JAKARTA, WB – Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan dengan Komisi III DPR, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menjelaskan alasan tim penyelidik tidak mentersangkakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam skandal pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektar.
Di hadapan sejumlah anggota Komisi III, Agus memaparkan kronologis kasus yang menyita perhatian publik itu. Menurut Agus, pada 14 Juli 2015 KPK menerima pengaduan masyarakat berupa Laporan Hasil Pemeriksaan BPK perwakilan DKI Jakarta atas Laporan Keuangan pemerintah provinsi DKI Jakarta 2014.
“LHP itu menginformasikan temuan BPK mengenai pengadaan tanah Sumber Waras yang tidak melalui proses memadai sehingga indikasi kerugian negara sejumlah Rp 191 miliar, jadi memang pengaduan berasal dari LHP BPK,” papar Agus, Rabu (15/6/2016).
Selanjutnya menurut Agus, bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK mengumpulkan data dan informasi dan diputuskan pimpinan KPK saat itu untuk meminta laporan audit investigasi sesuai surat pimpinan KPK tertanggal 6 Agustus 2015.
Kemudian, pada 29 September 2015 KPK mengeluarkan surat perintah penyelidikan No 65 tahun 2015 dan berkoordinasi dengan tim audit BPK untuk mendapatkan dapat data dan dokumen. Kemudian pada 10 Desember 2015 BPK menyampaikan hasil audit investigasi dan memaparkan ke pimpinan KPK. Laporan hasil audit KPK dijadikan informasi tambahan untuk penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi Sumber Waras.
Agus menggaris bawahi bahwa semua proses itu terjadi sebelum ddirinya dan komisioner KPK yang lain menjadi punggawa di lembaga anti rasuah itu.
Menurut Agus, pemaparan kasus tersebut dari penyelidik ke pimpinan dilakukan beberapa kali dan paparan terakhir adalah tiga hari yang lalu yaitu pada 13 Juni 2016. “Di kesempatan itu, mereka mengusulkan untuk menghentikan proses penyelidikan ini,” ungkapnya.
Menurut Agus, poin perbedaan penting antara laporan BPK dan KPK adalah pada penggunaan Peraturan Presiden No 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Hal ini tentu berbeda dengan pendapat BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014 yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp 191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.
BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.
Namun, menurut Agus, penyelidikan RS Sumber Waras belum diputuskan untuk berhenti. “Kami belum memutuskan untuk berhenti karena masih ada informasi yang harus kami gali, paling tidak ada dua instansi yang akan kami undang, salah satunya BPK. Kalau perlu pimpinan akan menyaksikan diskusi penyelidik kami dengan teman-teman dari BPK,” ungkapnya.[]