JAKARTA, WB – Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK saat ini tengah menggodok beberapa calon nama yang akan menjabat untuk dua institusi, yakni Kejaksaan Agung dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Jika Jokowi-JK salah dalam memilih beberapa calon tersebut, tentunya bakal mempengaruhi performa Kabinet Kerja Jokowi, khususnya dalam hal penegakan hukum dan isu HAM yang hingga saat ini belum juga menemui “benang merah”.
Dari isu yang beredar, sedikitnya ada lima calon nama yang bakal mengisi kursi Kejaksaan Agung, di mana tiga calon dari eksternal dan dua calonnya dan internal Kejaksaan. Dua calon dari internal adalah Andhi Nirwanto, dan Widyo Pramono, sedangkan tiga calon dari eksternal adalah Mas Achmad Santosa, Muhammad Yusuf, Hamid Awaluddin.
Namun Setara Institute menilai jika lima calon tersebut merupakan orang-orang yang tidak memiliki rekam jejak yang bagus. Apalagi tiga calon dari eksternal Kejaksaan juga tidak memiliki rekam jejak pada isu HAM. Sementara dua calon internal Kejaksaan dipastikan sulit mempunyai nyali menyelidiki pelanggaran HAM masa lalu.
“Tiga calon eksternal hanya dikenal sebagai orang yang memiliki integritas pada pemberantasan korupsi karena jabatannya sebagai Ketua dan Mantan Ketua PPATK. Sedangkan Mas Ahmad Santosa adalah mantan pejabat UKP4 dan nyaris tidak memiliki terobosan untuk memajukan penegakan hukum,” kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Husani di kantor Setara Institute, Benhil, Jakarta, Rabu (5/11/2014).
Untuk itu, Setara Institute mendesak kepada Jokowi-JK agar mencari calon lain yang memiliki rekam jejak yang baik dan harus mempertimbangkan ulang, serta mencari sosok yang benar-benar memiliki integritas dalam advokasi isu HAM. “Buat kami yang penting punya track record baik. Kalau yang punya masalah, jangan diangkat,” lanjutnya.
Sementara untuk Kepala BIN, setidaknya ada tiga calon kuat yang bakal mengisi pos paling vital. Ketiga calon ini, dua diantaranya dari kalangan militer seperti Fachrul Razi dan Sjafrie Sjamsoeddin, dan satu calon dari sipil adalah Asad Ali.
Namun sayang, Setara Institute menilai jika ketiga calon tersebut adalah orang-orang yang bermasalah. Apalagi Setara Institute melihat jika Jokowi-JK sudah tersandera oleh elit-elit parpol yang sama-sama menyorongkan kandidat.
“Semestinya ini tidak terjadi karena jabatan kepala BIN adalah salah satu referensi penentu arah pembangunan bangsa,” kata Badan Pengurus Ketua Setara Institute, Hendardi.
Menurutnya, baik calon Kejaksaan Agung, maupun calon Kepala BIN harus mempreriotaskan masalah HAM. Apalagi masalah HAM masa lalu hingga kini belum ada titik terang. Seperti contohnya adalah kasus Munir.
“Persoalan korupsi secara bertahap dari Presiden ke Presiden sudah tertangani lebih baik, terutama sejak KPK berdiri. Tapi persoalan HAM sampai kapanpun berganti pemerintahan dan presiden ini akan terus menjadi tuntutan publik,” paparnya.
Melihat ketiga calon Kepala BIN ini, Hendardi berharap kepada Jokowi-JK untuk memperimbangkan dan mencari sosok lain yang dinilai bersih dan tidak tersangkut kasus HAM masa lalu.
Apalagi Hendardi menilai jika Fachrul Razi merupakan orang yang termasuk bagian masa lalu meski tidak terlibat langsung dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM.
“Tetapi persinggungannya dengan transisi politik dari Soeharto ke Habibie waktu itu memungkinkan peranannya tidak akan independen karena dia bagian dari kontestasi para jenderal,” imbuh Hendardi.
Sementara Sjafri Sjamsoeddin menurutnya adalah salah satu otang yang “selamat” dan berhasil memoles citra dirinya karena mendekam terus di Kementerian Pertahanan sebagai Sekjen dan menjadi wakil Menhan.
Untuk Asad Ali, meskipun berasal dari kalangan sipil yang didorong oleh Nadhatul Ulama (NU), namun menurut Hendardi, Asad bukan orang yang bersih karena dugaan keterlibatannya secara langsung maupun tak langsung pada pembunuhan Alm. Munir pada 2004 lalu.
“Posisinya sebagai Wakil Kepala BIN yang kala itu dikepalai oleh Hendropriyono tidak mungkin tidak mengetahui dalam perencanaan pembunuhan Munir,” imbuhnya.
Untuk itu, Setara Institute menolak keras ketiga calon Kepala BIN karena tersangkut banyak kasus HAM dan tidak akan memberi harapan baru bagi perubahan orientasi, cara kerja, dan produk-produk kerja intelijen. Apalagi BIN adalah mata dan telinga Presiden[]