PERHELATAN besar bangsa Indonesia untuk membangun peradaban politik kekuasaan baru telah diawali dengan menggelar pemilu pada 5 April 2004. Bagaimanapun ini sebuah goresan budaya kekuasaan yang berkiblat pada kedaulatan rakyat. Seluruh rakyat pun menggunakan hak politiknya, memilih calon anggota parlemen yang dipercaya mampu mengelola kekuasaan lima tahun mendatang.
Karena itu, Pemilu 2004 mempunyai makna amat strategis karena merupakan langkah bersejarah amat penting dalam menciptakan kehidupan politik yang beradab. Selain itu juga menjadi bagian agenda restrukturisasi kekuasaan sehingga dapat mendorong terwujudnya mekanisme checks and balances di antara lembaga negara serta akuntabilitas lembaga-lembaga itu terhadap masyarakat.
Arah perubahan politik pasca-Pemilu 2004 lebih jelas dibandingkan dengan Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama secara demokratis yang dilaksanakan dalam keadaan darurat, antara lain karena penyelenggaranya adalah para pemain itu sendiri, yaitu partai-partai politik. Selain itu, desain struktur kekuasaan makro politik menjelang Pemilu 2004, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah disepakati dan menjadi bagian amendemen UUD 1945. Sesuatu yang belum ada menjelang Pemilu 1999 diselenggarakan.
BEBERAPA agenda penting restrukturisasi politik pasca-pemilu legislatif 2004 adalah sebagai berikut. Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Sistem pemilihan langsung ini menurut rencana akan diberlakukan untuk pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati. Pemilihan secara langsung bagi para eksekutif dimaksudkan agar mereka (presiden dan wakil presiden) mempunyai basis kekuasaan politik yang terpisah dengan lembaga legislatif.
Dengan demikian, presiden mempunyai basis kekuasaan sendiri. Karena itu, diharapkan dapat menyusun pemerintahan yang kuat dan efektif. Selain itu diharapkan, kedudukan presiden yang kuat dapat menghindari persekongkolan politik pada elite yang dengan mudah menjatuhkan kepala pemerintahan.
Meski demikian, struktur itu ada kelemahannya; misalnya stagnasi politik dapat selalu terjadi bila kekuasaan politik di parlemen tidak simetris dengan dukungan basis politik presiden dan wakil presiden. Karena itu, tidak mengherankan bila dewasa ini muncul wacana yang mempertanyakan apakah sistem presidensial adalah yang paling cocok dengan heterogenitas politik di Indonesia.
Apakah tidak perlu dipertimbangkan system parlementer atau sistem gabungan seperti dianut di Perancis yang lebih fleksibel sehingga dapat menghindari kemacetan politik. Tetapi apa pun perdebatannya, hal itu menunjukkan perubahan politik di Indonesia terjadi pada tingkat intensitas yang tinggi dan akselerasi. Gagasan satu belum selesai diterapkan, muncul gagasan baru yang dianggap menjadi alternatif yang lebih baik.
Kedua, terbentuknya sistem parlemen dua kamar (bikameral) yang terdiri DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang mewakili jumlah penduduk dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang mewakili wilayah. Sistem parlemen dua kamar diharapkan agar setiap kebijakan nasional mengakomodasi kepentingan wilayah. Filosofi yang mendasari pembentukan parlemen bikameral adalah agar dapat memperkuat integrasi bangsa karena aspirasi daerah terserap dalam kebijakan nasional. Jadi, bikameral tidak perlu dikhawatirkan akan memicu disintegrasi.
Ketiga, terbentuknya lembaga peradilan baru yang disebut Mahkamah Konstitusi. Dengan hadirnya lembaga baru itu diharapkan akan lebih menyempurnakan sistem peradilan di Indonesia. Salah satu tugas lembaga baru itu adalah institusi yang mempunyai otoritas menyelesaikan perselisihan pada tingkat awal dan akhir bagi lembaga- lembaga Negara bila mereka mempunyai perbedaan penafsiran mengenai suatu peraturan yang menyangkut kepentingan umum, baik berupa peraturan perundangan maupun peraturan lain. Sementara itu, Mahkamah Agung adalah lembaga yang menjadi instansi terakhir rakyat dalam memperjuangkan keadilan.
Keempat, faktor lain yang penting dalam kehidupan politik pasca Pemilu 2004 adalah semangat memberi dorongan kepada partai politik agar lebih meningkatkan peran kaum perempuan dalam kehidupan politik, khususnya di lembaga perwakilan. Meski ketentuan dalam peraturan perundangan belum sampai pada tingkat imperatif, secara politik hal itu merupakan kemajuan dan merupakan agenda perjuangan ke depan.
