Oleh : J Kristiadi
BABAK berikut agenda kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla beberapa pekan atau bulan mendatang adalah menata aparat pelaksana. Ini dimaksudkan untuk mewujudkan janji-janji yang selalu dikumandangkan selama kampanye presiden: bersama kita bisa.
Apakah-kata-kata itu cukup bertuah tergantung dari siapa yang akan dipilih menduduki jabatan pada jajaran eselon I. Menurut Presiden, perombakan pejabat eselon I dimaksudkan agar seluruh mesin pemerintah bergerak secara utuh.
Itulah tahap yang lebih serius dan amat menentukan kinerja pemerintahan lima tahun mendatang daripada saat Presiden dan Wakil Presiden mencanangkan rencana kerja 100 hari sebagai terapi kejut dan menuai kritik masyarakat. Upaya shock therapy yang sulit diwujudkan mengingat prasyarat untuk melakukan upaya itu belum ada, yaitu struktur departemen dan orang-orang yang akan duduk dalam jabatan- jabatan itu.
Karena itu, dapat dipahami jika para menteri kebingungan bagaimana harus berperilaku selama 100 hari. Akhirnya, mereka lebih banyak melakukan improvisasi agar memberi kesan mereka bekerja keras dan sungguh-sungguh. Misalnya, seorang menteri rajin masuk keluar pasar tradisional atau ikut menggerebek PSK (pekerja seks komersial) asing, menebar janji menangkap Dr Azahari dan koruptor kakap yang ada di luar negeri, dan sebagainya.
***
PERTANYAAN yang amat sederhana, tetapi mendasar, adalah apakah Yudhoyono-Kalla dapat merombak pejabat eselon I agar dapat menjadi mesin pemerintahan yang mampu menggerakkan roda pemerintahan sebagai upaya mewujudkan janjinya?
Upaya itu tampaknya tak mudah mengingat beberapa kenyataan berikut. Pertama, meski reformasi politik telah berjalan enam tahun, aparat birokrasi belum tersentuh arus perubahan dalam arti sebenarnya. Pemerintahan pada era reformasi saat ini masih mewarisi birokrasi peninggalan Orde Baru yang amat korup dan paternalistis. Pelayanan terhadap masyarakat hanya menjadi slogan. Ungkapan sinikal “kalau masih bisa dipersulit mengapa diperlancar” adalah manifestasi kejengkelan masyarakat atas birokrasi yang bobrok.
Sumber kebobrokan sudah jelas. Pada zaman Orde Baru pergantian eselon I didasarkan sepenuhnya atas selera dan kepentingan penguasa. Birokrat hanya merupakan kepanjangan tangan keserakahan penguasa, khususnya lingkaran dalam pusat kekuasaan dan keluarganya. Persyaratan perekrutan adalah kedekatan, kemampuan akses, atau sikap pejah gesang nderek (loyalitas buta) kepada atasan.
Kedua, pada pasca-Orde Baru, pengangkatan pejabat eselon satu merupakan kombinasi perebutan kepentingan antara partai politik pemenang pemilu dan faktor kekerabatan yang disertai bagi-bagi rezeki. Hal itu disebabkan oleh sistem pemerintahan presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan presiden amat tergantung dukungan partai- partai di parlemen.
Demikian pula setelah presiden dipilih secara langsung yang bertujuan agar legitimasi politik presiden lebih kuat karena terpisah dengan legitimasi parlemen, sehingga DPR tidak dapat menjatuhkan presiden, tampaknya belum dapat menghilangkan ketergantungan presiden pada parlemen. Presiden dalam menyusun kabinet masih harus menghadapi kenyataan untuk dipaksa melakukan deal-deal kompromistis dengan partai-partai politik yang mendukungnya.
Masalah menjadi lebih kompleks karena biaya pemilihan presiden secara langsung amat mahal sehingga diperlukan dukungan kalangan yang mempunyai sumber keuangan besar. Akibatnya, presiden dibebani utang budi politik oleh para pemberi dana. Investasi politik itu tagihannya dapat berupa jabatan publik yang dapat mengakomodasi kepentingan bisnis mereka sehingga dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu dengan mudah dapat dilihat menteri yang berasal atau mendapat dukungan partai politik tertentu dan menteri yang dapat dikategorikan mewakili pemilik modal untuk investasi politik.
Dalam iklim politik dagang sapi seperti itu jabatan eselon I dan jabatan-jabatan nondepartemen yang belum dan akan dilakukan pergantian dikhawatirkan akan menjadi komoditas politik. Jabatan yang masih tersedia setingkat menteri sudah tidak terlalu banyak, seperti Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan beberapa jabatan lainnya. Dalam hal ini masyarakat masih akan terus mewaspadai, apakah jabatan publik yang tersisa akan disediakan untuk mereka yang mempunyai kompetensi atau hanya akan menjadi alat tukar ongkos politik.
