Oleh : J Kristiadi
PROYEKSI politik yang dilakukan berbagai kalangan masyarakat menyebutkan, hampir semua sepakat kehidupan politik nasional tahun 2003 tidak akan lebih baik dari 2002. Bayangan kesuraman politik tahun 2003 didasarkan atas percermatan terhadap perilaku elite politik yang amat berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok sempit. Perangai mereka jauh dari empati terhadap penderitaan dan keprihatinan masyarakat.
Orientasi politik yang sarat vested interest menyebabkan arena politik hanya sekadar medan pertarungan elite untuk memperebutkan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri atau demi menjaga dan mempertahankan kepentingannya. Wilayah politik, yang seharusnya menjadi tempat para elite bertanding merebut dukungan rakyat dengan menawarkan gagasan-gagasan yang berorientasi kepada kepentingan umum, hanya menjadi ajang perburuan kekuasaan yang didominasi intrik dan akrobat politik yang mengabaikan norma dan etik, serta komitmen kepada kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, perpolitikan tahun 2003 diperkirakan dapat kian suram karena pada tahun itu merupakan tahun persiapan bagi para pemburu kekuasaan (partai-partai politik) untuk berkompetisi dalam Pemilu 2004 guna memperebutkan kursi di DPR/DPRD dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) maupun kursi presiden dan wakil presiden.
Perilaku politik semacam itu, meski pada tingkat persaingan dapat diibaratkan menghalalkan segala cara, tetapi setelah mereka mendapat kedudukan, akan amat mudah melakukan deal-deal politik dengan bekas lawan-lawan politiknya untuk membentuk oligarki politik. Perselingkuhan politik itu hanya bertujuan saling mengamankan kedudukan dan kepentingan politik masing-masing. Sementara rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka hanya dijadikan alat legitimasi politik.
Namun, benarkah masa depan politik Indonesia sangat suram sehingga mematikan harapan mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.
***
AGAR tidak kehilangan harapan, tetapi juga supaya lebih realistis menghadapi proses transformasi politik yang amat rumit, ada baiknya secara singkat menelusuri secara lebih cermat proses perubahan politik sejak Mei 1998 sampai sekarang. Penelusuran itu dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang kiranya dapat dijadikan modal menyelamatkan proses transisi politik dewasa ini. Konkretnya, apa modal bangsa yang dapat dijadikan pegangan dan harapan untuk bersikap optimistis menghadapi perkembangan politik ke depan?
Bila dilakukan refleksi politik dengan merenungkan kembali perjalanan sekitar lima tahun perjuangan masyarakat mencoba mengukir kehidupan politik yang demokratis, modal pertama dan utama adalah kearifan bangsa. Serangkaian gejolak politik yang dimulai sejak runtuhnya kekuasaan otoritarian hingga kini membersitkan secercah cahaya terang bahwa bangsa Indonesia mempunyai kearifan yang tercermin dalam sikap bijak yang dilakukan sementara pimpinannya.
Sikap arif dan bijaksana itu tampak menonjol dan eksplisit saat bangsa Indonesia menghadapi masa-masa kritis yang pertaruhannya adalah eksistensi dan kelangsungan hidup bangsa ini. Beberapa di antara peristiwa-peristiwa politik itu antara lain krisis politik yang mengakibatkan kejatuhan Soeharto mengandung potensi yang sangat besar terjadinya kekerasan antara kekuatan pendukung Soeharto dan kekuatan penentangnya. Karena bagaimanapun, kekuatan Soeharto masih cukup besar dan pada saat- saat terakhir ia masih mencoba bertahan dengan memberikan semacam Supersemar kepada Panglima ABRI untuk dapat digunakan menyelamatkan rezimnya. Andaikata Panglima ABRI saat itu nekat mempergunakan kewenangannya, sebagaimana Soeharto pernah lakukan tahun 1960-an, diperkirakan akan terjadi perlawanan yang amat keras dan habis-habisan dari rakyat. Bila skenario ini terjadi, pertumpahan darah tidak mungkin dapat dihindarkan.
Namun, berkat aura kearifan bangsa yang masih bersinar, pertumpahan darah atau perang saudara yang mengerikan dapat dihindarkan. Proses pergantian kekuasaan dari suatu rezim yang telah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun dapat berlangsung relatif damai. Saat itu banyak tokoh internasional yang memuji transformasi kekuasaan yang terjadi di Indonesia.
