Oleh : J. Kristiadi
Bagi Negara demokrasi, ritual eskalasi suhu politik merayakan pesta kedaulatan rakyat menjelang pemilu sudah menjadi kelaziman. Riuh rendah festival rakyat sudah mulai di rasakan intensitasnya melalui medsos tentang wacana dukungan calon kandidat presiden/wakil presiden serta main tebak pasangan mereka; sampai dengan pemasangan ribuan baliho raksasa bergambar Capres dan Cawapres 2024 mulai dari Jakarta sampai di berbagai pelosok tanah air.
Gairah tersebut hampir dipastikan akan semakin meningkat sejalan dengan semakin dekatnya pesta akbar demokrasi 2024. Sejauh ini demam Pemilu, meskipun semakin menghangat, tetapi masih dalam batas-batas yang wajar dan proporsional. Dinamika politik yang kontributif merupakan modal awal yang menggembirakan menapak tahun 2022, meskipun getaran antusiasme kompetisi politik semakin semarak.
Beberapa fenomena politik sebagai modal merawat dan memantapkan stabilitas politik tahun depan adalah, pertama, Pemerintahan Joko Widodo Ma’ruf Amin ( JKW-MA), mendapat dukungan lebih dari 70% di parlemen sehingga konflik kepentingan antara Pemerintah dan parlemen selalu dapat di selesaikan tanpa menimbulkan gejolak politik yang berlebihan; kemacetan penyelenggarakan pemerintahan juga dapat di hindari, dan karena itu seharusnya kebijakan pemerintah lebih efektif.
Namun demikian, beberapa kalangan kuatir karena semakin menguatnya pemerintah bila tidak disertai kontrol politik yang memadai, oligarki politik akan semakin merajalela. Munculnya gagasan amandemen UUD 1945 dicurigai agenda rekayasa politik menguatkan oligarki dengan skema memperpanjang masa jabatan Presiden.
Kedua, pandemi Covid 19 yang menjamah Indonesia sejak Maret 2020 menggugah rasa senasib seperjuangan sesama warga sebagai satu bangsa. Berkah dibalik musibah yang menakutkan umat manusia adalah meningkatnya solidaritas sosial, semangat gotong royong, rasa empati dan saling tolong menolong sampai ke tingkat akar rumput.
Bahu membahu warga masyarakat melintasi sekat-sekat primordial. Spirit yang mirip terjadi di kalangan para kepala daerah yang saling berlomba agar wilayahya masuk kategori PKPM yang rendah. Tidak mengherankan peringkat Indonesia mengendalikan pandemi beberapa bulan terakhir pernah berada di posisi papan atas di bandingkan dengan beberapa negara-negara di kawasan Asia dan Eropa. Merawat pretasi politik dengan meredam pandemic Covid -19, nampaknya dapat menjadi model pertarungan politik sangat sehat pada Pemilu 2024.
Fenomena ini jauh berbeda dibandingkan dengan dinamika politik menjelang Pilpres 2019. Gelora politik waktu itu kumuh akibat produksi massif hoax yang mengobarkan kebencian bernuansa identitas promordial.
Histeria hoax mengadu domba masarakat, mengakibatkan pesta demokrasi nyaris membelah rakyat secara kategoris berdasarkan garis SARA (suku, ras, agama dan antara gologan). Pemilu bukan lagi ajang pertarungan gagasan mulia, melainkan medan pertarungan hidup-mati, sehingga lawan politik bukan lagi pesaing yang harus di hormati berdasarkan nilai-nilai demokrasi, melainkan musuh yang harus dilumpuhkan. Akibatnya sangat tragis, Pemilu yang seharusnya sebagai pesta rakyat merayakan kedaulatannya, justru membuat masyarakat miris, cemas dan di rundung rasa takut.
Harapan stabilitas politik memasuki tahun 2022 bergayut perasaan was-was karena kuatir stabilitas politik hanya merupakan permainan para oligarki mengendalikan medan politik melestarikan kekuasaan.
Kecemasan tersebut tidak berlebihan karena politik uang, korupsi politik, politik dinasti dan sejenisnya berkembang subur selama lebih kurang dua puluh tahun terakhir ini; daya rusak perilaku korup hampir melumpuhkan lembaga politik, negara serta birokrasi pemerintahan.
Pemilu yang di topang stabilitas politik semu karena mekanisme politik dikontrol oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (invible hand,) hanya akan melicinkan jalan bagi penguasa otoritarian bertengger di republik ini. Contoh otentik stabilitas politik semu adalah Rejim Orde Baru. Atas nama stabilitas politik negara dapat melakukan apa saja,termasuk memasung hak azasi politik warga negara.
Stabilitas politik yang sehat adalah kemampuan lembaga-lembaga politik, negara dan pemerintahan bekerja sesuai dengan fungsi pokok mereka masing-masing, sembari saling berinteraksi satu lembaga dengan lembaga lainnya secara harmonis dalam satu system yang utuh. Sehingga bila dinamika politik terjadi gejolak, system tersebut mampu mengendalikan sehingga tidak terjadi ekses yang berlebihan.
Stabilitas politik di Indonesia dewasa ini merupakan perpaduan dan interaksi antara lembaga politik dan negara yang lemah serta rendah kredibilitasnya dengan oligarki politik yang semakin menguat. Kalau fenomena ini dibiarkan, hampir dapat dipastikan kekuatan oligarki semakin merajalela. Oleh karena itu sisa-sisa energi konstruktif lembaga politik dan negara harus dikapitalisasi sehingga stabilitas politik adalah produk dari sitem politik yang sehat.
Pemilu 2024 adalah kesempatan masyarakat sipil memberikan kontribusi memyelamatkan demokrasi. Misalnya, meningkatkan intensitas wacana terus menerus agar Parpol mempersiapkan kader-kader berkualitas yang akan menjadi anggota parlemen tingkat pusat dan daerah.
Caranya, seleksi dilakukan secara transparan, akuntabel dan meritokratif, sehingga diperoleh kandidat yang bermutu dan kompeten. Demikian pula bila Parpol tidak mempunyai kader yang elektabilitasnya tinggi sebagai kandidat presiden, wajib mendengarkan suara rakyat. Dalam perspektif politik, menatap tahun 2022 terbentang harapan, tetapi tantangan juga menghadang.
Jakarta, 17 November 2021.