JAKARTA – Para dokter telah meresepkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) bagi para pasien sebagai bentuk dukungan terhadap kemandirian bahan baku obat dan produk obat dalam negeri. Selain itu juga karena efikasi OMAI, terutama obat berstatus Fitofarmaka, memiliki khasiat yang sama dengan obat-obatan berbahan baku kimia.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP, menyatakan bahwa para dokter mendukung adanya penggunaan OMAI tersebut. Menurut Prof. Ari, Indonesia memiliki kemampuan untuk membuat obat dengan kualitas unggul. Para dokter juga mendukung melalui riset di uji klinik.
“Di dalam resep-resep saya, saya meresepkan obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Saya sampaikan, jangan terlalu pesimis dengan dokter Indonesia. Kami senang meresepkan obat Indonesia,” ungkap Prof Ari dalam sebuah diskusi virtual pada Desember 2020 lalu.
Senada dengan Prof Ari, Pendiri Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) dr Hardhi Pranata SpS MARS menegaskan bahwa tak perlu ragu untuk meresepkan OMAI. “Saya sarankan jangan ragu-ragu untuk dokter di seluruh Indonesia menggunakan obat herbal dalam konteks fitofarmaka. Tolong dukungan dari Permenkes bahwa OHT boleh dipakai di klinik klinisi, luar biasa itu,” kata dr Hardhi.
Namun menurut Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. Bambang Brodjonegoro, perlu dukungan lebih besar lagi dari pemerintah agar OMAI semakin berkembang di Indonesia. Dukungan itu adalah dengan memasukkan OMAI ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Kalau OMAI masuk JKN, di situlah OMAI mulai dikenal, kalau OMAI atau fitofarmaka banyak dikenal maka otomatis minat industri farmasi meningkat untuk produksi OMAI lebih banyak,” ujar dia dalam kesempatan yang sama.
Dia menambahkan, industri farmasi di Indonesia harus punya posisi. Industri farmasi Indonesia dapat unggul karena memproduksi obat herbal, bukan unggul karena sekedar mengolah obat dari bahan baku obat kimia impor, tetapi industri farmasi Indonesia yang tangguh karena dapat memproduksi obat dari bahan baku dari Indonesia sendiri. Perlu gerakan moral, untuk mengenalkan dan memakai OMAI.
Bambang menilai penyebab OMAI belum bisa masuk dalam program JKN karena masih adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 54 Tahun 2018. Sebagai catatan, dalam Pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan bahwa obat yang diusulkan masuk Formularium Nasional di program JKN bukanlah obat tradisional dan suplemen makanan.
Permenkes itu juga merujuk UU Kesehatan No 36/2009 bahwa yang dimaksud obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian OMAI yang dibuat dari bahan alami seperti tumbuhan dan hewan tidak bisa diusulkan.
OMAI juga direkomendasikan oleh lima organisasi perhimpunan dokter yakni Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan penggunaan OMAI sebagai terapi suportif untuk diberikan pada pasien Covid-19. Rekomendasi tersebut ditulis dalam buku Pedoman Tata Laksana Covid-19 edisi 3 yang dirilis pada Desember 2020.
SUDAN SELATAN-JUBA-PASIEN PENYAKIT KULIT-TIM MEDIS CHINA-PENGOBATAN
(241121) -- JUBA, 21 November, 2024 (Xinhua) -- Dokter spesialis kulit asal China, Zheng Jianfeng, mengoperasi seorang pasien Sudan Selatan...
Read moreDetails