Setelah Soeharto lengser, kehidupan politik nasional hampir tidak pernah sepi dari gejolak politik yang memakan saraf karena mempunyai potensi terjadinya kerusuhan sosial. Misalnya, situasi politik menjelang Pemilu 1999. Pemilu pertama yang diselenggarakan masyarakat dibayangi kerusuhan sosial yang eskalatif yang dapat mengancam eksistensi bangsa. Kekhawatiran itu amat beralasan mengingat beberapa tahun sebelumnya, masyarakat mengalami berbagai kerusuhan sosial bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan korban ratusan jiwa melayang tanpa dapat diungkapkan sebab-sebabnya dan siapa dalangnya, seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Sanggau Ledo (Pontianak), Ujung Pandang, dan berpuncak pada peristiwa Mei 1998 yang mengerikan dan penuh misteri.
Oleh karena itu, banyak kalangan memperkirakan Pemilu 1999 akan menjadi medan pertarungan kompetisi politik yang amat mudah memicu kekerasan massal. Hal itu disebabkan terutama karena partai-partai politik diperkirakan hanya akan menjual sentimen primordial dan ketokohan dalam memperebutkan suara, di tengah masyarakat yang tingkat saling curiganya amat tinggi. Tetapi, dugaan itu meleset. Ternyata, pemilu dapat diselenggarakan dengan baik dan korban yang jatuh pada Pemilu 1999 jauh lebih sedikit dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya yang direkayasa penguasa.
Peristiwa itu mencerminkan, masyarakat, termasuk pemimpinnya, mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang bijak sehingga dapat mengukur sampai batas mana pertarungan politik dapat dilakukan agar tidak menjurus kepada kekerasan massal yang eksesif. Sebagai catatan kaki mungkin dapat disebutkan pengalaman ini seakan memberi pembenaran, kerusuhan sosial yang berlarut-larut dan sulit dihentikan adalah rekayasa yang secara sengaja diciptakan penguasa saat itu untuk mempertahankan kepentingannya.
***
PERISTIWA politik lain adalah Sidang Umum MPR 1999 yang menampilkan akrobat politik. Suhu politik mulai membara menjurus kepada kerusuhan massal karena PDI-P sebagai partai yang memperoleh kemenangan paling besar dalam Pemilu 1999, ketuanya kehilangan kesempatan emas memperoleh kedudukan presiden. Bahkan, nasibnya hampir “tercecer” tidak mendapat posisi apa pun. Namun, sekali lagi, dalam situasi yang kritis, kemelut politik kekerasan dapat dihindarkan berkat konsensus politik yang lebih mengutamakan keselamatan bangsa.
Peristiwa politik berikutnya yang tidak kalah menegangkan adalah Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid yang kontroversial mendorong suhu politik kian memanas. Lebih- lebih dengan semakin kuatnya lawan-lawan yang ingin melakukan semacam impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Konflik politik meningkat intensitasnya dan amat berpotensi menjadi konflik komunal. Kekuatan pembela Abdurrahman Wahid telah membentuk pasukan berani mati, sebaliknya yang menentangnya menghimpun kekuatan yang tidak kalah garangnya. Tetapi, akhirnya sidang istimewa yang berlangsung di tengah suhu politik yang amat memanas dapat berlangsung selamat. Konflik komunal dapat dihindarkan berkat imbauan pimpinan masyarakat serta kesadaran masyarakat sendiri.
Peristiwa politik terakhir adalah sidang MPR tahun 2002. Pada siding itu, MPR berhasil melakukan perubahan cukup besar atas UUD 1945, dengan mengesahkan UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali sebagai konstitusi baru. Terlepas dari kritik-kritik terhadap amandemen yang banyak benarnya, baik yang berkenaan dengan paradigma, substansi, serta inkonsistensi pasal-pasal dan wording- (pengkalimatannya)-tetapi jelas, UUD 1945 yang baru jauh lebih menampung tuntutan perkembangan politik ke depan dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum diamandemen.
Namun, nilai yang amat besar maknanya bagi pendewasaan bangsa adalah kesepakatan mengenai perbedaan pendapat tentang pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluknya (Pasal 29). Masalah yang amat sensitif itu dapat diselesaikan dengan amat baik dengan tidak mengubah bunyi Pasal 29.
Yang amat menonjol dan membanggakan dalam proses penyelesaian itu adalah kebesaran jiwa, sikap saling menghargai dan toleransi kedua pihak, baik yang pro maupun yang kontra, serta sikap masyarakat yang secara rasional memahami dan menerima kesepakatan itu. Peristiwa itu membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa setiap terjadi krisis politik yang pertaruhannya mengarah kepada eksistensi dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, muncul kearifan bangsa yang dapat menyelamatkan sehingga krisis tidak meningkat menjadi pertumpahan darah.
