Oleh : J Kristiadi
PERISTIWA perpecahan dan perseteruan internal partai politik beberapa bulan terakhir ini, selain menimbulkan keprihatinan dan kejengkelan, juga mendorong keingintahuan masyarakat. Pertanyaan yang muncul, ke arah manakah sistem kepartaian di Indonesia. Pertanyaan itu amat relevan mengingat selama tujuh tahun reformasi, wajah partai di mata rakyat tidak lebih dari monster pemburu kekuasaan.
Kegelisahan dan kecemasan masyarakat kian meningkat dengan akan segera diawalinya proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat. Jangan-jangan pilkada langsung hanya akan dijadikan ajang perebutan kekuasaan partai untuk menguasai lembaga eksekutif di daerah.
***
KEKHAWATIRAN itu amat beralasan mengingat performance partai politik selama masa reformasi telah “memonopoli” kekuasaan. Tetapi apa yang mereka lakukan jauh dari keinginan dan harapan masyarakat.
Demikian pula dalam pemilihan kepala daerah, partai politik masih amat menentukan para kandidat kepala daerah. Partai politik yang seharusnya sekadar instrumen yang menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada atasan daripada calon di luar partai yang mungkin dianggap masyarakat lebih berkualitas.
Padahal, makna pilkada, selain ingin membangun tatanan dan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin berfungsinya keseimbangan saling kontrol di antara lembaga-lembaga politik, masyarakat berharap agar pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang lebih akuntabel, berkualitas, legitimate, aspiratif, dan peka terhadap keprihatinan rakyat.
Kerisauan masyarakat dapat dimengerti karena pernyataan para pemimpin parpol yang telah menargetkan jumlah kepala daerah yang akan direbut. Target itu diperkirakan akan menjadi batu loncatan atau pemanasan bagi pertarungan politik yang akan kian sengit pada Pemilu 2009, baik pada pemilu legislatif maupun pemilihan presiden.
Masyarakat khawatir kalau proses pemilihan kepala daerah hanya direduksi sebagai pertarungan para elite berebut kekuasaan. Suatu adu kekuatan politik yang akan terjadi di tengah atmosfer politik yang mengakibatkan mereka yang haus kekuasaan akan mengulangi lagi segala cara untuk memperebutkan kekuasaan. Akibatnya, dengan mempunyai kedudukan di lembaga pemerintahan, partai-partai yang pada dasarnya sebagian besar masih feodalistik dan pragmatis akan semakin membuat partai politik kehilangan roh dan relevansinya bagi perkembangan demokrasi. Alhasil, Pemilu 2009 hanya akan menghasilkan elite politik yang tidak berbeda paradigmanya dengan mereka yang sekarang berkuasa.
***
UNTUK memperoleh kepercayaan masyarakat, tugas partai politik masih amat berat. Setelah rakyat dengan jiwa besar mencoba memercayai janji partai dalam serangkaian pemilihan umum yang melelahkan sepanjang tahun 2004, tetapi ternyata rezim (keseluruhan tatanan politik) hasil pemilu belum menghasilkan sesuatu yang secara nyata dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Sebaliknya, masyarakat merasakan hidupnya kian sulit, jumlah penganggur bertambah besar; meski pemerintah mencoba memberantas korupsi, hasilnya masih harus ditunggu.
Sementara itu, anak-anak remaja, bahkan anak usia sekolah dasar, bunuh diri karena hidup yang mengimpit. Pengalaman itu memberi gambaran suram bagi rakyat kecil, setelah lima tahun menahan derita dan lelah menunggu janji-janji kosong, belum tentu pasca-Pemilu 2009 terjadi perubahan kehidupan yang lebih baik.
Namun, sebagai bangsa, apakah kita harus kehabisan harapan dan pesimistis menghadapi masa depan? Jawabannya, tidak! Bangsa Indonesia dewasa ini sedang mengalami suatu perubahan politik yang revolusioner.
Dalam perspektif itu, mudah-mudahan salah satu agenda yang amat penting, yaitu proses menuju sistem kepartaian yang lebih jelas, semakin tampak. Beberapa indikasi dari perilaku partai politik yang dapat dicermati selama ini menunjukkan sistem kepartaian di Indonesia dapat mengarah kepada sistem partai kartel.
Sistem partai kartel boleh dikatakan relatif baru. Sistem itu diintrodusir oleh Katz dan Mair’s (1995). Oleh Katz dan Mair’s, system partai kartel diartikan sebagai sistem kepartaian dengan beberapa cirri sebagai berikut.
Pertama, partai bukan lagi sebagai mediator yang menghubungkan masyarakat warga (civil society) dengan negara, tetapi partai merupakan bagian dari agen negara yang vis a vis (berhadapan) dengan masyarakat warga.
