[wonderplugin_video iframe=”https://www.youtube.com/watch?v=Mzm_0Fz3BJw” lightbox=0 lightboxsize=1 lightboxwidth=960 lightboxheight=540 autoopen=0 autoopendelay=0 autoclose=0 lightboxtitle=”” lightboxgroup=”” lightboxshownavigation=0 showimage=”” lightboxoptions=”” videowidth=600 videoheight=400 keepaspectratio=1 autoplay=1 loop=0 videocss=”position:relative;display:block;background-color:#000;overflow:hidden;max-width:100%;margin:0 auto;” playbutton=”https://www.wartabuana.com/wp-content/plugins/wonderplugin-video-embed/engine/playvideo-64-64-0.png”]
AUCKLAND -Ratusan warga pada Sabtu (27/3) berkumpul di pusat kota Auckland, Selandia Baru, untuk menggelar gerakan “Stop Asian Hate” (Hentikan Kebencian terhadap Orang Asia).
Ratusan orang berkumpul di Aotea Square di Auckland CBD untuk menyuarakan kegeraman mereka atas rasisme terhadap orang Asia di Amerika Serikat dan Selandia Baru, sebelum berpawai di sepanjang Queen Street.
The aim of the event was not only to stand in solidarity with Asian Americans who have experienced extreme abuse and lived in daily fear, but to also create awareness of the pain that Asians in New Zealand face, said the organizer on the event’s social media page.
Tujuan dari aksi tersebut tak hanya untuk menunjukkan solidaritas terhadap warga Asia-Amerika yang mengalami pelecehan ekstrem dan setiap harinya hidup dalam ketakutan, namun juga untuk menciptakan kesadaran atas penderitaan yang dialami warga Asia di Selandia Baru, kata penyelenggara aksi unjuk rasa di laman media sosial gerakan tersebut.
Para peserta unjuk rasa menyerukan slogan “hentikan kebencian terhadap orang Asia”, “cintai budaya kita, cintai bangsa kita”, dan “kita milik Aotearoa (Selandia Baru)” saat menyusuri Queen Street.
Februari lalu, sebuah penelitian yang dirilis oleh Komisi Hak Asasi Manusia Selandia Baru mengungkap bahwa orang Maori dan komunitas China melaporkan tingkat diskriminasi tertinggi sejak pandemi COVID-19 mulai merebak.
Menurut penelitian tersebut, empat dari 10 responden di Selandia Baru melaporkan mengalami diskriminasi sejak awal wabah, dengan jumlah kasus yang lebih tinggi dialami oleh responden orang Maori (55 persen), China (54 persen), Pasifik (50 persen), dan orang Asia lainnya (49 persen).
Koresponden Kantor Berita Xinhua melaporkan dari Auckland, Selandia Baru. (XHTV)