruh komponen Partai Golkar, bukan kemenangan pribadi. Sikap kedua orang itu mungkin dapat dijadikan pelajaran, terutama bagi elite politik yang sulit menerima kekalahan.
Kedua, terkait kata gembira adalah kata nurani. Hal ini berkenaan sinyalemen terjadinya permainan politik uang dalam tulisan “Dirty Convention Could Hurt Golkar Candidate (The Jakarta Post, 30/4/2004).
Dugaan money politics dalam konvensi Partai Golkar juga dapat dipahami. Selain suara itu keras terdengar, aroma permainan uang dalam dunia politik di Indonesia dewasa ini memang sangat keras meski sulit dibuktikan. Sekiranya dugaan itu benar, tampaknya permainan uang lebih mungkin pada putaran pemilihan pertama yang dimenangkan Akbar.
Pemilihan tahap kedua bagi sementara orang dianggap sulit melakukan politik uang karena waktu terlalu pendek dan sulit melakukan penggalangan lagi.
Karena itu, menurut pendapat penulis, peserta konvensi dihadapkan dua hal. Pertama, melakukan kalkulasi rasional tentang siapa yang dianggap mampu melawan capres dari partai lain. Kedua, menanyakan kepada nurani masing-masing, siapa yang pantas dipilih. Jadi, kata nurani adalah nurani konvensi.
MENGENAI substansi, artikel ini akan lebih mudah bila ditelusuri secara singkat proses perjalanan reformasi. Salah satu keberhasilan yang patut dicatat dan harus terus diperjuangkan adalah keberhasilan kubu reformis memotong institusi TNI dari keterlibatannya dalam politik praktis.
Selain itu, dapat disebutkan mengenai pemisahan Polri dari TNI, terbitnya UU Pertahanan yang memperjelas fungsi TNI (meski masih banyak regulasi lain diperlukan), serta wacana publik yang ingin merumuskan gagasan mendasar berkenaan masalah keamanan (security); pertahanan, struktur TNI, dan sebagainya. Dalam proses itu, sebenarnya arah untuk mewujudkan TNI yang profesional memberi kesan, antara sipil dan militer berjalan beriringan. Meski harus diakui banyak sekali agenda yang kadang menimbulkan perdebatan sengit.
Bersamaan dengan proses itu, tidak dapat dibantah terjadi indikator yang agak memprihatinkan berupa munculnya ke permukaan sifat-sifat atau karakter militeristik di kalangan elite politik sipil. Misalnya, sebagian partai alih-alih menyusun kader yang mempunyai keterampilan politik, tetapi justru membentuk satgas-satgas partai yang dilatih dan diberi seragam mirip militer sehingga berperilaku lebih tentara dari militernya sendiri.
Selain itu, mantan-mantan petinggi militer diakomodasi di beberapa partai, seperti Mayjen (Purn) Theo Syafei di PDI-P, Letjen (Purn) Budi Harsono (Partai Golkar), Mayjen (Purn) Ferry Tigogoy (PKB), Mayjen (Purn) Soewarno Hadiwidjojo (PAN).
Kemesraan TNI-sipil juga tercermin dari niat Amien Rais berencana menggaet Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi wakil presiden (wapres). Alasannya untuk menciptakan image baru dan menghilangkan dikotomi sipil-militer (Kompas, 11/1/ 2004). Namun, karena SBY saat itu menunjukkan tanda-tanda perolehan suaranya lebih besar dari PAN, rencana pun batal.
Tampaknya Amien Rais masih berminat memilih wapres dari militer. Alasannya, negeri ini masih membutuhkan kelompok ini (TNI) guna memecahkan masalah bangsa (Koran Tempo, 15/4/2004). Karena itu, muncul spekulasi calon wapres Amien Rais mungkin Jenderal Endriartono Sutarto (Panglima TNI) atau Jenderal (Purn) Agum Gumelar (Koran Tempo, 16/4/2004). Dari situ, dikotomi sipil-militer di kalangan elite politik telah mencair.
PERKEMBANGAN berikut menunjukkan, munculnya SBY dan Wiranto sebagai capres, dikotomi sipil-militer menajam lagi. Hal itu mungkin disebabkan beberapa hal.
Pertama, munculnya kedua calon mengingatkan masyarakat, terlebih elite, akan kembalinya kekuatan militeristik yang tidak saja memonopoli kekuasaan, tapi juga kebenaran.
Kedua, akibat persaingan politik, khususnya pemilihan capres, yang saat ini dapat dikatakan mewakili dua kubu. Kubu pertama mewakili kalangan sipil, kombinasi Megawati-Hasyim Muzadi dan Amien Rais-Siswono (meski belum pasti) di satu pihak, dengan kubu SBY-Jusuf Kalla dan WirantoûSolahuddin Wahid (?) di pihak lain.
Persaingan merebut puncak kedudukan eksekutif dapat mempengaruhi meningkatnya wacana dikotomi sipil-militer. Terakhir, keterlibatan pribadi maupun kelompok yang berkepentingan atas kemenangan salah satu capres karena terkait kepentingan subyektif.
Terlepas dari situasi kian panas berkait perdebatan dikotomi sipil-militer, wacana ini dapat menjadi positif bila semua pihak dapat mengambil hikmahnya. Bagi capres dari kalangan militer, wacana ini merupakan peringatan dini, kehadirannya amat diwaspadai masyarakat. Karena itu, andaikata berhasil menjadi presiden, hanya satu jalan yang harus ditempuh: kerja keras habis-habisan dan mewujudkan janji- janji.
Jangan pernah bermain-main dengan kepercayaan yang telah diberikan rakyat. Rakyat telah terlalu lama menderita dan menunggu pemimpin yang mempunyai komitmen kepada keprihatinan rakyat.
Bagi elite sipil, juga harus terus meningkatkan kemampuannya membangun infra struktur politik agar kehidupan demokrasi bisa diwujudkan. Hanya dengan cara inilah kembalinya militerisme dalam dunia politik dapat dicegah.
Perlu diingat, sistem demokrasi tidak dapat diharapkan menghasilkan presiden atau apa pun sebutannya yang ideal bagi seluruh warga. Tetapi, rakyat dapat mengoreksi kesalahannya sendiri secara beradab bila rakyat salah memilih pemimpin. Karena itu, ungkapan Cak Nur perlu direnungkan semua pihak. Dalam sistem demokrasi, siapa pun yang terpilih secara demokratis menjadi presiden harus diterima, tetapi masyarakat juga harus membangun kekuatan agar dapat melakukan kontrol dan mendorongnya agar perubahan ke arah kehidupan politik yang demokratis dapat diwujudkan.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 07 Mei 2004.