Oleh : J Kristiadi
SEJAK Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang memberihak memilih dan dipilih bagi TNI dan Polri diajukan ke DPR, timbul debat publik yang seru di masyarakat.
Beberapa pendapat yang menarik dan sempat direkam penulis antara lain: (1) Hak memilih adalah wajar, tetapi hak dipilih harus diberi pengaturan yang ketat; (2) Hak memilih tanpa hak dipilih; (3) Hak memilih harus diberikan kepada TNI dan Polri untuk mewakili kepentingan TNI dan Polri setelah mereka tidak duduk di lembaga perwakilan; (4) Hak memilih belum saatnya diberikan, tunggu beberapa tahun kemudian;(4) Hak memilih TNI akan memecah belah TNI; (5) Hak memilih akan mengembalikan peran TNI di dunia politik; (6) Bahkan, seorang perwira tinggi TNI (mungkin saking jengkelnya) menyatakan, “TNI akan menolak hak memilih dan dipilih”; dan mungkin masih banyak lagi pendapat yang lain.
Salah satu pendapat yang paling meresahkan dalam perdebatan publik mengenai hak memilih dan dipilih bagi TNI-Polri adalah pemahaman mengenai bagaimana atau siapa yang mewakili kepentingan TNI- Polri di DPR setelah tahun 2004, dan MPR setelah tahun 2009. Pertanyaan atau pemahaman itu tidak saja salah, tetapi menyesatkan karena beberapa alasan. Lembaga TNI dan Polri adalah bagian institusi pemerintahan, karena itu sama sekali tidak mempunyai hak dalam lembaga perwakilan. Kedudukan TNI-Polri sama dengan cabang pemerintahan lainnya, seperti kejaksaan, imigrasi, pajak, BUMN, dan sebagainya.
Keberadaan lembaga-lembaga semacam itu dalam parlemen akan mengacaukan struktur kekuasaan dalam sistem demokrasi, di mana biasanya ada pemisahan jelas antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemahaman yang masih mempersoalkan (mengharapkan) eksisitensi perwakilan TNI-Polri di lembaga legislatif menunjukkan betapa pengalaman bernegara yang dipraktikkan selama puluhan tahun telah meracuni kejernihan berpikir. Suatu kecelakaan sejarah yang tidak boleh terulang kembali.
***
AGAR tidak semakin simpang-siur dalam menyikapi berbagai pandangan itu, prinsip paling penting yang perlu dijadikan pedoman adalah sebagai berikut. Berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi yang universal, seseorang yang mempunyai profesi tertentu tidak kehilangan hak-hak politiknya, khususnya hak memilih dalam pemilihan umum. Semua warga negara pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Demikian pula bagi anggota TNI, status kewarganegaraannya sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Hal itu secara jelas dinyatakan dalam marga kesatu dari Sapta Marga, “kami warga negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila”, adalah sama sebangun dengan warga negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 45. Dengan demikian hak politik warga negara Indonesia yang kebetulan menjadi anggota TNI dan Polri tidak dapat dihapuskan oleh siapa saja,
termasuk oleh para komandannya. Jelasnya, seorang komandan tidak boleh melarang anggota TNI atau Polri melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Mereka hanya dapat dilarang bila melanggar ketentuan perundangan yang secara sengaja diatur untuk itu. Hak politik semacam itu juga dimiliki anggota militer di negara-negara demokratis di seluruh dunia. Dalam sejarah Indonesia tercatat, hak pilih anggota TNI dan Polri pernah dilaksanakan pada pemilu tahun 1955 tanpa menimbulkan polarisasi atau gangguan keamanan sebagaimana dikhawatirkan sementara kalangan dewasa ini.
