Oleh : J Kristiadi
DEWASA ini proses pergantian panglima TNI mulai hangat, karena berkembang isu di lingkungan perwira tinggi TNI bahwa ada tanda-tanda yang mengisyaratkan terjadinya manuver politik yang dapat menghasilkan Panglima TNI yang secara internal tidak akseptabel, bahkan dapat memicu kontroversi dalam masyarakat.
Karena itu, tiga kepala staf angkatan merasa lebih baik mempertahankan Laksamana Widodo (sebagai Panglima TNI), daripada TNI akan mendapatkan panglima yang dapat dianggap mengganggu proses konsolidasi yang kini sedang dilakukan TNI. Harga kesepakatan ketiga kepala staf angkatan adalah kemandekan untuk sementara proses regenerasi di lingkungan TNI. Suatu harga cukup mahal yang harus dibayar para perwira tinggi TNI agar komitmen profesionalisme dapat terus dilakukan.
Dalam batas tertentu, sikap itu dapat dipahami, mengingat kesalahan dalam menentukan Panglima TNI dewasa ini akan melahirkan beberapa akibat serius. Pertama, bila Panglima TNI yang baru tidak mempunyai akseptabilitas di lingkungan TNI (karena menabrak regulasi internal dan hanya mengandalkan lobi-lobi politik), lebih-lebih kalau belum dapat meyakinkan masyarakat bahwa yang bersangkutan bersih dari isu kontrovesial, ia akan mengalami kesulitan dalam memimpin TNI. Selain itu, bila isu yang menyangkut dirinya kini padam, mungkin akan muncul kembali pada saat yang bersangkutan menjadi tokoh sentral masyarakat. Akibatnya akan membuat kredibilitas TNI makin merosot. Pada gilirannya hal itu juga akan mengakibatkan moralitas dan kepercayaan diri prajurit merosot.
Kedua, Presiden Megawati sendiri akan repot karena hal itu akan menimbulkan hubungan antara Presiden dan TNI yang dewasa ini telah baik akan memburuk. Tetapi, akibat yang diduga akan lebih parah adalah proses konsolidasi dan profesionalisme akan terganggu karena muncul tokoh yang dianggap tidak mempunyai kapasitas dan akseptabilitas memadai.
Ketiga, secara internal proses pergantian Panglima yang tidak melalui proses internal yang telah ditetapkan, akan mendorong perwira lain mencari lobi-lobi politik yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam mutasi dan promosi di lingkungan TNI. Bila ini terjadi, berarti awal kegagalan TNI melakukan profesionalime. Karena itu, pergantian Panglima TNI kali ini harus benar-benar diseleksi atas dasar prinsip-prinsip profesionalisme maupun pertimbangan politik yang lebih mengutamakan terwujudnya TNI yang profesional.
***
DALAM situasi transisi seperti saat ini, kepemimpinan TNI memerlukan panglima yang telah membuktikan komitmennya terhadap profesionalisme TNI. Komitmen itu antara lain diwujudkan kesetiaannya terhadap prinsip dan regulasi internal yang sudah diterapkan di dalam TNI sendiri. Selain ia harus selalu bersikap terbuka, baik dalam bentuk melemparkan gagasan yang berkembang di dalam TNI kepada masyarakat maupun sebaliknya, dapat menerima pemikiran dan gagasan yang datang di luar tubuh TNI.
Sejauh ini, kepemimpinan Laksamana Widodo minimal telah dianggap konsisten untuk melanjutkan proses perubahan internal TNI dan bersedia membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat. Karena sikapnya yang demikian itu, maka yang bersangkutan mendapat akseptabilitas di lingkungan internalnya. Sesuatu yang tidak akan terjadi, bila yang bersangkutan tidak mempunyai kepemimpinan yang bersedia mengakomodasi berbagai pemikiran dari koleganya.
Selain faktor kepemimpinan, mewujudkan tentara yang profesional memang tidak mudah, karena seseorang anggota militer dapat dikategorikan profesional bila memenuhi tiga persyaratan. Syarat pertama, mempunyai expertise (keahlian). Artinya, yang bersangkutan mempunyai pengetahuan dan keterampilan di bidang tertentu. Pengetahuan diperoleh melalui pendidikan dalam lembaga yang mempunyai otoritas di bidang itu.
Sementara itu keterampilan diperoleh melalui lembaga di mana orang itu mempunyai profesi. Dengan demikian, keahlian profesional diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman yang memerlukan waktu lama. Karena itu, keahlian profesional tidak sama dengan keterampilan biasa, sebab pengetahuan dan keahlian profesional mempunyai sifat aplikasi yang universal.
