JAKARTA,WB – Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menggelar sidang perkara gugatan hasil pilkada serentak. Hampir ada sekitar 140 kasus permohonan sengketa telah dijukan ke MK. Artinya mencapai 50 persen dari total keseluruhan daerah yang mengikuti pilkada serentak.
“Sekalipun dinyatakan sengketa pilkada ke MK mengacu ke pasal 158 UU pilkada yang mensyaratkan adanya selisih kurang dari 2 persen total pemilih, tapi faktanya lebih dari 80 persen permohonan itu didasarkan bukan pada adanya selisih suara tapi dugaan adanya pelanggaran terstruktur, sistemik dan massif dalam pelaksanaan pilkada,” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti, Jakarta, Sabtu (23/1).
Dengan jumlah sedemikian banyak, faktanya, majelis hakim MK tidak memiliki minat untuk menggali apa sebenarnya yang terjadi dalam praktek pilkada serentak kemarin. Setidaknya dalam sidang kemarin, MK menolak memeriksa pokok perkara dari para pemohon karena tidak tercapainya persyaratan adanya selisih suara maksimal 2 persen. Dengan dalil itu, MK menolak permohonan setidaknya 26 kasus pada Kamis 21 Januari 2016.
MK masih akan menggelar sidang pada hari ini dan kemungkinan sampai pada Senin (25/1). “Tentu saja LIMA Indonesia menyayangkan sikap dan putusan MK yang semata mendasarkan diri pada pasal 158 tersebut. Kenyataan lebih dari 80 persen permohonan sengketa ke MK mestinya dapat memberi dorongan pada MK untuk mengambil langkah progressif. Yakni menguji secara legal apakah pilkada yg dilaksanakan secara serentak kemarin berlangsung dengan prinsip-prinsip jurdil dan konstitusional,” jelas dia.
“Tentu sudah merupakan kewajiban konstitusuonal MK untuk memastikan seluruh pelaksanaan pilkada berjalan sesuai dengan asas konstitusi dan aturan yang berlaku,” kata dia lagi.
Perhitungan selisih suara hanyalah produk ujung dari keseluruhan tahapan pilkada. Jika MK hanya berpatok pada soal selisih suara maka ada banyak potensi pelanggaran atas asas jurdil pilkada tak tertangani. Artinya, pelanggaran-pelanggaran yang bersifat TSM akan cendrung dilakukan selama selisih suara di atas 2 persen. Disinilah keberpihakan konstitusional dan subtantif MK dibutuhkan. Yakni mencegah pilkada agar tidak menjadi pintu legal bagi calon kepala daerah yang bertindak ilegal dalam pilkada.
“Kita semua, khususnya MK, memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk mencegah pemimpin lahir dari proses yang manipulatif, mengangkangi konstitusi dan pelanggaran-pelanggaran atas konstitusi. Mudah-mudahan dalam dua atau tiga hari ke depan MK masih dapat mempertimbangkan langkah-langkah penyelamatan demokrasi lokal kita,” tandasnya. []