Oleh: J Kristiadi
Perilaku sekitar 1.000 anggota DPRD yang berdemonstrasi di Jakarta menolak revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 menimbulkan kegeraman, keprihatinan, kekecewaan, kejengkelan, kegalauan, bahkan kemarahan publik. Pernyataan sejumlah tokoh masyarakat di media massa memanifestasikan betapa risaunya mereka terhadap tindakan elite politik yang mengaku sebagai wakil rakyat itu.
Ungkapan yang disampaikan secara lugas menunjukkan pula betapa buruknya persepsi publik terhadap politisi lokal itu. Kegagahan dan keberanian anggotaDPRD berdemo ke Jakarta justru tidak mendapatkan simpati masyarakat, melainkan kecaman keras. Demo dianggap sebagai skandal besar yang membuka borok DPRD, upaya memperkaya diri, tindakan yang memalukan, melukai hati rakyat, pengingkaran terhadap kepatutan, tidak memiliki empati, merugikan keuangan negara, dan kudeta administratif terhadap presiden.
Kecaman tidak saja datang dari publik di Jakarta, bahkan sesama anggota DPRD yang masih mempunyai hati nurani merasa malu dan menuntut agar Adkasi (Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia) dan Adeksi (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia ), yang didugaikut merekayasa terbitnya PP No 37/2006, dibubarkan.
Kecaman publik yang keras terhadap aksi anggota DPRD disebabkan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, penyusunan PP No 37/ 2006 dianggap tidak transparan dan disusupi “pasal siluman” sebagai hasil kolusi oknum-oknum pemerintah dengan anggota dan/atau pimpinan DPRD.
Dalam konteks kinerja pemerintahan daerah, distorsi penyusunan peraturan pemerintah tersebut hanya merupakan pucuk gunung es dari sebuahpersoalan mendasar manajemen politik yang semrawut dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyimpan banyak “skandal”. Misalnya, kasak-kusuk di antara elite politik lokal dalam penyusunan RAPBD, ribuan perda bermasalah, khususnya yang berkaitan dengan pungutan kepada pihak ketiga, sebagai hasil dari kolusi oknum anggota DPRD dengan kepala daerah; maraknya politisasi birokrasi yang mengakibatkan PNS menjadi medan perebutan pengaruh partai politik sehingga lembaga itu semakin tidak profesional; rekayasa pemekaran wilayah yang hanya didasarkan atas nafsu kekuasaan, dan sebagainya.
Kedua, masyarakat sedang didera penderitaan hebat oleh berbagai bencana alam yang tidak ditangani dengan sistematis, konsisten, dan antisipatif. Namun, yang lebih melukai hati rakyat adalah ketidakpedulian wakil rakyat terhadap kesengsaraan rakyat yang mungkin sudah sampai batas kemampuan masyarakat.
Alih-alih bekerja keras atau mengulurkan bantuan untuk meringankan beban rakyat, mereka justru secara terang-terangan memperjuangkan kepentingan sendiri dengan mengatasnamakan rakyat. Masyarakat kecewa karena anggota DPRD ternyata tenggelam dalam kubangan kepentingan pribadi. Perilaku mereka telah masuk dalam perangkap perburuan kenikmatan yang kalau dibiarkan akan menghancurkan tatanan kehidupan dan nilai moral bangsa.
Sementara itu, bagi para anggota DPRD, tuntutan mereka terhadap penolakan revisi PP 37/2006 dianggap wajar mengingat apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan para “seniornya” di pusat. Sebagaimana diketahui, para pejabat negara di pusat telah terlebih dahulu mendapatkan nikmat dari uang rakyat dengan terbitnya PP No 66/2005 dan dana operasional bagi menteri dan pejabat setingkat menteri mulai tahun 2006 melalui Permenkeu Nomor 3/ PMK.06/2006 tanggal 8 Februari 2006.
Melalui peristiwa pahit itu, sebagai bangsa yang tetap ingin survive, kiranya dapat mengambil hikmah dari perilaku sejumlah elite politik lokal tersebut yang dianggap kurang terpuji.
Pertama, anggota DPRD bukan buruh, pegawai, atau bahkan bukan seorang profesional. Mereka adalah tokoh yang disegani, dihormati, dan dipercaya masyarakat. Oleh sebab itu, mereka dipilih untuk menjadi tokoh yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka seharusnya punya tingkat spiritualitas dan kepekaan yang tinggi terhadap rakyat yang saat ini kebanyakan sedang bergulat untuk bertahan hidup minimal.
Oleh karena itu, dengan kekuasaan yang telah dipercayakan rakyat kepadanya, mereka harus merasa terpanggil berjuang habis-habisan untuk membebaskan rakyat dari belitan kemiskinan yang makin mencekik leher. Singkatnya, pekerjaan yang dilakukan adalah sebuah kehormatan karena yang mereka lakukan adalah tugas yang sangat mulia, sehingga anggota DPRD tidak digaji, melainkan menerima sekadar honorarium sebagai imbalan rasa hormat atas perjuangan yang dilakukannya. Jadi, kehormatan bukan terletak pada mobil, pakaian mewah, ataupun embel- embel titel akademik yang ditaruh di depan atau di belakang namanya.
Kedua, terbitnya PP yang kontroversial justru dapat dijadikan momentum yang baik untuk menunjukkan sikap kenegarawanan para anggota DPRD dengan menolak PP tersebut. Sebab, kalau PP dilaksanakan tanpa memerhatikan kepatutan, iasangat membebani anggaran pemerintah daerah. Kemasan penolakan dapat dijadikan kampanye yang efektif tanpa membuang banyak uang, dan sekaligus membangun kredibilitas dengan sikap ksatria.
Ketiga, momentum ini juga dapat dijadikan stimulus untuk meletakkan dasar reformasi birokrasi secara komprehensif. Sebab, tanpa dilakukan reformasi birokrasi yang telanjur menjadi “fosil” yang karatan, siapa pun dan dari partai mana pun yang memegang pemerintahan akan menghadapi sebuah “makhluk” bernama birokrasi yang siap menggerogoti, merusak, dan mendistorsi kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Keempat, penolakan instruksi beberapa pimpinan pusat parpol kepada pimpinan daerahnya agar anggota atau pimpinan DPRD mengembalikan uang rapelan seharusnya menggugah niat pimpinan parpol secara serius membenahi internal partainya.
Penolakan perintah pimpinan partai kepada subordinatnya menunjukkan bahwa kader-kader partai sangat tidak disiplin. Karena itu, pengaderan partai, terutama harus menggembleng mental generasi muda sehingga menjadi kader partai yang militan terhadap ideologi keberpihakan kepada nasib rakyat kecil.
Kelima, meski telah lelah didera penderitaan, masyarakat tak boleh lengah dalam mencermati proses penyusunan berbagai peraturan perundangan, terutama di tingkat daerah, agar produk perundangan itu benar-benar merupakan kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, sinergi antara kalangan masyarakat sipil dan media massa menjadi sangat penting.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 20 Februari 2007.