JAKARTA, WB – Meski memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, namun Indonesia tetap saja masih melakukan import. Mulai dari import beras, daging sapi, kacang kedelai, garam, hingga gula.
Seharusnya dengan kekayaan alam tersebut, Indonesia pastinya bisa memakmurkan rakyatnya sendiri, bukan malah mengeluarkan devisa negara yang tak sedikit. Aneh tapi nyata, itulah yang saat masih menghantui bangsa yang begitu besar ini.
Untuk menangani permasalah tersebut, pemerintah harus mencari solusi jitu. Menurut Direktur Kerjasama dan Promosi Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Ir. Timbul Sinaga, setidaknya ada lima pokok persoalan yang harus diselesaikan.
“Kurangnya infrastruktur seperti irigasi, jembatan dan jalan merupakan persoalan pertama. Belum lagi pekerjaan petani dan nelayan yang masih menggunakan cara lama. Ada juga yang kurangnya keterampilan, terus moda lahan pasar yang sedikit, serta banyak peraturan yang kurang berpihak kepada petani dan nelayan,” kata Timbul dalam keterangan persnya, Minggu (21/09/2014).
Lebih lanjut, Timbul mengungkapkan solusi yang utama adalah dengan tekhnologi supaya mempermudah petani dan nelayan dalam menggarap sawah.
“Mulai dari pengolahan tanah, pembibitan, pemupukan sampai pemanenan petani harus menggunakan traktor,” tuturnya.
Guna membantu urusan disektor pertanian dan perikanan, pemerintah mengaku akan memberikan fasilitas (traktor) tersebut. Traktor itu nantinya akan jadi hak paten sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten Pasal 8 ayat 1 masa perlindungan Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan.
“Setelah masa perlindungan habis maka paten-paten tersebut masuk ke dalam domain publik artinya siapa saja bebas menggunakannya,” terangnya.
“Informasi paten dapat diakses dikantor-kantor HKI atau kantor Paten dunia seperti DJHKI Indonesia, USPTO Amerika, EPO Eropa, JPO Jepang dan lainnya,” sambungnya.
Sama halnya dengan petani kelapa sawit, lanjut Timbul, sektor tersebut juga harus diberdayakan dengan menggunakan Pabrik Kelapa Sawit Mini (500 kg/jam).
“Tujuannya agar petani sawit tidak lagi menjual kelapa sawit tapi sudah menjual minyak sawit (CPO), petani kopi diberdayakan dengan mesin penggorengan (roasting) sehingga petani kopi menjual kopi biji yang sudah roasting bukan lagi biji mentah dan petani lainnya termasuk nelayan harus diberdayakan menggunakan teknologi,” terangnya.
Jika ini dilakukan, Timbul yakin petani dan nelayan bisa memberikan daya saing dan nilai ekonomi yang tinggi. ” Pastinya petani dan nelayan akan sejahtera. Hal inilah pekerjaan pemerintah kedepan untuk dapat mandiri atau berdaulat dibidang pangan,” tutupnya.