Dengan mencermati agenda perubahan politik ke depan, nilai strategis Pemilu 2004 kian eksplisit baik dari segi makna maupun intensitas proses transformasi sendiri. Hal itu antara lain dapat dilihat dari proses pemilihan legislatif yang terdiri dari DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten kota, DPD, serta presiden dan wakil presiden dilaksanakan maraton mulai April sampai September 2004. Sehingga tidak berlebihan bila Glyn Ford, Ketua Pemantau Pemilu dari Uni Eropa, mengatakan, Pemilu 2004 di Indonesia adalah pemilu terbesar dan kompleks yang belum pernah terjadi di negara mana pun. (The Jakarta Post, 2 April 2004).
Ungkapan itu wajar mengingat jumlah pemilih yang lebih dari 140 juta dan tersebar di kepulauan sebanyak lebih kurang 17.000 pulau yang dalam penyelenggarannya dari tingkat pusat sampai daerah melibatkan jutaan orang. Karena itu, dapat dimengerti bila penyelenggaraan pemilu diwarnai berbagai macam persoalan mulai dari hal-hal yang bersifat teknis administratif, logistik, sampai hal-hal yang bersifat politis.
HARUS diakui, nilai strategis Pemilu 2004 menjadi kurang bermakna karena beberapa hal. Pertama, substansi dan model kampanye para tokoh partai politik praktis hanya mengulangi apa yang pernah dilakukan pada kampanye Pemilu 1999. Mereka hanya mengumbar retorika politik berupa janji kosong yang memekakkan telinga pendengar.
Mereka juga tidak pernah mau mengakui kelemahan (terutama bagi partai yang ikut berkuasa di parlemen maupun eksekutif) lalu minta maaf karena gagal melaksanakan amanat dan kepercayaan yang diberikan kepada mereka pada Pemilu 1999. Mereka tidak bersedia berjanji memperbaiki kinerjanya di masa datang bila mereka mendapat kepercayaan lagi dari masyarakat. Mereka tidak pernah mendorong masyarakat untuk memilih calon yang disediakan, bahkan selalu mendorong rakyat memilih tanda gambar partai politik.
Kedua, untuk merebut hati pemilih, para elite politik diduga mempergunakan jalan pintas dengan menggunakan politik uang. Hal ini mungkin disebabkan oleh kredibilitas partai yang terus merosot di mata rakyat sehingga pada saat kampanye mereka tidak mempunyai selling point (hal-hal yang mempunyai nilai jual) yang dapat disajikan kepada masyarakat. Pemberitaan mengenai pemalsuan ijazah sampai permainan sogok-menyogok dalam proses perekrutan internal partai politik menunjukkan rendahnya kualitas sebagian calon-calon legislatif.
Ketiga, kebijakan penyelenggaraan pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sentralistis melahirkan banyak masalah teknis. Akibatnya, sampai detik terakhir penyelenggaraan pemilu mengundang perdebatan keras karena pemilu dikhawatirkan ditunda atau gagal. Hal itu diatasi dengan terbitnya perpu. Selain hal-hal itu, soal teknis administratif yang dapat memicu pertikaian politik adalah seruan satu tokoh partai agar rakyat yang tidak mempunyai kartu pemilih, memilih dengan membawa KTP. Namun, seruan itu ditentang parpol lain.
Keempat, pelanggaran kampanye. Meski tidak sebanyak Pemilu 1999, pelanggaran masih terjadi. Kelima, rumitnya cara memilih yang berbeda-beda antara DPR/DPRD provinsi/kabupaten/kota di satu pihak, dan pemilihan anggota DPD, membuat masyarakat bingung. Kebingungan itu bertambah lagi karena hampir tidak ada sosialisasi partai mengenai calegnya sehingga pemilih buta informasi calon.
Keenam, meski peraturan perundangan mendorong perempuan diberi tempat 30 persen, tetapi tidak dapat dihindari kesan bahwa partai politik masih memperlakukan hal itu sebagai aksesori politik.
Ketujuh, kebebasan dalam alam demokrasi yang masih infant (bayi) telah disalahgunakan partai politik tertentu untuk membunuh nilai- nilai demokrasi. Hal itu antara lain dilakukan tokoh partai politik mengajak masyarakat bersedia menjadi antek seseorang. Pengertian antek, tidak dapat diberikan arti lain kecuali kaki tangan, budak, atau orang yang diperalat orang lain, termasuk melakukan perbuatan jahat. Jadi, ajakan menjadi antek jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi, terutama kesetaraan. Kebebasan demokrasi tidak boleh disalahgunakan untuk membunuh demokrasi.
