Orang-orang memegang spanduk dalam sebuah aksi protes menentang latihan militer gabungan Filipina-Amerika Serikat di depan gerbang markas besar Angkatan Bersenjata Filipina (Armed Forces of the Philippines/AFP) di Quezon City, Filipina, pada 22 April 2024. (Xinhua/Rouelle Umali)
AS merupakan faktor destabilisasi yang merusak perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, ungkap para pakar Indonesia.
JAKARTA, 29 April (Xinhua) — Amerika Serikat (AS) merupakan faktor destabilisasi yang merusak perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, seperti diungkapkan para pakar Indonesia menyusul penempatan rudal balistik jarak menengah AS di Filipina dan latihan militer gabungan kedua negara itu.
Filipina baru-baru ini sering mengambil tindakan di Laut China Selatan, “yang semuanya tidak terlepas dari instruksi dan dukungan AS,” kata Bambang Suryono, presiden wadah pemikir (think tank) Nanyang ASEAN Foundation yang berbasis di Jakarta.
Tujuan Washington adalah untuk menghalangi perkembangan dan kekuatan China dengan secara aktif berusaha terlibat dalam urusan Laut China Selatan, ujarnya.
“Sebagian besar negara ASEAN menentang campur tangan militer AS di Laut China Selatan. Lihat saja lokasi-lokasi pangkalan militer AS, siapa pun akan menyadari bahwa AS adalah kekuatan pengganggu perdamaian di Laut China Selatan,” tambah Bambang.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan seharusnya hanya dapat diselesaikan melalui konsultasi timbal balik di antara negara-negara yang terlibat di Asia Tenggara dan China, ujar Veronika Saraswati, peneliti senior di lembaga think-tankterkemuka di Indonesia, Center for Strategic and International Studies (CSIS).
“Intervensi yang dilakukan oleh negara-negara di luar kawasan tersebut, seperti AS, hanya akan memperburuk situasi di Laut China Selatan,” ujarnya.
Dirinya menekankan bahwa Filipina harus memainkan peran yang lebih aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga perdamaian regional, daripada bersekutu dengan kekuatan Barat dan mendorong situasi ke arah konflik.
“Ini merupakan langkah yang berbahaya dan sembrono karena Filipina mengizinkan AS untuk mengerahkan rudal di wilayahnya. Hal ini menyabotase perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, melanggar sentralitas ASEAN, dan membuat masyarakat ASEAN terus-menerus hidup dalam ketakutan akan perang,” ujar Veronika.
Johanes Herlijanto, dosen di Universitas Pelita Harapan, mengatakan bahwa Asia Tenggara menolak segala bentuk tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan di Laut China Selatan.
Pandangannya didukung oleh banyak pakar, termasuk Djauhari Oratmangun, Duta Besar Indonesia untuk China.
“Saya yakin bahwa kita harus menciptakan lingkungan yang damai dan mendukung bagi kawasan kita agar kerja sama di berbagai bidang dapat terus meningkat,” kata Djauhari. [Xinhua]