Oleh: J Kristiadi
PADA waktu era reformasi bergulir, salah satu institusi yang tanggap secara positif terhadap cita-cita perubahan adalah Tentara Nasional Indonesia. Respons positif tersebut dituangkan dalam langkah- langkah reformasi internal TNI yang berjumlah empat belas butir.
Untuk lebih jelasnya dan untuk mengingatkan kembali semangat reformasi itu, perlu disebutkan lagi beberapa butir penting dari keempat tekad Tentara Nasional Indonesia (TNI) tersebut. Butir-butir itu antara lain adalah sebagai berikut: Sikap dan Paradigma Politik TNI tentang peran TNI abad 21; pemisahan Polri dan ABRI (TNI); penghapusan Wansospolsus dan Wansospolda; perubahan staf sosial politik menjadi staf teritorial; likuidasi Staf Kekaryaan (Syawan) ABRI, Kamtibmas ABRI dan Babinkar ABRI; penghapusan sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim; penghapusan kekaryaan ABRI; TNI tak akan pernah terlibat dalam politik praktis; pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada; komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam pemilihan umum; perubahan paradigma hubungan antara TNI dan keluarga besar ABRI serta revisi piranti lunak berbagai doktrin TNI disesuaikan dengan era reformasi dan peran TNI abad 21.
Dengan tidak mengabaikan desakan yang sangat kuat dari masyarakat, harus diakui bahwa butir-butir di atas merupakan modal reformasi yang sangat berarti. Dapat dibayangkan misalnya TNI ((atau ABRI) waktu itu ngotot dan tetap bersikukuh dengan prinsip-prinsipnya yang melawan arus reformasi tentu akan lebih menyulitkan proses perubahan politik ke depan. Gaung reformasi yang dikumandangkan oleh TNI kemudian tidak hanya ditindaklanjuti berupa menerbitkan kebijakan-kebijakan internal TNI, tetapi juga diikuti dengan keterbukaan sikap terhadap masyarakat.
Selama lebih kurang lima tahun setelah dikumandangkannya langkah-langkah reformasi internal, berbagai seminar, diskusi, workshop, dan sejenisnya digelar oleh TNI. Secara terbuka TNI mengundang pula para peneliti di luar TNI, bahkan mereka yang pendapatnya sangat kritis, diminta masukannya untuk menyempurnakan langkah-langkah pembaruan TNI agar sejalan dengan proses perubahan politik.
Ruang lingkup bahannya pun sangat luas dan beragam. Mulai dari hal-hal yang sangat mendasar, seperti masalah konsep keamanan nasional (national security), strategi pertahanan, penilaian ancaman, doktrin TNI serta hal-hal yang lebih konkrit, seperti postur TNI, anggaran militer, dan lain sebagainya. Bahkan isu-isu sensitif pun tidak tabu dibicarakan seperti bisnis militer, masalah intelijen, dan lain sebagainya. Kerja sama TNI dengan berbagai kelompok masyarakat juga sangat baik. Hal itu antara lain dapat dilihat dari kelompok- kelompok diskusi yang terdiri dari para akademisi, aktivis dan para perwira muda, serta punawirawan secara berkala mereka mengadakan tukar pikiran secara intensif dan terbuka. Pada intinya, TNI dan masyarakat menghendaki Indonesia mempunyai tentara yang profesional, efektif, efisien, dan modern.
Misterius
Namun munculnya secara tiba-tiba dan misterius RUU TNI menjadikan harapan menjadi impian di tengah hari bolong. Dapat dipastikan TNI tidak akan menjadi tentara yang profesional, efektif, efisien, dan modern kalau berpedoman kepada RUU TNI yang sekarang ini. Kehadiran RUU yang mendadak dan dibuat secara tergesa-gesa sehingga terkesan sembarangan antara lain dapat dilihat dari cara mendefinisikan suatu pengertian dasar yang asal-asalan. Sembarangan.
Ambil satu contoh saja, misalnya definisi tentang militer pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 18. Ia didefisisikan sebagai berikut: Militer adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ketentaraan atau kekuatan angkatan bersenjata suatu negara. Definisi tersebut tidak memberikan pengertian yang jelas, tetapi malah dapat memperluas pengertian yang semakin mengaburkan subyek yang akan dijelaskan. Sebab tak segala sesuatu yang berhubungan dengan ketentaraan dan angkatan bersenjata dapat dikategorikan sebagai militer. Misalnya seorang sipil yang menjadi pembantu rumah tangga (PRT) keluarga militer, tidak dapat begitu saja dikategorikan sebagai militer.
Masalah yang lebih serius lagi apa yang disebut sebagai Binter (pembinaan teritorial) sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 huruf c yang kalau dibaca secara lengkap adalah sebagai berikut: Angkatan Darat bertugas melaksanakan pembinaan terirorial sesuai dengan peran dan wewenangnya serta mewujudkan kemanunggalan TNI dengan rakyat. Pasal ini mendapatkan kritikan tajam karena beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, pembinaan teritorial berkaitan dengan struktur territorial (Kodam, Korem, Kodim, Babinsa) yang mengasumsikan bahwa ancaman militer terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah akan dilakukan melalui daratan. Padahal sebagai negara kepulauan, ancaman justru akan lebih mudah dating dari laut dan udara.
