Foto yang diabadikan pada 24 Januari 2024 ini memperlihatkan jalan yang baru dibangun di Desa Xiazhuang, wilayah Wushan, Kota Chongqing, China barat daya. (Xinhua/Tang Yi)
CHONGQING, 1 Maret (Xinhua) — Seorang pria tangguh seperti Mao Xianglin hampir tak pernah ragu saat menghadapi kesulitan, apalagi mengalami hambatan dalam mencapai tujuannya. Namun, ketika harus membangun jalan keluar dari pegunungan tempat dirinya dan sesama warga desanya tinggal selama beberapa generasi, dia mendapati dirinya goyah.
Pada musim dingin yang menusuk tahun 1997, lebih dari 100 penduduk desa dari 300 lebih rumah tangga di Desa Xiazhuang, Kota Chongqing, China barat daya, memulai tugas berat untuk membangun sebuah jalan bagi kendaraan di tebing yang curam.
Karena tidak memiliki mesin modern, mereka bergelantungan di permukaan tebing dan menggunakan palu, bor, serta peralatan sederhana lainnya untuk membelah batu. Dalam proses inilah Huang Huiyuan, seorang penduduk desa setempat, tertimpa batu yang runtuh dan jatuh ke dalam jurang yang berada 300 meter di bawahnya.
Mao masih ingat momen ketika dia dan beberapa penduduk desa lainnya turun menggunakan tali dari puncak gunung ke dasar jurang. “Kami menangis selama proses itu. Tidak ada yang tidak sedih,” kenangnya.
Para penyintas dihadapkan pada pertanyaan kuno, “Hidup atau tidak hidup?” (To be or not to be?). Pertanyaan itu mewakili dilema universal tentang memilih untuk mengambil risiko demi mengejar kehidupan yang lebih baik atau menyerah dan menerima nasib.
![](https://cdn.wartabuana.com/wp-content/uploads/2024/03/view-Pg8WPl.jpeg)
Foto yang diabadikan pada 1998 ini menunjukkan seorang penduduk desa dengan bekas luka pada tubuhnya saat membangun jalan di sisi tebing di Desa Xiazhuang, wilayah Wushan, Kota Chongqing, China barat daya. (Xinhua)
Tersembunyi di lembah yang curam dan dipagari oleh empat tebing, kampung halaman mereka terisolasi selama ratusan tahun. Untuk mencapai kota terdekat, penduduk setempat harus menghabiskan waktu lebih dari tiga jam mendaki bukit dan lembah, mengikuti jalan setapak yang hanya cocok untuk pejalan kaki.
Pada 1997, Mao Xianglin, yang saat itu berusia 38 tahun, mengerahkan penduduk desanya untuk membangun jalan yang dapat dilalui kendaraan, mengerjakan tugas tersebut tanpa bantuan eksternal. Mereka semua tahu bahwa, meskipun jalan ini dapat dibangun, generasi mereka kemungkinan tidak akan dapat menikmati manfaat yang dibawa oleh transportasi yang nyaman.
Pada upacara pemakaman Huang, Mao, yang hatinya dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan, bertanya kepada penduduk desa apakah mereka ingin melanjutkan pembangunan jalan tersebut.
Di tengah keheningan, ayah Huang adalah orang pertama yang menjawab pertanyaan itu. “Mari kita bangun jalan itu. Mari kita jaga agar api ini tetap menyala sampai akhir. Jangan berhenti sekarang,” katanya.
![](https://cdn.wartabuana.com/wp-content/uploads/2024/03/view-RgD5DW.jpeg)
Foto yang diabadikan pada 1998 ini menunjukkan penduduk desa membangun jalan di sisi tebing di Desa Xiazhuang, wilayah Wushan, Kota Chongqing, China barat daya. (Xinhua)
Melalui perenungan kembali yang menyakitkan tentang kehidupan dan kematian, mereka menyimpulkan bahwa jalan itu suatu hari nanti akan membawa cahaya harapan ke dalam kehidupan anak-anak atau cucu-cucu mereka, dan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi tujuan itu.
Pada 2004, jalan sepanjang 8 km ini akhirnya selesai dibangun, tidak hanya membuka jalan bagi penduduk setempat ke dunia luar, namun juga membawa generasi berikutnya menuju mimpi yang lebih besar, yaitu kemakmuran bersama.
