Oleh : J Kristiadi
SETELAH melalui perdebatan alot, RUU Pemilu akhirnya disepakati DPR untuk menjadi undang-undang (UU) pada 18 Februari 2003.
Mulurnya waktu merupakan alasan klasik dalam proses demokrasi yang disebabkan oleh apa yang biasa disebut fenomena paradoks demokrasi. Artinya, demokrasi selalu menuntut legitimasi, kesepakatan, dan efektivitas. Akan tetapi, justru di situ letak persoalannya. Kesepakatan atau konsensus sering berjalan ke arah berlawanan dengan prinsip efektivitas. Demokrasi memang tidak efektif, tetapi menjadi idaman masyarakat beradab karena di situ penghormatan terhadap HAM dan antikekerasan menjadi bagian terpenting sistem politik itu.
Selain itu, lamanya waktu pembahasan disebabkan alasan politis-pragmatis, mengingat UU itu merupakan aturan yang akan menjadi pedoman bagi masyarakat yang ingin berebut pengaruh dan kekuasaan untuk mendapatkan jabatan publik atau menjadi anggota parlemen.
UU Pemilu merupakan kompromi dua level (tataran) kepentingan. Pertama, kompromi antarpartai-partai politik yang bertarung untuk membuat aturan agar tidak merugikan kepentingan subyektifnya, dan kalau perlu, aturan itu dapat menguntungkannya.
Kedua, kompromi dari suatu tarik-menarik kepentingan partai-partai politik dan kepentingan publik. Tekanan publik yang dilakukan masyarakat mengurangi bobot kepentingan subyektif partai-partai yang mungkin melakukan deal-deal politik oportunistis dalam parlemen.
Harapan masyarakat atas hasil Pemilu 2004 terutama agar menghasilkan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang mempunyai komitmen kuat terhadap kepentingan rakyat serta mempunyai kualitas dalam merumuskan kebijakan publik yang berorientasi kepada kepentingan umum.
Oleh karena itu, masyarakat telah menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap UU Pemilu yang dianggap masih menyembunyikan kepentingan partai-partai besar, bahkan memanipulasi kepentingan pemilih. Pasal-pasal itu antara lain soal cara pencoblosan yang dapat menguntungkan partai dan mengorbankan kepentingan konstituen, electoral threshold (ambang batas perolehan suara) yang terlalu besar, penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, alokasi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan, kampanye di kampus, dan sebagainya.
SELAIN itu, ada beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian masyarakat agar hasil pemilu tidak distortif.
Pertama, masalah dana kampanye. Pengalaman Pemilu 1999 menunjukkan, dana kampanye amat sulit dikontrol. Sumbangan sukarela, baik dari pengurus internal partai politik maupun dari apa yang disebut simpatisan, sukar dilacak atau dilakukan verifikasi karena aturan yang tidak jelas dan rinci. Politik uang yang dewasa ini hampir dapat dikatakan merasuk sekujur tubuh kehidupan politik harus dijadikan antisipasi terjadinya money politics pada Pemilu mendatang.
Hampir dapat dikatakan, setiap kegiatan politik, mulai dari tingkat bawah sampai kegiatan di dalam gedung-gedung mewah, amat keras aroma politik uangnya. Karena itu, Pemilu 2004 harus dibuat aturan yang jelas, tegas, dan rinci mengenai dana kampanye. Sebab, bilamana aturan hanya seperti dicantumkan dalam UU Pemilu, kontrol terhadap permainan uang dalam Pemilu amat tidak memadai.
Dengan demikian, KPU mungkin perlu lebih menegaskan pengaturan dana kampanye dengan menyerap pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat antara lain memerinci identitas lengkap donatur dan diumumkan meluas kepada publik; mencatat lebih rinci pendapatan dan pengeluaran dana kampanye.
Selain itu, secara teknis pencatatan laporan dana kampanye harus terintegrasi mulai dari tingkat pusat sampai kepengurusan yang paling rendah, lalu diumumkan kepada masyarakat luas dan diaudit akuntan publik; bila perlu akuntan publik yang ditunjuk KPU. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran, diperlukan ancaman pidana yang tegas bagi mereka yang melakukan: (1) memberi dan/atau menerima sumbangan melebihi batas yang ditentukan dari pihak yang dilarang UU; (2) memberi laporan palsu atas penerimaan dan kampanye.