Kedua, mempunyai social responsibility. Aspek ini menunjuk kepada tanggung jawab sosial seorang profesional. Klien dari para professional adalah masyarakat itu sendiri, sehingga segala bentuk imbalan tidak semata-mata didasarkan atas kinerja yang dilakukan, tetapi juga atas tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Dalam konteks profesionalisme militer, tanggung jawab mereka adalah melindungi negara dan masyarakat. Motivasi yang didasari kode etik, kebiasaan, dan tradisi semacam itulah yang membedakan profisionalisme militer dengan tentara bayaran.
Ketiga adalah corporateness. Dimensi ini menunjuk kepada kesadaran dan loyalitas bahwa mereka adalah anggota suatu kelompok atau lembaga khusus dan terhormat yang mempunyai kompetensi profesional berdasarkan standar formal yang ditetapkan. Bahkan mereka juga mempunyai perangkat otoritas dan sarana untuk memberlakukan standar itu. Selain itu, mereka memiliki pula asosiasi-asosiasi, sekolah, jurnal, kebiasaan, dan tradisi. Dengan memiliki prinsip, struktur, dan lembaga sendiri, angkatan bersenjata dapat menentukan kode etik dan standar profesionalismenya sendiri.
Dengan demikian, seseorang dapat masuk menjadi anggota militer bila memenuhi syarat tertentu, seperti memenuhi persyaratan kualifikasi pendidikan dan kesehatan; selain itu kemajuan karier didasarkan atas pengetahuan baku yang telah ditetapkan, latihan dan pengalaman; perilaku perwira harus sejalan dengan aturan dan norma yang telah ditetapkan, penyimpangan terhadap hal-hal itu dapat diberlakukan hukuman atau pemecatan; penghargaan dan pengakuan terhadap keberanian, pengabdian kepada bangsa, serta keteguhan dalam memegang nilai-nilai kehormatan militer biasanya tidak dalam bentuk finansial.
Ketiga kombinasi tersebut, expertise, social responsibility dan corporateness membuat keperwiraan militer menjadi suatu professional panggilan (bukan bayaran).
***
SELAIN itu, masih ada dua variabel kunci profesi militer. Mereka itu adalah kontrol dan keterampilan. Secara organisatoris kontrol terhadap profesionalisme militer dilakukan dalam dua tingkatan. Pertama, para kolega di lingkungan mereka sendiri. Kelompok ini akan selalu mengamati apakah perilaku anggota militer, baik perilaku pribadi maupun sebagai profesional, sesuai standar yang telah ditetapkan. Kedua, control eksternal dilakukan melalui hierarki komando. Perilaku dan kecakapan profesional dinilai dari ketaatannya terhadap perintah atasan. Kenaikan pangkat dan penghargaan lain ditentukan oleh perilaku perwira sebagai seseorang yang mempunyai profesi militer.
Dengan demikian, jelas, makin tinggi tingkat keahlian seorang militer, makin tinggi tingkat profesionalismenya, karena itu makin kecil keterlibatan mereka di luar bidang profesinya, terutama bidang politik. Pemahaman ini sekaligus ingin menegaskan, hanya politisi yang mempunyai kompetensi mengenai segala hal yang berkenaan dengan politik. Dalam pengertian ini makin tinggi tingkat profesionalisme militer harus makin jauh dari politik. Perwira-perwira militer yang profesional harus selalu siap melaksanakan putusan politik yang dilakukan politisi sipil yang mempunyai legitimasi politik.
Dalam memenuhi komitmennya tehadap paradigma baru, secara internal TNI telah melakukan beberapa langkah yang pada dasarnya ingin mewujudkan diri sebagai tentara yang profesional, dan tidak lagi melibatkan diri dalam political struggle. Dewasa ini yang sedang mereka lakukan adalah memperbarui doktrin TNI dan doktrin angkatan agar setiap langkah TNI sesuai fungsi TNI sebagai lembaga yang mempunyai tugas pokok di bidang pertahanan.
Perubahan doktrin ini amat penting, bukan hanya karena doktrin baru akan menghapuskan hal- hal yang masih memberi keabsahan TNI untuk berpolitik, tetapi juga untuk menghilangkan kerancuan dan memberi pedoman jelas dan rinci kepada seluruh jajaran TNI untuk melaksanakan tugas pokok mereka. Doktrin yang merupakan pedoman itu disusun mulai dari yang bersifat strategis, operasional, sampai yang bersifat taktis. Doktrin baru akan menegaskan, TNI sebagai institusi pertahanan tunduk kepada pemerintahan yang secara demokratis dipilih rakyat.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 28 November 2001.