WARTABUANA – Kementerian Keuangan menegaskan, kenaikan iuran bagi peserta mandiri BPJS Kesehatan tidak bisa dihindari. Alasannya, defisit terbesar disebabkan tunggakan iuran peserta mandiri, yang mencapai Rp15 triliun selama 2016-2018.
“Agar program JKN yang sangat bagus ini dapat berkelanjutan, maka kedisiplinan membayar iuran bagi peserta mandiri ini sangat penting,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti di Jakarta, Minggu (8/9/2019).
Melalui surat terbuka soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan di media sosial, dia menjelaskan, sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri mencapai Rp8,9 triliun. Namun, total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun, atau memiliki rasio 313%.
Pada akhir tahun anggaran 2018, ujar dia, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7%. Artinya, 46,3% dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak.
Ia mengungkapkan dengan rasio yang tinggi itu seharusnya kenaikan iuran tersebut mencapai lebih dari 300%. Namun, pemerintah mengusulkan kenaikan iuran 100 persen untuk kelas I dan II dan 65% untuk kelas III.
Ia menjelaskan dalam mengusulkan kenaikan iuran itu, pemerintah mempertimbangkan tiga hal yakni kemampuan peserta dalam membayar iuran. Pertimbangan kedua yakni upaya memperbaiki keseluruhan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga terjadi efisiensi, dan ketiga, gotong royong dengan peserta pada segmen lain.
Apabila ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, kata dia, peserta tersebut dapat melakukan penurunan kelas, dari kelas I menjadi kelas II atau kelas III; atau dari kelas II turun ke kelas III.
Khusus untuk peserta mandiri kelas III, lanjut dia, akan naik menjadi sebesar Rp42 ribu, sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah.
“Bahkan bagi peserta mandiri kelas III yang merasa tidak mampu dengan besaran iuran ini, dan nyata-nyata tidak mampu, dapat dimasukkan ke dalam Basis Data Terpadu Kemensos yang iurannya dibayarkan Pemerintah,” ucapnya.
Nufransa menambahkan kenaikan iuran itu tidak akan mempengaruhi penduduk miskin dan tidak mampu. Saat ini, sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat melalui APBN yang disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sedangkan, sebanyak 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah melalui APBD.
Sementara itu, untuk pekerja penerima upah, baik aparatur sipil negara (ASN) pusat dan daerah, TNI, Polri dan pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Nufransa menambahkan, setiap tahun program JKN mengalami defisit. Pada 2014 angka defisitnya mencapai Rp1,9 triliun. Kemudian naik menjadi Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Untuk mengatasi defisit JKN itu, Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
“Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun pada tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021,” imbuhnya.
Okelah, anggap saja pandangan orangnya Menkeu Sri Mulyani itu benar. Bahwa tingkat keaktifan peserta mandiri turun hingga 53,7% pada akhir 2018. Atau sebanyak 46,3% dari total peserta mandiri BPJS Kesehatan, menunggak pembayaran.
Artinya, jelas daya bayar atau kemampuan keuangan mereka tengah dirundung masalah. Celakanya, ketika pemerintah menaikan iuran atau premi hingga 100%, mereka jelas semakin tidak mampu membayarnya. Lalu apa gunanya premi naik kalau begitu? Dan, bukankah negara harus hadir untuk menjamin seluruh rakyatnya hidup sehat?