Oleh : J Kristiadi
MEMBACA judul di atas pasti membingungkan. Sama membingungkannya mengenai perdebatan tentang partai lokal yang marak dalam beberapa minggu terakhir ini. Meskipun membingungkan, tetapi debat yang didasarkan atas prinsip rasionalitas, saling menerima, dan sikap yang konstruktif pasti banyak gunanya.
Untuk mulai mengurai kebingungan tersebut mungkin perlu sedikit disegarkan ingatan kita bahwa perdebatan partai lokal beberapa minggu terakhir ini berkaitan dengan gagasan kemungkinan terbentuknya partai lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan terbentuknya partai lokal, diharapkan konflik kekerasan yang terjadi di NAD diselesaikan melalui jalur politik.
Dalam jangka panjang kehadiran partai lokal di Provinsi NAD, dan mungkin wilayah lain, akan menjadi lembaga politik yang sangat penting untuk menyalurkan aspirasi politik warga di wilayah tersebut yang kemungkinan sekali aspirasinya tidak dapat secara lebih eksplisit diakomodasi kepentingannya dalam kebijakan publik di tingkat nasional. Semakin banyak partai lokal di daerah akan semakin mengurangi proses radikalisasi politik di wilayah yang bersangkutan karena segala aspirasi rakyat disalurkan melalui mekanisme demokrasi.
Kerumunan Politik
Kontroversi dari wacana publik mengenai partai lokal pada umumnya dapat dibagi dalam dua kubu sebagai berikut. Pertama, kubu yang setuju adalah mereka menganggap pembentukan partai lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan, bahkan persyaratan yang tidak dapat ditawar lagi, bagi bangsa Indonesia untuk mengukir demokrasi. Partai lokal merupakan jawaban atas kenyataan heterogenitas masyarakat dan wilayah yang sangat luas.
Kedua, kubu yang menolak adalah mereka yang mengkhawatirkan kehadiran partai lokal akan dijadikan instrumen politik bagi kelompok- kelompok yang menginginkan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejauh yang dapat dicermati, polarisasi perbedaan yang cukup tajam tersebut disebabkan oleh perbedaan pemahaman, pandangan, dan mungkin penghayatan dari penampilan organisasi (kerumunan) manusia yang setidak-tidaknya lebih kurang tujuh tahun terakhir ini menyebut diri partai politik. Munculnya ratusan kerumunan manusia yang kemudian menyebut dirinya partai politik, sebagian besar menunjukkan perilaku yang sangat lapar dengan kekuasaan.
Ciri-ciri umum kerumunan politik tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, sangat berorientasi pada kekuasaan. Akibatnya, mereka selalu dirundung konflik internal yang berlarut-larut karena urusan perebutan memperoleh kekuasaan adalah bisnis utama mereka. Cita-cita politik hanya secara seremonial dicantumkan dalam visi dan misi tanpa secara konsisten dijabarkan dan dilaksanakan.
Kedua, kekuatan massa dijadikan andalan utama merebut kedudukan politik. Kalau perlu rakyat diprovokasi untuk melakukan kekerasan jika kalah dalam memperebutkan kedudukan. Bahkan, tidak segan-segan memanipulasi semangat primordial sebagai instrumen politik yang dapat mengakibatkan konflik politik menjadi konflik komunal.
Ketiga, membangun oligarki politik baik di dalam tubuh organisasi maupun bersama-sama dengan lembaga-lembaga politik lainnya, mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Tujuannya agar para elite di dalam organisasi yang disebut partai tadi semakin berkuasa. Kalau perlu, produk undang-undang dipelintir agar mereka tetap dapat mengamankan kekuasaannya.
Keempat, bersifat feodalis atau sentralistis; semua keputusan organisasi pada dasarnya dilakukanoleh pimpinan pusat, termasuk proses pemilihan apa yang disebut wakil-wakil rakyat dan kepala- kepala daerah.
Kalau perdebatan mengenai eksistensi partai lokal mengacu pada pengalaman empirik dari perilaku politik kerumunan manusia yang menyebut diri partai politik, dapat dipastikan perdebatan akan mengalami distorsi. Sebab, fenomena yang diperdebatkan adalah sesuatu yang bukan dimaksud sebagai sebuah partai politik yang beneran.
Fungsi-Fungsi Parpol
Perdebatan mungkin akan lebih konstruktif, kalaupun akhirnya menolak atau menerima kehadiran partai lokal, bila yang diperdebatkan adalah sosok partai politik sebagai lembaga politik yang mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
Pertama, pendidikan politik bagi warga masyarakat, terutama pendidikan bagi para konstituennya mengenai nilai-nilai dan cita-cita politik partai yang bersangkutan. Melalui fungsi ini partai politik diharapkan mempunyai kader yang bermutu, baik dari segi sikap, perilaku, serta keterampilan dalam mengemban kepercayaan rakyat.
Kedua, melaksanakan perekrutan politik yang dilakukan melalui seleksi dan kompetisi yang jujur dan adil secara demokratis. Fungsi ini sangat penting agar elite partai atau kader yang dipercaya untuk duduk dalam jabatan publik dan parlemen misalnya, bukan hanya karena dukungan para petinggi partai, melainkan secara internal mereka juga mempunyai basis politik yang kuat.
Ketiga, mendorong partisipasi politik warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mayoritas, namun juga jaminan atas kepentingan minoritas yang kalah dalam pemilihan umum. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, bila fungsi ini dilaksanakan, partisipasi politik masyarakat mungkin akan jauh lebih tinggi dari yang sekarang ini hanya berkisar antara 60-65 persen dari jumlah pemilih.
Keempat, menyalurkan aspirasi dan memadukan aspirasi masyarakat yang berbeda-beda. Jadi, yang dikelola adalah kepentingan yang berbeda untuk dirumuskan menjadi kebijakan umum, bukan kepentingan elite partai yang dikompromikan sehingga menjadi kebijakan yang mengatasnamakan rakyat tetapi pada kenyataannya hanya untuk kepentingan elite partai.
Kelima, melakukan komunikasi politik. Fungsi yang sangat penting mengingat komunikasi politik adalah proses informasi timbal balik di antara warga masyarakat. Ibaratnya adalah darah dalam tubuh manusia yang menghidupkan bagian-bagian yang saling berhubungan dalam suatu sistem.
Keenam, mengelola konflik sehingga tidak menjadi benturan kekerasan atau kerusuhan sosial bagi kelompok-kelompok masyarakat yang memperjuangkan kepentingannya. Melalui mekanisme dan aturan- aturan yang ditetapkan, konflik dalam masyarakat demokratis harus dapat dilakukan dan diselesaikan secara damai.
Dengan mencermati secara lebih elaboratif fungsi-fungsi lembaga yang bernama partai politik, pada dasarnya sosok itu bukan partai politik sebagaimana sebagai lembaga politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 05 Agustus 2005.