Oleh : J Kristiadi
MAKNA pemilihan umum (pemilu) yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika, sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab.
Lembaga itu adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan. Suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan pesona luar biasa. Siapa pun akan amat mudah tergoda untuk tidak hanya berkuasa, tetapi akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Sedemikian mempesonanya daya tarik kekuasaan sehingga dalam tataran apa saja kekuasaan tidak akan diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi.
Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis, ras, ikatan persaudaran, agama, dan lainnya. Transformasi dan kompetisi memperebutkan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etik; nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakkan kekuasaan. Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium ilmu politik, power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi. Pemilu mendatang diharapkan dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk membangun suatu institusi yang dapat menjamin transfer of power dan power competition dapat berjalan secara damai dan beradab.
Untuk itu Pemilu 2004 harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan etika yang dapat memberi jaminan agar pemilu tidak saja dapat berlangsung secara jujur dan adil, tetapi juga dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang kredibel, akuntabel, dan kapabel serta sanggup menerima kepercayaan dan kehormatan dari rakyat dalam mengelola kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Agar Pemilu 2004 dapat menjadi agenda pelembagaan proses politik yang demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subyektif masing- masing. Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh.
Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat, sehingga regulasi bukan sekadar hasil kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk menjaga kepentingannya. Bila yang dikhawatirkan itu yang terjadi, besar kemungkinan hasil pemilu akan memperkuat oligarki politik.
Oleh karena itu, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Bahkan tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang merupakan aturan permainan benar-benar dapat menjadi sarana menghasilkan pemilu yang demokratis.
***
UNTUK itu perlu diberikan beberapa catatan mengenai perkembangan konsensus politik dari pertarungan kepentingan di parlemen, serta saran mengenai regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Pertama, diperlukan penyelenggara pemilu yang benar-benar independen. Persyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur. Harapan itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan setelah Pansus Pemilu menyetujui bahwa KPU benar-benar menjadi lembaga independen dan berwewenang penuh dalam menyelenggarakan pemilu. Sekretariat KPU yang semula mempunyai dua atasan yakni untuk urusan operasional bertanggung jawab kepada KPU, sementara untuk urusan administrasi bertanggung jawab kepada Departemen Dalam Negeri, telah disatukan dalam struktur yang tidak lagi bersifat dualistis. (Kompas, 30/1/2003). Struktur yang sama diterapkan pula di tingkat provinsi serta kabupaten dan kota.
Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka. Kesepakatan partai-partai untuk menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu kemajuan.
Sejak semula sebenarnya argumen kontra terhadap sistem proporsional terbuka dengan menyatakan sistem itu terlalu rumit telah gugur dengan sendirinya. Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat itu harus menyadari bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain rumit juga diperlukan kesabaran melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Sebab, partai politik bukan saja instrumen untuk melakukan perburuan kekuasaan, tetapi juga institusi yang mempunyai tugas melakukan pendidikan dan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya lebih efektif dari Pemilu 1999. Caranya, antara lain agar pengawas pemilu selain terdiri dari aparat penegak hukum dan KPU, juga melibatkan unsur-unsur masyarakat.
Selain itu, perlu semacam koordinasi di antara lembaga pemantau dan pengawas pemilu sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindaklanjuti, membuat penyelidikan, dan memberi sanksi terhadap pelanggaran pemilu.
Keempat, soal money politics. Mencegah habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money politics dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih-memilih pemimpin, mulai dari elite politik sampai di beberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan.
Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih ketat. Misalnya, batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah; perlu ada larangan memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD, lebih-lebih sumber ilegal. Dan, tentu saja dalam hal ini penindakkan tegas secara pidana dan penjatuhan hukuman yang setimpal bagi para pelanggarnya, harus benar-benar dijalankan.
Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai-partai politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.
Sebagai catatan penutup perlu dikemukakan, perjalanan yang akan ditempuh bangsa Indonesia dalam mengukir demokrasi masih amat panjang dan melelahkan.
Akan tetapi, hendaknya kita semua menyadari bahwa kebiasaan melakukan pergantian kekuasaan dan sirkulasi elite penguasa yang reguler, aman, dan beradab hanya dapat dilakukan melalui serangkaian pemilu yang jujur dan adil. Diperlukan setidak-tidaknya empat sampai lima kali pemilu (termasuk Pemilu 1999), untuk mewujudkan pemilu menjadi lembaga politik yang mapan.
Karena itu, diharapkan Pemilu 2004 bukan sekadar seremoni politik dan perburuan kekuasaan demi kekuasaan, tetapi merupakan bagian perjuangan bangsa Indonesia menata kehidupan politik yang berbasis pada kedaulatan rakyat.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 04 Februari 2003.