Oleh : J Kristiadi
PERSEKUTUAN beberapa partai politik (Partai Golkar, PDI-P, PPP, PBR, dan PDS) dipimpin Ketua Umum Partai Golkar membentuk koalisi, Koalisi Kebangsaan. Dengan nama ini, masyarakat akan diberi gambaran dan keyakinan, koalisi itu berjuang untuk bangsa dan negara.
Mereka juga menyebut diri koalisi permanen guna meyakinkan publik bahwa komitmen mereka untuk memperjuangkan nasib rakyat akan tetap konsisten.
Namun, dalam dirinya, nama itu sebenarnya juga mengandung suatu kontradiksi dan bertentangan secara diametral dengan hakikat dan karakter pemegang kekuasaan yang selalu berburu kepentingannya sendiri (contraditio in terminis). Karena itu, ia tidak akan pernah terjadi koalisi politik permanen.
Koalisi politik akan selalu berubah sesuai perubahan kepentingan para elite. Lebih-lebih bila kepentingan itu bersifat oportunisitik untuk sekadar memperoleh kekuasaan. Manuver-manuvernya akan bersifat akrobatik, jungkir balik, dan tidak peduli komitmen, asal tujuan mencapai kekuasaan tercapai.
***
KOALISI Kebangsaan dibentuk tanpa political platform yang jelas dan tanpa sungguh-sungguh mencermati dinamika perkembangan arus bawah. Satu-satunya yang amat jelas bagi tujuan pembentukan adalah hanya memenangkan pasangan Mega-Hasyim menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Hasilnya, korban pertama adalah pasangan Mega-Hasyim yang kalah dalam pilpres putaran kedua karena mengandalkan mesin politik. Kegagalan itu sebenarnya dengan amat mudah sudah dapat ditebak karena beberapa alasan.
Pertama, masyarakat telah kenyang dengan manuver-manuver politik yang ditampilkan kader-kader partai, khususnya mereka yang menjadi anggota parlemen mulai dari tingkat pusat sampai lokal, yang amat jauh dari harapan masyarakat. Perilaku koruptif dan kolutif yang mereka saksikan dan ketahui melalui berbagai media telah menghancurkan kredibilitas partai politik. Karena itu, bila para elite masih merasa dapat menggerakkan mesin politik, sebenarnya memberi petunjuk arogansi mereka sekaligus mengindikasikan, mereka tidak mengerti aspirasi yang saat ini sedang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Kedua, perintah para elite yang tergabung dalam koalisi itu juga dianggap masyarakat sebagai penyimpangan dari suatu prinsip bahwa dalam pemilihan capres dan cawapres, fungsi partai politik hanya sebagai alat peluncur calon (launching pad) dan tidak lagi berhak mendorong, apalagi memaksa rakyat, baik itu konstituennya maupun rakyat umumnya, untuk memilih pasangan yang mereka calonkan. Mereka (para elite) seharusnya tahu, alasan dasar pemilu presiden secara langsung dimaksudkan untuk memperkuat lembaga kepresidenan dengan memisahkan basis kekuasaan parlemen dengan presiden. Dengan demikian, pemaksaan semacam itu akan merusak bangunan struktur kekuasaan yang hendak dibangun. Koalisi Kebangsaan akan menjadi sumber instabilitas politik.
Ketiga, khusus bagi konstituen Partai Golkar, mereka menganggap sikap para elitenya sebagai pengingkaran terhadap janji Partai Golkar kepada masyarakat untuk melakukan perubahan. Namun, mengapa para elite justru mendukung salah satu pasangan yang mempunyai citra yang tidak atau belum mau berubah. Karena itu, pembelotan yang dilakukan arus bawah seharusnya sudah dapat diantisipasi. Mungkin sikap netral lebih dapat diterima oleh konstituennya.
***
KORBAN kedua adalah keretakan partai-partai besar yang tergabung dalam koalisi. Partai Golkar menuai keretakan serius karena melakukan pemecatan terhadap beberapa tokoh yang dianggap melanggar disiplin organisasi. Tetapi, mereka lupa, pembelotan para tokoh itu amat mungkin menyambung dengan aspirasi arus bawah. Hal ini tentu akan berdampak serius bila partai itu tidak melakukan konsolidasi. Artinya, Partai Golkar harus dapat memilih elite baru yang dapat memimpin partai dan didukung konstituennya. Sebab, kalau membiarkan elite partai menjadi pimpinan yang tidak mempunyai basis di bawah, akan mempunyai implikasi serius bagi kelangsungan partai politik bersangkutan. Hal yang mirip terjadi pada PDI-P. Setelah kekalahan pasangannya, partai ini, alih-alih, melakukan konsolidasi. Namun yang terjadi malah cenderung cerai-berai karena mempertahankan sebagian elitenya untuk mempertahankan karakter partai yang oligarkis.
***
KORBAN berikut dari koalisi itu dapat menimpa siapa saja. Sebab ia akan berubah menjadi bola liar, menggelinding mengikuti arah dan kepentingan ambisi elitenya. Karena itu, isu-isu yang beredar akhir- akhir ini bahwa koalisi akan menjatuhkan pemerintahan SBY-Jusuf Kalla harus diwaspadai. Sebab, hal itu tidak mustahil dapat terjadi mengingat pasal mengenai impeachment dalam UUD 1945 dapat ditafsirkan secara luas. Bila hal itu terjadi, dunia politik Indonesia akan dijadikan sekadar arena dagang sapi, pada gilirannya dapat merusak tatanan dan menimbulkan instabilitas politik.
Untuk mengantisipasi hal-hal itu mungkin dapat diusulkan beberapa hal. Pertama, pasangan SBY-JK harus dapat menggunakan mandat, kekuasaan, dan kepercayaan rakyat untuk membujuk parlemen agar tidak secara apriori melakukan manuver-manuver yang menghambat kebijakan yang sehat. Namun, agar daya bujuk itu lebih efektif, pasangan SBY-JK harus memelihara dukungan publik dengan terus melakukan komunikasi politik dengan rakyat. Lebih-lebih bila pemerintah ingin menerbitkan kebijakan atau rancangan regulasi yang strategis, harus lebih dulu dikomunikasikan kepada masyarakat seluas-luasnya. Konsultasi publik juga amat perlu dilakukan guna mendapatkan masukan. Masukan itu lalu dijadikan bahan guna merumuskan kembali gagasan-gagasan awal, sehingga bila rancangan kebijakan atau perundangan itu memerlukan persetujuan parlemen, bahan itu sudah setengah legitimate karena sudah dirumuskan melalui debat publik luas, dan karena sudah menjadi milik masyarakat. Parlemen tidak dapat lagi dengan mudah melakukan blackmailing.
Kedua, dalam jangka lebih panjang, masyarakat sipil harus mendesak parlemen agar merevisi UU kepartaian agar memasukkan pasal yang dengan tegas dan jelas mengatur demokratisasi internal parpol. Hal itu amat besar kontribusinya agar partai tidak menjadi instrumen elite untuk berburu kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan Koalisi Kebangsaan, pengalaman itu memberikan beberapa pilihan: pertama, tetap berkoalisi tetapi benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Atau, kedua, menghadapi peradilan rakyat dalam Pemilu 2009 dan siap ditinggalkan pendukung bila tidak segera mengubah watak koalisi yang oportunistik menjadi koalisi yang mengutamakan kepentingan umum.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 04 Oktober 2004.