MESKI demikian, bukan berarti Pemilu 2004 tak memberi harapan. Beberapa hal berikut dapat dijadikan alasan untuk tetap bersikap optimistis.
Pertama, Pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang diselenggarakan oleh lembaga independen, KPU, yang strukturnya dari pusat sampai daerah adalah lepas dari campur tangan negara. Anggapan, penyelenggaraan pemilu oleh KPU kedodoran mungkin lebih disebabkan persiapan Pemilu 2004 lebih dapat dikontrol publik daripada Pemilu 1999 sehingga sejengkal kekurangan pun diketahui masyarakat. Karena itu, tidak atau kurang adil bila penyelenggaran Pemilu 1999 dianggap lebih bagus dari Pemilu 2004.
Kedua, meski substansi kampanye jauh dari bermutu, dari segi ketertiban, jumlah kekerasan dan ketegasan tindakan Panitia Pengawas Pemilu serta aparat penegak hukum lebih baik dari pemilu sebelumnya. Selain itu, jumlah posko, simbol dominasi teritori partai, sudah jauh berkurang jumlahnya.
Ketiga, penggunaan ayat- ayat suci dalam kampanye amat berkurang, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Keempat, tingkat inklusivitas partai kian meningkat. Meski masih ada partai yang mempergunakan simbol-simbol agama, tetapi dalam merebut hati masyarakat mereka mengakomodasi kelompok agama lain, meski terjadi gradasi berbeda dari satu partai politik dengan partai lain.
Kelima, situasi kampanye yang relatif lebih tenang dan pemilu yang berjalan tertib tidak terlepas dari kehendak masyarakat untuk menaati peraturan guna menghindari tindakan di luar hukum, atau kekerasan. Berkali-kali, tokoh-tokoh masyarakat, keagamaan, partai politik, dan aparat keamanan mengadakan pertemuan untuk menjalin kesepakatan agar pemilu berjalan damai.
Keenam, kebingungan masyarakat dalam menentukan pilihan, dari perspektif pembelajaran politik, adalah positif. Keingintahuan masyarakat untuk memilih partai atau calon yang dianggap baik menunjukkan masyarakat mulai sadar, pilihan dalam pemilu menyangkut kepentingan mereka bersama.
Ketujuh, kesadaran masyarakat dalam menentukan pilihan tentu tidak dapat dilepaskan dari semangat tokoh-tokoh LSM dalam melakukan pendidikan dan memberi pencerahan kepada masyarakat termasuk menyusun daftar politisi bermasalah. Prakarsa ini selain memberi informasi kepada masyarakat untuk mulai menyadari hak-hak politik mereka, juga memberi dorongan agar pemilih menjadi lebih rasional. Pilihan terhadap calon tidak lagi didasarkan preferensi politik yang sifatnya primordial.
Dalam jangka panjang pemilihan seperti ini jauh lebih sehat daripada memilih berdasar ikatan komunal. Usaha ini untuk mengajak masyarakat tidak muda tergiur politik uang.
Terakhir, kontroversi terbitnya perpu merupakan upaya upaya bangsa memecahkan masalah yang didasari hukum yang berlaku. Sebab dari berbagai kemungkinan yang ada, perpu adalah jalan keluar yang dapat diterima akal sehat.
JADI, meski Pemilu 2004 masih banyak kekurangannya, pemilu yang reguler, bebas, rahasia, dan adil adalah langkah yang secara bertahap dapat menata kehidupan politik pada tingkat peradaban yang kian manusiawi.
Artinya, semua hal yang berkait dengan urusan kekuasaan bangsa ini akan selalu mencoba diselesaikan dengan prinsip yang menghargai harkat dan martabat manusia.
Karena itu, apa pun hasilnya, bila Pemilu 2004 telah dilaksanakan sesuai aturan bersama, siapa pun yang menang harus diterima. Namun, kita tidak boleh lupa dengan janji-janji yang ditebar saat kampanye lalu. Rakyat tidak mau lagi dikelabui, dan rakyat berhak menuntut bukti nyata. Sementara itu, partai yang belum menang, harus menerima kekalahan, dengan meyakini kekalahan bersifat sementara. Kemenangan dapat ditebus dalam kompetisi politik lima tahun mendatang.
Jadi, partai yang menang diharapkan tidak berperilaku sewenang- wenang, sementara partai yang kalah tidak perlu kalap. Bila semua mempunyai sikap seperti itu, masa depan demokrasi sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur akan semakin dirasakan masyarakat.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 06 April 2004.