Karena itu, pergantian pejabat eselon I, meski secara resmi harus dilakukan dengan prosedur dan standar profesi tertentu serta didukung seabrek peraturan kepegawaian, tekanan dari kalangan partai politik dan investor politik pasti tidak dapat diremehkan.
***
MENYIKAPI kecenderungan seperti ini, presiden diharapkan lebih bersikap tegas. Siapa pun boleh mendukung, tetapi jika mempunyai calon harus memenuhi syarat kompetensi dan integritas pribadi yang sesuai dengan jabatan dan martabatnya. Namun, hal itu tidak terlalu mudah dalam konstelasi politik yang penuh kepentingan subyektif partai-partai.
Sekadar contoh, bukan merupakan rahasia lagi, beberapa orang dari kalangan akademis yang mempunyai keahlian tertentu direncanakan menjadi semacam pembantu khusus presiden. Namun, nasib mereka, setidaknya sampai artikel ini ditulis, masih belum jelas apa sebenarnya posisi mereka. Semula didengar mereka akan ditempatkan sebagai juru bicara (spokesman/spokesperson) atau staf khusus. Namun, kabarnya masih terjadi perdebatan internal di dalam salah satu kantor kementerian. Bahkan, jika mereka mengikuti perjalanan presiden keluar negeri, sebutan resmi dalam daftar rombongan tidak sesuai fungsinya. Kadang dicantumkan sebagai interpreter, bahkan tega ditulis sebagai notetaker (pencatat).
Sebetulnya, apa pun sebutannya bukan persoalan. Namun, jika tugas dan fungsi mereka tidak sesuai dengan sebutan resmi dalam muhibah kenegaraan, itu jelas memerlukan sikap tegas dari seorang presiden. Belum lagi perdebatan apakah Menteri Sekretaris Kabinet ada di bawah Menteri Sekretaris Negara atau berdiri sendiri.
Dalam suasana yang diselimuti perdagangan politik, menteri yang pusing adalah yang menginginkan eselon satunya terdiri dari orang- orang yang kompeten, jujur, dan bersedia bekerja keras untuk rakyat. Persoalan utama adalah mencari bahan dasar untuk calon-calon eselon I amat terbatas pilihannya. Dalam iklim korupsi dan kolusi yang sudah sedemikian sistemik dan endemik, terlalu sulit mencari calon pejabat yang steril dari kontaminasi penyakit KKN di negeri ini. Karena itu, tidak berlebihan jika Kompas (26 Februari) dalam karikaturnya secara sinikal menyebutkan, bangsa ini hidup dalam Republik Maling. Ibaratnya, korupsi sudah menjadi bagian kegiatan resmi pemerintahan. Salah satu perwujudannya adalah banyaknya isu mark up yang dilakukan dalam penyusunan anggaran belanja negara (baik di tingkat pusat maupun daerah).
Korupsi menurut Kwik Kian Gie sudah sampai pada tingkat niat untuk berbuat korupsi. Artinya, secara sadar seseorang yang akan menjadi memegang kekuasaan, apa pun namanya dan pada tingkat apa pun, asal berkuasa, sudah sejak titik paling awal ingin menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, mungkin yang paling baik bagi para menteri yang masih mempunyai idealisme harus bersikap realistis. Pilih pejabat eselon I yang terbaik di antara yang tersedia meski mungkin yang tersedia adalah yang buruk-buruk. Tingkatkan pengawasan internal departemen dengan mengangkat inspektur jenderal yang masih mempunyai integritas dan kompetensi dalam menjalankan tugas. Jangan orang yang sudah dikenal tukang jual perkara atau sekadar mencari kesalahan koleganya duduk di tempat seperti itu. Sayangnya, untuk memilih pejabat seperti itu diperlukan upaya cukup keras.
Sehubungan dengan itu, dalam jangka panjang harus disiapkan reformasi sungguh- sungguh di lingkungan birokrasi. Khususnya lembaga pendidikan kedinasan harus dijadikan wahana untuk melakukan perombakan mental terhadap birokrat, terutama bagi mereka yang akan disaring menjadi pejabat pada tataran eselon I.
Lembaga pendidikan kedinasan jangan sekadar dijadikan forum untuk melakukan academic exercise atau jalan mulus untuk menjadi pejabat tinggi. Lembaga semacam itu harus menjadi tempat penggemblengan kepada birokrat agar, selain mempunyai keahlian dan keterampilan, juga berdedikasi terhadap tugas menyelenggarakan kepentingan umum.
Selain itu, contoh perilaku atasan amat penting. Tanpa melakukan revolusi (perubahan mendasar) dan keteladanan seperti, setiap presiden dan kabinetnya akan selalu menghadapi masalah serupa sebagai berikut: pergantian pejabat eselon I hanya dijadikan dagang sapi atau arisan politik.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 28 Februari 2005.