JAKARTA, WB – Sejumlah pegiat pemilu mengajukan pengujian undang-undang (PUU) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang kini telah diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan pengajuan tersebut, dikhawatirkan dalam pemilukada nanti akan marak berbagai pelanggaran salahsatunya jual beli suara.
“Selain tidak adanya sanksi politik uang, undang-undang juga tidak mengatur sanksi bagi jual beli dukungan partai politik,” papar pegiat pemilu, Ramdansyah, Jumat (17/4/2015).
PUU diajukan lantaran dalam UU tersebut, dinilai tidak tegas. Antara lain pasal 73 yang tidak mengatur sanksi diskulasifikasi terhadap pasangan calon dan pelaku politik uang.
“Undang-undang hanya mengatur penjatuhan sanksi terhadap jual beli dukungan partai politik, harus didahului putusan pengadilan. Sementara tidak ada materi sanksi yang dapat digunakan untuk menjatuhkan putusan pengadilan,” ujar Ramdansyah.
Kondisi ini dinilai tidak baik, karena dikhawatirkan dapat menyebabkan ketegangan sosial di masyarakat. Sebab undang-undang seolah merestui dan melegalkan tindakan politik uang dan jual beli suara.
Alasan lain, PUU diajukan karena menurut Ramdansyah, penggunaan Pasal 149 KUHP juga tidak dapat menjerat politik uang.
“Tentu saja masih banyak cacat materil yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Makanya kami kembali mengajukan PUU, meski sebelumnya pengajuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, ditolak,” tandasnya.[]