WASHINGTON – Presiden Grup Bank Dunia David Malpass pada Rabu (13/10) mengatakan bahwa pandemi COVID-19 meningkatkan level kemiskinan dan utang di negara-negara berpendapatan rendah, menyoroti “kemunduran tragis” dalam pembangunan.
“(Pandemi) ini telah menjerumuskan hampir 100 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem. Angka tersebut adalah angka tambahan dalam kemiskinan ekstrem,” tutur Malpass dalam sebuah konferensi pers virtual yang diadakan pada Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia.
“Kita sedang menyaksikan kemunduran tragis dalam pembangunan. Kemajuan dalam pengurangan kemiskinan ekstrem terpaksa mundur ke titik beberapa tahun ke belakang, bagi beberapa (negara) bahkan hingga sepuluh tahun ke belakang,” lanjutnya.
Dia mengatakan bahwa kesenjangan kian memburuk di seluruh kelompok negara. Dikatakan Malpass, pendapatan per kapita di perekonomian maju tumbuh hampir 5 persen pada 2021, dibandingkan negara berpendapatan rendah yang hanya 0,5 persen.
“Prediksinya masih suram bagi sebagian besar negara berkembang. Inflasi tinggi, lapangan kerja terlalu sedikit, kelangkaan meluas hingga ke pangan, air, dan listrik,” urainya. Dirinya juga menyoroti tentang penutupan pabrik dan pelabuhan yang sedang terjadi serta kemacetan dalam rantai pasokan dan logistik.
Menanggapi pertanyaan dari Xinhua, pimpinan Bank Dunia itu mengatakan bahwa kemunduran yang dialami kaum perempuan, anak-anak, dan mereka yang rentan merupakan kemunduran tragis akibat pandemi dan gangguan ekonomi global.
“Perlu adanya sebuah sistem keuangan internasional global yang lebih sesuai bagi orang-orang yang bekerja di negara-negara paling miskin guna mengurangi kemiskinan,” imbuhnya.
Malpass juga menekankan bahwa banyak negara, khususnya negara miskin, menghadapi masalah utang. Dalam Statistik Utang Internasional (International Debt Statistics) yang dirilis pada Senin (11/10), Bank Dunia memperkirakan bahwa beban utang di negara-negara berpendapatan rendah naik 12 persen hingga mencapai rekor tertinggi 860 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.221) pada 2020.
Laporan itu menyebutkan bahwa bahkan sebelum pandemi, banyak negara berpendapatan rendah dan menengah sudah berada dalam posisi rentan, dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan utang publik maupun luar negeri yang tinggi. Stok utang luar negeri gabungan negara-negara berpendapatan rendah dan menengah naik 5,3 persen pada 2020 ke angka 8,7 triliun dolar AS.
Mengungkapkan bahwa banyak negara terbelit utang luar negeri atau berisiko tinggi terbelit utang luar negeri, Malpass menuturkan kepada awak media bahwa “kita memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk pengurangan utang, restrukturisasi yang lebih cepat, dan lebih banyak transparansi untuk mencapai kemajuan dalam masalah ini.”
Dalam kurun 15 bulan yang berakhir pada Juni 2021, pemberi pinjaman multilateral itu berkomitmen menyediakan dana 157 miliar dolar AS untuk membantu negara-negara yang membutuhkan, dan “sebagian besar dari dana itu dalam bentuk hibah,” ungkap Malpass. [Xinhua]