Saat ini, sosok panutan dengan motivasi personal yang muncul dari kalangan warga miskin di wilayah pedesaan China, seperti Mao, disebut sebagai “pelopor pencapaian kemakmuran”. Selama perjuangan China memberantas kemiskinan absolut, para pelopor mandiri seperti itu merupakan kunci untuk memberikan contoh nyata bagi rumah tangga lainnya yang hidup dalam kemiskinan dan mendorong pengembangan industri khas lokal.
Per 2025, China berupaya untuk membina 100.000 pelopor yang akan memimpin sesama penduduk desa untuk mencapai kemakmuran melalui revitalisasi pedesaan.
![](https://cdn.wartabuana.com/wp-content/uploads/2024/03/view-YqrjjO.jpeg)
Foto dari udara yang diabadikan menggunakan dronepada 16 Januari 2024 ini memperlihatkan jalan di tepi tebing yang dibangun oleh penduduk desa di Desa Xiazhuang, wilayah Wushan, Kota Chongqing, China barat daya. (Xinhua/Tang Yi)
PELOPOR PEMBANGUNAN JALAN
Sebelum adanya jalan tersebut, kematian merupakan “pengunjung tetap” Xiazhuang.
Ketika penduduk desa ingin mencapai kota terdekat, mereka harus menghabiskan waktu berjam-jam mendaki lereng gunung yang curam. Jika mereka membutuhkan kayu bakar, mereka harus memanjat bebatuan ke puncak gunung dan menebang pohon. Dalam rutinitas esensial ini, kematian dan cedera tidak dapat dihindari.
Terlepas dari fakta memilukan ini, ketika Mao mengusulkan agar penduduk desa membangun jalan secara mandiri, banyak pihak menentang proyek tersebut dan menyebutnya sebagai khayalan.
Pada 1970-an, beberapa penduduk desa yang sudah lanjut usia pernah mencoba membangun jalan yang berkelok-kelok, namun upaya ini berakhir dengan kegagalan. Jadi, mereka tidak terlalu berharap bisa membangun jalan yang ramah kendaraan seperti yang ada di benak Mao. Selain itu, sebagian besar penduduk desa tergolong miskin dan khawatir bahwa jalan semacam itu akan menghabiskan banyak biaya, dan tidak banyak yang bersedia menghadapi risiko keselamatan dari proyek semacam itu.
![](https://cdn.wartabuana.com/wp-content/uploads/2024/03/view-VzMPUe.jpeg)
Foto yang diabadikan pada 1998 ini menunjukkan penduduk desa menyantap mi di Desa Xiazhuang, wilayah Wushan, Kota Chongqing, China barat daya. (Xinhua)
Namun, Mao telah bepergian ke luar desa dan melihat perubahan yang terjadi. Dia tahu bahwa jalan yang layak sangat penting jika mereka ingin memperbaiki nasib penduduk desa.
“Ketika saya berada di kota, saya melihat orang-orang sudah menggunakan kulkas dan televisi, serta mengendarai mobil. Namun, kami masih memotong kayu untuk memasak dan tinggal di rumah-rumah batako,” katanya.
Selama satu bulan, Mao menggelar tujuh pertemuan dan meyakinkan penduduk desa akan pentingnya membangun jalan tersebut. “Ini untuk kita sendiri, bukan untuk orang lain,” kata Mao. “Jangan takut dengan pengorbanan. Bahkan jika generasi kita tidak menikmati hasilnya, generasi berikutnya akan menikmatinya. Tidak peduli berapa tahun yang dibutuhkan, kita harus membangun jalan ini.”
Penduduk desa pun perlahan-lahan melunak. Beberapa dari mereka, seperti Yang Yuanding, bergabung dengan Mao untuk memobilisasi warga lainnya. Yang pernah melihat ayahnya tertimpa batu yang runtuh ketika mereka sedang memotong kayu, jadi dia tahu bahwa sebuah jalan diperlukan untuk mengubah kehidupan penduduk desa. Termotivasi oleh harapan mereka akan masa depan, mereka memutuskan untuk melanjutkan proyek tersebut.