Oleh sebab itu sangat tepat kalau dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan ditegaskan bahwa dalam menyelenggarakan pertahanan harus memerhatikan negara Indonesia sebagai negara Kepulauan. Pasal ini sangat tepat untuk mengantisipasi ancaman yang akan datang lebih mungkin berawal dari lautan. Oleh sebab itu pemikiran mengenai sistem pertahanan berlapis dianggap lebih tepat daripada sistem pertahanan yang mengandalkan landasan darat. Strategi pertahanan berlapis yang telah menjadi wacana publik karena dianggap lebih realistis adalah sebagai berikut: Pertahanan lapis (layer) 1 adalah wilayah di luar ZEE (zone ekonomi eksklusif), layer ke-2 mulai dari garis pantai sampai dengan ZEE, dan layer ke-3 adalah landasan darat. Masing- masing wilayah pertahanan mempunyai strategi pertahanan yang berbeda- beda, yaitu strategi ofensif untuk wilayah lapis 1, preventif untuk wilayah lapis 2 dan defensif untuk wilayah lapis 3.
Kedua, struktur teritorial yang sekarang ini tidak memungkinkan melakukan mobilisasi kekuatan angkatan laut dan udara yang hanya didukung oleh dua komando laut dan udara, yaitu Armada Barat dan Armada Timur yang berpusat di Makassar-Jakarta dan Surabaya. Selain itu, struktur Koter sebagaimana yang ada sekarang ini adalah pemborosan, karena Kodam, Korem, dan Kodim bukanlah unit pelayanan masyarakat yang harus bekerja terus-menerus melayani masyarakat. Ia adalah unit yang berfungsi sebagai alat pertahanan yang penggunaannya sangat situasional, sehingga penempatan pasukan yang jumlahnya puluhan ribu di Kodam-kodam adalah sesuatu yang dianggap pemborosan. Apalagi dengan reformasi internal TNI yang sudah dicanangkan sejak tahun 1998, di mana fungsi aparat teritorial sudah tidak lagi seperti pada masa lalu, struktur teritorial seperti sekarang ini semakin dianggap tidak relevan lagi. Oleh sebab itu struktur teritori TNI tidak harus berimpit dengan struktur pemerintahan daerah yang memang merupakan unit pelayanan masyarakat.
Ketiga, pembinaan teritorial yang dikaitkan dengan upaya manunggalnya TNI dengan rakyat mudah disalahpahami karena mengaburkan batas-batas kewenangan lembaga TNI yang profesional. Ungkapan tersebut sangat baik untuk retorika tetapi justru sulit untuk diterapkan karena terminologi manunggal berarti tentara adalah rakyat dan rakyat adalah tentara. Kalau hal itu benar-benar dilaksanakan, seandainya terjadi perang antar-negara (misalnya), rakyat tidak lagi mendapatkan perlakuan sebagai sipil sebagaimana ketentuan Konvensi Geneva dan mendapatkan perlindungan khusus, tetapi diperlakukan sebagai tentara. Belum lagi retorika tersebut juga dapat disalahgunakan oleh unsur-unsur TNI yang mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan sendiri.
Dwifungsi ABRI
Pasal lain yang meresahkan dan dikhawatirkan dapat memicu kembalinya dwifungsi ABRI adalah Pasal 45 sampai 50 yang mengatur semacam kekaryaan TNI. Dalam paradigma TNI baru jelas-jelas bahwa kekaryaan ditiadakan, dan TNI hanya diperbolehkan menempati jabatan di lingkungan pemerintahan sipil pada jabatan-jabatan tertentu, misalnya ajudan presiden-wakil presiden, kepala intelijen, dan lain- lain. Tetapi pasal tersebut begitu luas penafsirannya sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan yang bermuara kepada kembalinya dwifungsi ABRI.
Setelah mencermati RUU TNI yang kontroversial tersebut, tidak ada kata lain kecuali harus lebih banyak waktu untuk mendiskusikan secara terbuka kepada publik. Sebab tidak hanya para angota TNI yang menginginkan TNI kuat, semua rakyat Indonesia, termasuk pengamat dan peneliti yang kritis pun memimpikan mempunyai TNI yang hebat. Sehingga, kritikan dan kata-kata yang keras sesungguhnya merupakan ungkapan cinta kita semua kepada TNI.
Mudah-mudahan hal ini tidak disalah mengerti. Kalau TNI menghendaki manunggalnya rakyat dan TNI, salah satu manifestasinya adalah sikap untuk saling menerima dan memberi serta mendengarkan apa yang disampaikan masyarakat, betapapun membisingkannya suara itu.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 06 Agustus 2004.