WARTABUANA – Seni senantiasa berada dalam pergulatan ke¬hidupan Iwan Burnani Toni. Lewat seni ia menjabarkan rasa, intuisi dan empati, terhadap berbagai pe¬ristiwa. Dengan jelajah imajinatifnya ia terus berkarya dengan bentuk yang tak terbatas.
Salah satu karya terbaru Iwan adalah pertunjukan teater virtual, bertajuk ‘Sutradara Ngekting Dalam Episode Petang di Taman.’
Apa spirit yang melatar belakangi karya ini? “Terus mencari celah agar tetap hadir di mata publik,” ujar Iwan, saat dijumpai di acara khaul memperingati hari lahirnya ‘Si Burung Merak’ WS. Rendra, di ‘Bengkel Teater Rendra,’ Cipayung Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (7/11/2020).
Para seniman – sama halnya pemangku lainnya, kata Iwan, terpukul oleh iklim global pandemic covid-19. “Dalam konteks Indonesia, belum ada jaring pengaman sosial bagi pelaku seni. Selama ini aktivitas kesenian bergantung pada patron atau pendanaan privat dan mekanisme pasar. Apalagi seni teater, minim sponsor dengan penonton yang eksklusif,” paparnya.
Namun, kata Iwan, seniman harus tetap semangat dan kreatif dalam rangka menjaga kewarasan publik di masa pandemi ini.
“Seni itu kan bisa inspiratif, bisa kontemplatif, bisa juga persuasif. Saya kira inilah nilai-nilai yang bisa kita temukan dari kesenian. Membentuk sikap, dan menyadari bahwa semua adalah tanggung jawab bersama,” ujar salah satu pendiri ‘Bengkel Teater Rendra’ ini.
‘Sutradara “Ngekting,’ jelas Iwan, dikemas dalam konsep multi media; film directing shot by shot, serta menempatkan naskah satu babak “Petang di Taman” karya Iwan Simatupang sebagai pilihan.
‘Sutradara “Ngekting’ akan digelar secara virtual dari Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta Pusat, akhir Desember 2020 mendatang.
Pertunjukan ini menjadi proses transformasi teks dan aktor, yang menempatkan para sutradara – baik sutradara teater, film, maupun sinetron, menjadi aktor-aktris. Mereka dituntut dapat menghadirkan teater; mengaktualisasikan cerita di atas panggung.
Para sutradara yang akan tampil sebagai aktor dan aktris di pergelaran ini antara lain, Taslim Idrus, Edward AN, Mohan Mehra, Joind Bayuwinanda, Maya Azeezah, dan Ade Bilal.
Mereka adalah para sineas, dan penggiat teater, yang secara profesional sudah banyak menyutradarai sinetron maupun pertunjukan teater. Termasuk diantaranya perupa (pelukis), penulis sastra, creative writer (penulis skenario), presenter, penyiar radio, dan praktisi kesenian lainnya.
Iwan Burnani dalam hal ini, melalui lembaga seni Teater Baling-Baling, Sanggar Humaniora, serta didukung Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Zonmer Official (PT. Citrus Cipta Sinergi), yang bertindak sebagai impresario, akan menimpilkan ‘Sutradara “Ngekting,’ secara virtual.
Pertunjukan ini sebelumnya didahului kolokium virtual dalam kajian, “Teater : Tetap Kreatif di Tengah Masa Pandemi Pantang Takluk!” Menghadirkan para seniman panggung, sineas, musisi, penggiat budaya, artis dan wartawan, antara lain; Iwan Burnani, Dedi Setiadi, Putu Wijaya, Sawung Jabo, Eddie Karsito, dan Sha Ine Febriyanti.
Narasumber menyoal eksistensi seni dalam realitas dan tantangan budaya global. Kesenian yang dapat berdialog dengan berbagai perubahan, khususnya di tengah masa pandemi covid-19 saat ini.
“Kami mempersiapkan beberapa pola komunikasi jarak jauh (virtual). Inilah pendekatan sementara yang bisa kami lakukan sebagai pelaku seni. Sosialisasi penciptaan, refleksi dan ma¬¬nifestasi es¬tetika. Melakukan transfer pengetahuan. Mengembangkan wacana. Berdiskusi jarak jauh, serta mempresentasikan karya seni secara virtual,” ungkap Iwan.
Ranah kesenian Iwan Burnani terbilang lintas sektoral dengan basisnya di seni peran. Selain di teater, Iwan aktif di industri pertelevisian dan perfilman, baik sebagai aktor, sutradara, penulis skenario, maupun sebagai dubber (pengisi suara).
Proses Kreatif Iwan Burnani
Keberadaan Iwan Burnani di seni teater memang tak lepas dari histori kehidupan WS Rendra. Sejak tahun 1972, Iwan bergabung di ‘Bengkel Teater’ Yogyakarta yang dipimpin WS. Rendra. Di grup ini Iwan kerap dipercaya menjadi Asisten Sutradara (Tahun 1976 – 1986).
Tahun 1986, Iwan ikut membidani dan menjadi salah satu pendiri ‘Bengkel Teater Rendra’ di Jakarta, setelah selama 8 tahun Bengkel Teater (Yogyakarta) dilarang pentas oleh Pemerintah.
Di tahun berikutnya, tahun 1978 Iwan juga mendirikan group ‘Barock’ bersama musisi, Sawung Jabo, dan mendirikan ‘Teater Baling-Baling’ bersama Musisi Rock, Bangkit Sandjaya.
Belasan pertunjukan teater telah dicecap Iwan Burnani, sejak ia bergabung di Bengkel Teater di Yogyakarta. Pertunjukan tersebut antara lain, “Mastodon Burung Condor” (1973), “Antigone” (1974), “Oidipus di Colonus” (1975), “Hamlet” (1976), “Lysistrata” (1977), “Panembahan Reso” (1986), dan “Oidipus Rex” (1987).
Tahun 1988, Sebagai aktor, Iwan Burnani juga berkesempatan muhibah ke New York Amerika Serikat, guna mengikuti Festival Teater Internasional, dalam pementasan “Selamatan Anak Cucu Suleiman” (1988). Pada kesempatan tersebut Iwan sempat mengenyam pendidikan film di New York University.
Dua tahun berikutnya (1990), Iwan Burnani, bersama Bengkel Teater Rendra, tampil di kota Tokyo Jepang, kembali mementaskan “Selamatan Anak Cucu Suleiman.”
Ranah kesenian Iwan Burnani terbilang lintas sektoral dengan basisnya di seni peran. Selain di teater, Iwan aktif di industri pertelevisian dan perfilman, baik sebagai aktor, sutradara, penulis skenario, maupun sebagai dubber (pengisi suara).
Iwan juga mendedikasikan dirinya sebagai instruktur seni peran di berbagai kantong kesenian dan kebudayaan, serta di beberapa lembaga pendidikan formal.
Selain tetap mengurus ‘Bengkel Teater Rendra’ dan ‘Teater Baling-Baling,’ seniman berlatar belakang pendidikan dari Akademi Pembangunan Masyarakat Desa, Yogyakarta ini, juga menjadi Dewan Pembina Sanggar Humaniora.[]