Masalah sensitif lain yang dapat diselesaikan dengan baik pada SU MPR 2002 adalah pro dan kontra istilah nonpribumi yang sempat muncul secara tiba-tiba (karena tidak terdapat dalam Rantap MPR) dalam membahas Rancangan Tap MPR mengenai Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional. Istilah sensitif dan diskriminatif itu, menjelang berakhirnya SU MPR, akhirnya dicabut. Kemampuan mengatasi persoalan pelik ini menambah nilai kearifan bangsa dalam memelihara nilai-nilai kebangsaan.
***
Di luar SU MPR, peristiwa politik yang menyejukkan pada akhir tahun 2002 adalah ditandatanginya persetujuan untuk berhenti bermusuhan (cessation of hostilities) antara GAM dan pemerintah. Meski persetujuan itu baru tahap amat awal dalam rangka mewujudkan situasi aman yang lebih permanen di Aceh, tetapi kemampuan elemen- elemen bangsa yang telah bermusuhan selama lebih dari seperempat abad untuk tidak saling bunuh telah menunjukkan kebesaran jiwa dan kearifan yang patut dibanggakan.
Modal lain yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kebebasan pers dan opini publik. Institusi politik ini merupakan lembaga sosial control penting dan mempunyai peran besar terhadap perkembangan politik Indonesia ke depan. Institusi ini, selain melakukan kontrol sosial, juga mampu memberi pencerahan kepada masyarakat dan laporan kepada publik mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik ataupun anggota parlemen, baik tingkat pusat maupun lokal.
Namun, hasil investigasi yang dilakukan media dan sudah menjadi pengetahuan publik seakan-akan terbang di awan ketujuh, karena institusi yang seharusnya mempunyai otoritas menangani persoalan itu masih lumpuh karena virus KKN. Kontribusi institusi ini juga terlihat dalam mengembangkan isu-isu politik yang sangat konstruktif bagi perkembangan politik ke depan, seperti pemilihan presiden langsung, reformasi konstitusi, dan lain sebagainya.
Modal berikutnya yang amat penting adalah civil society. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang lintas suku, agama, ras, asal-usul yang tidak tergantung kepada pemerintah dalam memenuhi kepentingan mereka sangat banyak. Organisasi ini tidak hanya muncul di tingkat pusat, tetapi juga telah merambah di tingkat lokal sejalan dengan proses demokratisasi di daerah. Organisasi semacam ini mempunyai tingkat kekenyalan dan daya tahan terhadap guncangan krisis sosial dan sosial politik berkat kemampuannya menggalang solidaritas masyarakat. Selain itu, ia mampu memberikan energi untuk mempertahankan integrasi sosial berkat interaksi yang landasannya adalah nilai- nilai kemanusiaan. Dengan demikian, ekses dari konflik politik tidak terlalu mudah menjalar menjadi konflik komunal. Kekuatan masyarakat semacam inilah yang antara lain segera dapat memulihkan akibat negatif dari peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober lalu.
***
DENGAN mencermati perkembangan politik selama lebih kurang lima tahun berjalan, kehidupan politik nasional, meski suram, namun bukan sama sekali tanpa harapan. Bangsa Indonesia memiliki modal utama berupa kearifan bangsa yang muncul setiap terjadi krisis politik yang pertaruhannya eksistensi bangsa dan negara, civil society, kebebasan pers dan opini publik yang dapat dijadikan modal dasar untuk mengukir demokrasi ke depan. Namun, modal itu bila tidak segera diikuti kemampuan elite untuk membuktikan bahwa rezim sekarang dapat menghasilkan kesejahteraan masyarakat, modal itu akan habis dimakan waktu. Rakyat akan kehilangan kesabaran, tidak peduli, dan tidak percaya dengan apa yang disebut reformasi.
Karena itu, dalam jangka dekat ini, yang sangat dibutuhkan masyarakat adalah perubahan perilaku elite agar menghentikan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok, dan segera mengerahkan segenap akal budi dan pikirannya untuk membuktikan bahwa perubahan politik dewasa ini akan member kehidupan yang lebih baik kepada masyarakat. Harus diingat, keberhasilan dan kegagalan proses transisi politik dewasa ini terutama ada di pundak mereka yang mendapatkan mandat kekuasaan rakyat, baik mereka yang menjadi pejabat publik maupun anggota parlemen. []
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 02 Januari 2003.