Oleh : J Kristiadi
“A President’s hardest task is not to do what is right, but to know what is right” (Lyndon Baines Johnson, Presiden ke-36 Amerika Serikat).
Siapa pun yang menjadi presiden di negeri ini harus menghadapi warisan birokrasi yang mempunyai kultur korup, kolutif, parasitik (parasitic), lamban, dan tidak efisien.
Budaya semacam itu amat sulit diubah meski hampir setiap kabinet sejak zaman Ode Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi selalu ada menteri negara yang bertugas meningkatkan pemberdayaan aparatur pemerintah (negara). Namun, hingga kini kinerja birokrasi tidak bertambah baik. Birokrasi Indonesia ibarat mesin mobil yang sudah berkarat sehingga memerlukan perombakan total agar dapat berjalan sesuai fungsi dan tugasnya.
Meski demikian, hal itu bukan berarti sama sekali tidak ada elemen dalam birokrasi yang bersedia bekerja keras, dedikasi, berjiwa reformis, dan bersemangat tinggi untuk mengabdi bangsa dan negara. Namun, karena proporsinya amat kecil, kontribusinya seolah tenggelam dalam kubangan kebobrokan sistemik birokrasi.
Politisasi Birokrasi
Pengalaman dua tahun pemerintahan SBY-JK yang menampilkan wawasan dan program yang menjanjikan disertai niat baik dan kesungguhan memperbaiki keadaan terbentur ketidakmampuan menggerakkan mesin birokrasi untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan itu.
Para menteri, sebagai pembantu utama presiden, mungkin lebih merasakan betapa sulitnya mengelola departemen dengan birokrasi yang keropos, tidak profesional, dan sarat intrik politik.
Kalaupun ada sejumlah menteri yang mempunyai semangat, dedikasi, dan idealisme tinggi, mereka akan berbenturan dengan tembok budaya perilaku birokrasi yang sudah rusak. Upaya menteri mencari orang- orang yang diharapkan dapat mengimbangi semangat kerjanya dengan menyeleksi pejabat yang akan dijadikan andalan dan kepercayaannya akan menghadapi kenyataan terbatasnya stock yang tersedia karena hampir mustahil memilih orang-orang yang bukan berasal dari lingkungan birokrasi.
Artinya, menteri harus memilih yang itu-itu juga. Akhirnya, setelah tiga atau enam bulan tidak mendapat calon ideal, menteri pun harus menerima kenyataan mengangkat orang-orang yang mungkin jauh dari mentalitas dan kemampuan yang diharapkan. Hal yang sama bila menteri akan melakukan penyegaran eselon di bawahnya. Alih-alih terjadi penyegaran, yang berlangsung hanya sirkulasi para birokrat yang tidak dapat terlalu diharapkan prestasinya. Proses pembusukan birokrasi semacam inilah yang mengakibatkan kemandekan berbagai kebijakan pemerintah.
Kesulitan mengelola birokrasi ditambah politisasi birokrasi sebagai akibat kompromi-kompromi politik tingkat tinggi, di mana presiden harus mengakomodasi para menteri dari partai politik. Hal yang sama terjadi pada tataran lebih rendah, tingkat gubernur dan bupati/wali kota, saat para calon kepala daerah terpilih harus melakukan kompromi politik atau tawar-menawar dengan partai yang berkoalisi mendukung pencalonannya.
Tujuan trade off’ (imbal beli) itu jelas, partai-partai politik ingin mempunyai akses terhadap sumber-sumber kekayaan negara guna mengembalikan atau memupuk biaya politik yang jumlahnya amat besar. Ekses lain tampak dengan membeludaknya jumlah tenaga honorer di beberapa daerah karena kepala daerah harus mengakomodasi pendukungnya dan dijanjikan jadi pegawai negeri sipil di daerahnya.
Akomodasi politik semacam itu amat tidak sehat sebab akan mendorong pejabat bersangkutan bersikap oportunistis dan bekerja untuk kepentingan politik sempit daripada melaksanakan kebijakan publik.
Mereka akan mudah tergoda melakukan politik penyelamatan diri atau mengejar ambisi tanpa menghiraukan tugas utamanya. Loyalitas pejabat publik yang terkena kontaminasi kepentingan politik partai juga dapat menyerimpung kebijakan menteri jika dewan pimpinan pusat partainya menuntut loyalitas pejabat yang bersangkutan lebih taat kepada kepentingan partainya.
Unit Kerja Presiden
Berdasar kenyataan inilah mungkin presiden, dalam batas kewenangannya, membentuk apa yang disebut Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). Tugasnya amat berat, membantu presiden memantau, mengendalikan, memperlancar, dan mempercepat pelaksanaan program dan reformasi. Tugas itu bukan membuat kebijakan, tetapi terkait fungsi manajerial presiden. Dengan demikian, unit ini merupakan perluasan pribadi kepala pemerintahan dalam mengimplementasikan kebijakan.
Mengingat beratnya tugas yang diemban Unit Kerja Presiden, dapat dimengerti jika banyak kalangan meragukan efektivitasnya, terlepas unit ini diisi orang-orang yang mempunyai integritas dan berkemampuan pada bidangnya.
Pembentukan unit kerja ini bukan merupakan upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi presiden dalam tataran manajerial, terutama dalam mengimplementasi kebijakannya. Presiden hanya mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan atau kemacetan birokrasi yang sudah karatan. Harapannya mungkin dalam menjalankan mesin birokrasi, tambahan “zat aditif” yang disebut Unit Kerja Presiden dapat menghidupkan atau setidaknya menggerakkan mesin birokrasi.
Namun, dapat dipastikan mesin birokrasi tidak akan jalan karena mesin birokrasi sudah keropos dan karatan. Birokrasi hanya dapat berjalan sesuai fungsinya jika dilakukan perubahan secara total atau dilakukan reformasi birokrasi. Mulai dari tataran kultural, paradigma, strategi, dan profesi birokrasi sebagai alat pemerintah melaksanakan kebijakan publik.
Jalan keluar untuk mengatasi kemacetan birokrasi, Presiden Soeharto pernah menciptakan berbagai program inpres (instruksi presiden) yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Untuk mengontrol kebijakan itu, ia membentuk Irjen Bang (Inspektur Jenderal Pembangunan) dengan tugas mengontrol pelaksanaan inpres itu. Meski secara relatif masyarakat dapat merasakan manfaatnya, program itu justru memperburuk kinerja birokrasi.
Mencermati kenyataan itu, presiden boleh membentuk unit-unit kerja yang menjadi kewenangannya, tetapi masyarakat masih menunggu janji kampanye presiden untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Pembentukan Unit Kerja Presiden tanpa disertai agenda melakukan reformasi birokrasi hanya akan menuai kemustahilan dan akan menimbulkan persepsi masyarakat bahwa untuk kesekian kalinya presiden hanya ingin menjaga citranya tanpa melakukan tindakan nyata.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 01 November 2006.