Dengan demikian salah satu kunci pokok pemberian hak memilih TNI dan Polri adalah peraturan perundangan yang jelas dan didasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Pada Pemilu 1955, ketentuan itu dituangkan dalam Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakjat. Secara rinci pasal itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 47/1954 tentang Tata Tjara Pencalonan Buat Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernjataan Non- Aktip/Pemberhentian Berdasarkan penerimaan Kenggotaan/ Pentjalonan- Keanggotaan tersebut, pun Larangan Mengadakan Kampanye Pemilihan Terhadap Anggota Angkatan Perang.
Catatan paling penting yang perlu diingat bahwa pasca-Pemilu 1955, sejauh pengetahuan penulis, tidak ada satu catatan sejarah yang menyatakan TNI pecah karena ikut pemilihan umum.
Sementara itu mengenai hak dipilih harus ditegaskan sejelas-jelasnya bahwa hak dipilih (menjadi anggota parlemen) merupakan hak warga Negara Indonesia tanpa kecuali, tetapi bukan hak seseorang yang mempunyai profesi tertentu, yang karena profesinya dapat merancukan struktur kekuasaan yang demokrasi, seperti kehadiran anggota DPR dari TNI dan Polri.
Oleh karena itu, bila seseorang warga negara yang karena profesinya adalah TNI dan Polri, bila ingin menjadi anggota Parlemen, harus melepaskan diri secara permanen dari profesi lamanya. Rumusan mengenai hal itu dalam RUU amat lembek, karena hanya berbunyi: (1) Calon anggota DPD dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, dan anggota Polri selain harus memenungi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, juga harus mendapat izin dari Pejabat berwenang, (2) Calon anggota DPD sebagaimana diumaksud Ayat 1 diberhentikan sementara dari statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, dan anggota Polri selama jangka waktu pencalonan (Pasal 24 RUU Pemilu).
***
RUMUSAN tentang persyaratan itu manipulatif dan dapat mengakibatkan loyalitas ganda, karena dapat ditafsirkan bila anggota TNI, Polri, dan PNS hanya berhenti sementara, berarti yang bersangkutan pada dasarnya masih menjadi anggota TNI, Polri, atau PNS. Persoalan pokok adalah menyangkut loyalitas mereka. Bila sifat pemberhentian hanya sementara, dikhawatirkan masih mempunyai loyalitas baik kepada satuan maupun atasan/komandannya. Kesetiaan itu tentu disertai harapan bila sewaktu-waktu harus berhenti dari anggota parlemen, yang bersangkutan dapat kembali ke kesatuan asal. Syukur- syukur bila pada masa berhenti sementara tetap dihitung masa kerjanya, sehingga keberadaan mereka di parlemen benar-benar merupakan tugas yang mewakili lembaganya. Lebih jauh lagi, loyalitas ganda dapat dianggap bahwa mereka akan lebih mementingkan kepentingan lembaganya daripada konstituennya.
Sebagai catatan penutup dapat disebutkan, aggota TNI adalah warga Negara biasa yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga Negara lainnya. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa anggota TNI adalah warga negara yang secara bebas, sadar, dan sengaja memilih profesi sebagai militer. Namun hal itu tidak memberikan privelese maupun sebaliknya, mencabut hak politik warga negara Indonesia yang mempunyai profesi TNI atau Polri.
Jelasnya, dalam dunia politik, TNI tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain tanpa kurang dan tanpa lebih. Karena itu, hak-hak politik anggota TNI sebagai pemilih harus dijamin dengan undang-undang yang jelas. Dengan demikian, angota TNI berhak memilih dalam setiap pemilu, sama dengan anggota militer dari negara yang demokratis. Namun, bila ada anggota TNI dan Polri yang ingin menjadi politisi, dengan demikian profesinya berubah, ia harus bersedia melepaskan diri dari anggota ketentaraan serta kepolisian. Dengan demikian jelas bahwa hak pilih angota TNI harus dikembalikan, dan tidak akan ada lagi angggota parlemen yang mendapatkan jatah gratis tanpa kerja keras untuk meyakinkan dan berbuat sesuatu yang nyata bagi masyarakat.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 18 Juni 2002.