Kedua, partai memilihkan “menu” politik bagi pemilihnya, termasuk para calon anggota lembaga perwakilan.
Ketiga, negara memberi dana untuk kelangsungan hidup partai. Karena itu, partai amat bergantung pada subsidi pemerintah.
Keempat, partai tidak mengandalkan loyalitas anggotanya. Karena itu, hubungan partai dengan konstituensnya amat longgar. Karena itu, kampanye biasanya lebih dilakukan dengan mengandalkan kemampuan manajerial dan efisiensi serta capital intensive (membeli jam tayang prime time stasiun televisi, memasang advertensi untuk kampanye, menyewa konsultan politik yang profesional dan sebagainya). Sementara itu, kampanye dengan menggalang solidaritas massa tidak diutamakan.
Kelima, tidak mempunyai ideologi yang solid, tetapi lebih mempraktikkan pragmatisme politik. Karena itu, yang paling diperlukan bukan kemenangan untuk mendapatkan dukungan publik, tetapi bagaimana bersaing untuk mendapatkan akses negara dengan melakukan sharing power (bagi-bagi kekuasaan) dengan partai kompetitornya, sehingga yang sering terjadi adalah saling melakukan penetrasi antara partai politik dan Negara (state) yang sifatnya amat kolutif dan manipulatif. Maka di dalam system kepartaian ini tidak ada partai minoritas yang berada di luar struktur kekuasaan negara.
Keenam, peran kepengurusan pusat kian kuat, sementara itu pengurus daerah semakin menyusut.
***
BERDASARKAN ciri-ciri itu, meski tidak dipenuhi semua, sistem kepartaian di Indonesia tampaknya tidak mustahil dapat mengarah kepada system partai kartel. Ciri-ciri yang mirip adalah dana dari negara untuk partai, pragmatisme dalam melakukan power sharing, longgarnya keanggotaan partai, pengurus pusat yang cenderung lebih dominan daripada pengurus daerah, serta kampanye-kampanye yang mulai memanfaatkan media dan tenaga-tenaga profesional. Beberapa negara maju yang menerapkan sistem itu, antara lain, Jerman, Austria, Finlandia, selain beberapa negara di Eropa Timur- Tengah seperti Estonia. Dengan demikian, system kepartaian kartel adalah salah satu bentuk dari sistem kepartaian yang diterapkan dalam negara demokrasi.
Jika di beberapa negara lain sistem itu dapat berjalan sehingga mendukung berkembangnya demokrasi, di Indonesia partai-partai masih amburadul. Hal itu lebih disebabkan oleh belum mapannya institusi- institusi demokrasi lainnya.
Biasanya, peran partai politik yang sentral dalam negara yang mengalami proses transisi menjadi krusial karena lembaga-lembaga politik lainnya masih lemah, disebabkan pula ketidakpastian politik, lembaga hukum yang lemah, serta masyarakat sipil (civil society) yang belum kuat. Sementara itu, ekspektasi masyarakat terhadap perubahan amat tinggi.
Pencermatan itu memberi pelajaran, demokrasi memerlukan system kepartaian yang dianggap cocok oleh bangsa bersangkutan. Sama halnya dengan demokrasi, ia bukan sistem kekuasaan yang ideal, tetapi demokrasi diperlukan sebagai sarana mewujudkan kepentingan bersama.
Demikian pula partai politik, tidak ada sistem kepartaian yang ideal. Masyarakat beradab memerlukan partai politik karena ia salah satu lembaga demokratis yang tersedia selain untuk menyalurkan aspirasi, melaksanakan mediasi antara masyarakat dan negara, ia berfungsi pula mengelola konflik kepentingan agar tidak menjurus ke arah kekerasan. Karena itu, kejengkelan masyarakat kepada perilaku partai politik bukan berarti masyarakat tidak mendukung demokrasi atau masyarakat menjadi antipartai politik. Kejengkelan itu lebih kepada hal-hal yang merupakan implikasi rendahnya kualitas hubungan antara elite partai dan warga masyarakat yang tidak nyambung. Jajak pendapat Kompas (Sabtu, 7/5/2005) membuktikan hal itu. Dikutip, lebih dari 53 persen responden menyatakan tidak kecewa dengan kiprah politik partai pilihan mereka dalam Pemilu 2004. Namun, lebih dari 50 persen pemilih Partai Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP mengaku kecewa dengan kinerja pimpinan partai mereka. Sementara itu, kekecewaan pemilih PKS sekitar 36 persen, Partai Demokrat 40 persen, dan PAN 48 persen.
Mudah-mudahan pilkada dengan segala kesulitannya menjadi bagian dari proses sistem kepartaian yang lebih solid dan dapat menghasilkan pimpinan yang dapat mewujudkan keinginan rakyat. []
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Senin, 09-05-2005.