Kedua, pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Bab XIV. Pengawasan itu perlu diperketat mengingat pengalaman Pemilu sebelumnya, banyak kasus perselisihan dan pelanggaran berat dan ringan yang tidak dapat diselesaikan Pengadilan Ad Hoc.
Mengingat aturan tentang pengawasan dan penegakan hukum yang diatur dalam UU Pemilu belum lengkap, KPU perlu mengatur lebih lanjut, terutama mengenai mekanisme dan tata kerja antara panitia pengawas dan lembaga pemantau Pemilu dalam proses penyelesaian pelanggaran pemilu serta penegakan hukumnya. Dalam hal ini, KPU perlu memperhatikan debat publik yang sudah banyak dilakukan berbagai kelompok masyarakat mengenai masalah sekitar pengawasan dan penegakan hukum dalam Pemilu, misalnya dengan merumuskan secara lebih jelas mengenai definisi persengketaan, perselisihan dan pelanggaran, termasuk mempertimbangkan gagasan dibentuknya semacam Komisi Pengawasan Pemilu. Gagasan itu muncul atas dasar pengalaman kegagalan Pengadilan Ad Hoc Pemilu 1999, serta antisipasi potensi perselisihan dan pelanggaran yang akan terjadi pada Pemilu 2004.
Ketiga, ketentuan yang membolehkan pejabat-pejabat tertentu berkampanye. Mereka yang diperbolehkan adalah pejabat mulai dari presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, dan wali kota yang dicalonkan menjadi anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD kota dan kabupaten ikut dalam Pemilu. Dalam hal ini perlu mengatur aturan ketat dan rinci agar ketentuan ini tidak lagi mengulangi manipulasi dan dagelan politik yang dilakukan para pejabat masa lalu yang dapat berubah wajah sesuai peran yang diinginkan.
Pagi hari berpakaian dinas dengan segala kebesaran dan simbol-simbol penguasa yang angker sekaligus munafik; sore hari memasang topeng yang seakan peduli dengan rakyat meski tidak jarang melakukan tekanan-tekanan halus agar masyarakat memilih partai politik yang dipimpinnya. Selain KPU, masyarakat juga amat perlu melakukan kontrol secara lebih intensif atas pejabat- pejabat publik yang melakukan kampanye. Hanya dengan demikian, ekses kampanye yang dilakukan pejabat publik dapat dikurangi.
DALAM Pemilu 2004, KPU berperan amat penting bagi terselenggaranya Pemilu yang jujur dan adil. Lembaga ini selain mempunyai tingkat independensi cukup tinggi, juga mempunyai tugas dan wewenang cukup besar dalam seluruh proses Pemilu. Mulai dari merencanakan penyelenggaraan Pemilu sampai menetapkan hasil serta mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten. Selain itu, masih mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam UU, serta melaksanakan evaluasi dan pelaporan melaksanakan Pemilu. Demikian pula struktur dan manajemennya sudah independen.
Oleh karena itu, beberapa aturan dalam UU yang masih dianggap lemah harus dapat ditutupi dengan aturan-aturan yang lebih ketat oleh KPU. Maka, pihak selanjutnya yang harus bekerja keras dalam melaksanakan aturan yang amat penting bagi masyarakat dalam bersaing memperebutkan pengaruh dan kekuasaan adalah KPU dan masyarakat sendiri.
Sebagai catatan penutup dapat disebutkan, dengan segala kekurangannya, kini aturan yang amat penting untuk memperebutkan pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat sudah disepakati. Satu hal yang perlu dicatat, tidak ada aturan yang sempurna, lebih-lebih demokrasi bukan mengejar kesempurnaan, tetapi lebih mengutamakan membangun kesepakatan untuk dijadikan aturan bermain yang ditaati bersama. Sekali suatu kesepakatan atau aturan disetujui, harus diusahakan untuk ditaati dan diberi sanksi tegas bagi yang melanggarnya. Sementara itu, bila dianggap ada hal-hal yang kurang memuaskan atau merugikan kepentingan publik, hal itu dapat diperbaiki sesuai mekanisme yang ada.
Proses ini adalah bagian pembelajaran terus-menerus bagi masyarakat dalam mengelola kekuasaan dengan cara-cara yang tertib dan beradab serta menghindarkan kekerasan. Proses yang demikian harus dilembagakan sehingga menjadi kebiasaan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Ini sejalan dengan ciri dan watak demokrasi yang selalu dalam proses menjadi (in the process of becoming).[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 24 Februari 2003.