Oleh: J Kristiadi
Rakyat yang dimaksud adalah mereka yang kenyang dengan janji kampanye tetapi harus makan nasi aking, mereka yang tidak berdaya menghadapi penggusuran. Mereka yang pasrah menyaksikan rumah dan lahan hidupnya tergenang lumpur, mereka yang menderita akibat bencana alam maupun bencana akibat perbuatan manusia yang serakah. Mereka yang putus asa serta kecewa karena pemimpin dan wakil rakyat tidak merasakan keprihatinan dan penderitaan rakyat.
Kenyataan yang menggambarkan betapa sengsaranya rakyat sebenarnya ironis bila dibandingkan dengan kenyataan lain berupa keikhlasan rakyat yang telah memercayakan kedaulatan, kehormatan, serta kenikmatan kepada elite politik. Ketulusan dan kualitas peradaban rakyat yang dimanifestasikan dalam bentuk ketaatan terhadap aturan pemilihan umum yang dilaksanakan secara masif, akseleratif, dan tingkat frekuensi tinggi sejak tahun 2004 tidak mendapatkan balasan setimpal.
Bahkan, pada tahun 2005 dan 2006 diselenggarakan lebih dari 190 kali pemilihan kepala daerah dan berlangsung tertib dan aman. Suatu prestasi yang pantas disyukuri mengingat tidak jarang pascapemilihan umum terjadi perang saudara, sebagaimana ditulis Jack Snyder dalam buku berjudul From Voting to Violence, Democratization and Nationalist Conflict pada tahun 2000. Sejak demokrasi menjadi pilihan negara sebagai sistem kekuasaan yang digandrungi umat manusia, belum pernah ada negara di dunia yang menyelenggarakan pemilihan umum seperti yang dilakukan bangsa Indonesia.
Prestasi rakyat lain yang patut dicatat adalah respons mereka terhadap inisiatif dan upaya pemerintah yang patut dihargai dalam melakukan perdamaian di Aceh. Penghentian perang saudara di Aceh tidak mungkin berhasil tanpa partisipasi rakyat yang berhati mulia sehingga bersedia melupakan luka masa lalunya agar kehidupan masa depan lebih baik.
Komitmen terhadap nilai kemanusiaan dan toleransi juga ditunjukkan secara lebih konkret dengan keberhasilan rakyat Aceh melaksanakan pemilihan kepala daerah secara tertib, aman, dan damai. Kalaupun timbul permasalahan, semua diselesaikan dengan aturan yang disetujui bersama. Ungkapan from bullet to ballot, yang tidak mudah dilakukan, ternyata dapat menjadi kenyataan di Aceh.
Hal yang mirip terjadi pula di Provinsi Papua. Wilayah yang telah lama diabaikan sehingga sebagian rakyat setempat menuntut kemerdekaan kini mulai meretas masa depan yang lebih baik melalui kewenangan, khususnya sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Gambaran di atas menunjukkan rakyat sebenarnya telah memberikan kontribusi yang besar bagi perubahan politik dewasa ini. Oleh karena itu, mereka berhak menuntut terutama kepada elite yang telah diberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan kekuasaan, baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Berdasarkan pencermatan di atas, pemerintah harus memanfaatkan tiga tahun sisa pemerintahannya, membuat skala prioritas dan memusatkan kebijakan yang mendesak bagi kebutuhan dasar masyarakat. Hal itu perlu dilakukan bukan hanya untuk membendung keputusasaan masyarakat, tetapi juga menumbuhkan optimisme publik. Oleh sebab itu, pemerintah dituntut lebih meningkatkan beberapa keberhasilan agar dirasakan rakyat secara keseluruhan. Capaian yang diraih misalnya dalam politik luar negeri, seperti terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan HAM di PBB dan anggota tidak tetap DewanKeamanan PBB, pelunasan utang IMF, serta pembubaran CGI, meskipun merupakan kemajuan, tetapi selalu dapat dipertanyakan apa hasil diplomasi yang telah dilakukan mempunyai dampak positif terhadap kepentingan rakyat.
Mungkin harapan dapat diletakkan pada instruksi Presiden tahun 2007 yang memberikan target yang harus dicapai 15 pejabat tinggi (menteri dan pimpinan lembaga nondepartemen) meningkatkan kinerjanya. Secara garis besar, target tersebut selama tahun 2007 adalah meningkatkan produksi beras menjadi dua ton, produksi migas 30 persen dalam tiga tahun, membangun industri listrik skala menengah 200 MW per tahun, mempercepat pembangunan tol trans-Jawa dan luar Jawa, memproduksi 1 juta hektar dan reboisasi 2 juta hektar per tahun, meningkatkan ekspor sampai dengan 20 persen per tahun, meningkatkan produksi perikanan sebesar 20 persen, menyelesaikan masalah perburuhan dalam waktu tiga bulan, membangun rumah susun 100 unit dalam waktu lima tahun, meningkatkan kunjungan wisman 7 juta orang per tahun, meningkatkan kinerja BUMN 20 persen lebih baik dari tahun 2006, menghidupkan kembali jaminan kredit kecil, menyusun program perbaikan melakukan bisnis sehingga Indonesia mencapai peringkat 75 dari 130, dan sebagainya.
Kalau perlu, instruksi dan target dipublikasikan secara meluas sehingga rakyat dapat ikut mengontrol dan mengetahui langkah yang dilakukan menteri atau pejabat yang bersangkutan. Mungkin inilah kesempatan emas dan terakhir bagi pemerintah mempertaruhkan mandat yang diberikan rakyat kepadanya.
Namun, harus diakui, persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia besar, kompleks, dan rumit. Tingkat akselerasi perubahan sedemikian tinggi sehingga tidak terkejar oleh aturan dan lembaga yang seharusnya mendukungnya. Akibatnya, sedemikian banyak regulasi di berbagai sektor kehidupan tidak layak serta tumpang tindih sehingga kebijakan yang menjadi turunannya berbenturan antaralembaga atau departemen yang satu dengan departemen lainnya. Oleh sebab itu, benar ungkapan yang menyatakan pekerjaan yang tidak kalah rumitnya dalam mewujudkan cita-cita adalah membuat rincian apa yang harus dilakukan. Oleh sebab itu, hanya kerja keras dan ketekunan yang dapat mewujudkan cita-cita besar tersebut.
Beberapa catatan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai modal menjadi bangsa yang besar. Modal utama adalah rakyat yang telah mempunyai kualitas peradaban dan toleransi dalam menghadapi persaingan politik yang kadang- kadang kejam. Oleh sebab itu, tugas para elite politik, khususnya pemerintah, harus meningkatkan, memfokuskan, dan memprioritaskan kinerjanya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, dengan harapan masyarakat tidak tergulung oleh gelombang kekecewaan janji yang selama ini telah ditebarkan.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 30 Januari 2007.