Oleh : J Kristiadi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, dalam tiga tahun ke depan akan lebih konkret dan menggunakan bahasa terang dalam pemerintahan, mengingat telah banyak dilakukan konsensus dan persuasif (Kompas, 27/12/2006).
Pernyataan itu juga didasari kenyataan, apa yang dilakukan Presiden Yudhoyono akan memengaruhi popularitas dan kredibilitasnya di masa datang.
Sebagian masyarakat menilai pernyataan itu sebagai pengakuan jujur atas kelemahan manajemen pemerintahannya selama dua tahun. Apa yang disebut konsensus sering kali tidak lebih dari deal-deal politik yang menghasilkan kompromi oportunistik antara pemerintah dan politisi untuk saling menjaga kepentingan masing-masing.
Karena itu, pernyataan Presiden menimbulkan harapan, simpati, dan dukungan di masyarakat dan banyak kalangan. Harapan itu terutama agar janji-janji perubahan yang digelorakan Presiden saat kampanye dua tahun lalu dapat membebaskan rakyat dari impitan hidup yang kian menyesakkan.
Tekad Presiden untuk bertindak konkret diharapkan dapat mengurangi atau meninggalkan politik pencitraan hanya demi pencitraan itu sendiri. Membangun image bagi presiden yang dipilih langsung rakyat adalah wajar, bahkan harus dilakukan.
Risiko
Namun, politik pencitraan harus dilakukan berdasar hasil nyata suatu kebijakan yang dapat dirasakan masyarakat. Jika politik pencitraan dilepaskan dari sebuah keberhasilan, ia hanya sekadar menjadi instrument untuk menjaga kekuasaan yang dipegangnya. Hal itu tidak berbeda dengan cara yang disebut politik menghalalkan segala cara yang dilakukan sejumlah politisi agar bertahan pada kekuasaannya.
Jika politik pencitraan akan ditinggalkan, diharapkan Presiden tidak takut menanggung risiko. Risiko adalah inti kepemimpinan. Dalam seni kepemimpinan ada ungkapan, “kerjakan selalu apa yang justru takut untuk dikerjakan”, sehingga ia semakin mempunyai rasa percaya diri.
Keberanian mengambil risiko memberi kemungkinan meraih kemenangan meski ada risiko kegagalan. Bagi pemimpin, risiko tidak dapat dihindari, termasuk risiko tidak populer. Karena itu, pemimpin tidak mungkin disenangi semua orang. Sebab, tuntutan bagi pemimpin adalah mengetahui hal-hal penting yang harus dilakukan untuk kepentingan bersama. Karena itu, pemimpin dituntut sensitif dan cerdas mengenai hal yang penting untuk dilaksanakan sebagai prioritas.
Masa Transisi
Pada masa transisi diperlukan pemimpin yang tegas. Proses perubahan politik yang cepat dan akseleratif tidak dapat diikuti pembentukan institusi dan regulasi yang mampu menopang perubahan itu. Di sinilah peran penting pemimpin. Dengan jiwa kepemimpinannya, ia mengisi kekosongan kelembagaan dan regulasi yang masih semrawut.
Dengan wawasan yang jelas, seorang presiden dapat mengajak seluruh kekuatan mencapai sesuatu yang dianggap tujuan bersama. Dalam masa transisi, Presiden diharapkan bersikap lebih menyerang (ofensif), dalam arti banyak mengambil inisiatif. Pola kepemimpinan bertahan (defensif), dalam arti hanya bertahan pada kekuasaan, adalah tindakan yang dapat dianggap mengkhianati kepercayaan masyarakat.
Bagi Presiden, melakukan tindakan konkret dapat merupakan bagian strategi menghadapi kompetisi politik tahun 2009. Dari tiga tahun sisa pemerintahannya, tahun 2007 memiliki kesempatan paling baik untuk memenuhi janji-janji kampanye mereka, maka harus dimanfaatkan untuk memfokuskan beberapa agenda yang dapat dijadikan primadona kampanye tahun 2009.
Rakyat tidak menghendaki semua masalah bangsa diselesaikan sekaligus. Rakyat cukup puas jika ada harapan hidup lebih baik di masa datang. Karena itu, kecerdasan dan kepekaan Presiden memilih isu yang menyentuh kehidupan amat ditunggu publik.
Tahun 2007 adalah tahun yang menentukan bagi Presiden Yudhoyono. Jika Presiden berhasil memberikan harapan yang lebih menjanjikan kepada masyarakat, ia tidak hanya akan kian populer, tetapi juga kian kredibel.
Selain itu, jika penegasan Presiden dilaksanakan, akan mempersempit kemungkinan mereka yang berambisi menjadi kompetitor untuk mengalahkan pada Pilpres 2009. Namun, jika janji itu tinggal janji, pertaruhannya bukan hanya kredibilitas Presiden, tetapi proses demokrasi itu sendiri akan ditolak masyarakat.
Jangan Berharap Lebih
Pertanyaan paling mendesak adalah, apakah impian masyarakat akan terwujud? Sebaiknya masyarakat tidak berharap lebih karena pencermatan melalui media menunjukkan Presiden tidak memberi janji akan bertindak tegas, tetapi akan melakukan tindakan konkret, langsung, dan menggunakan bahasa terang.
Bahwa masyarakat menafsirkan Presiden akan bertindak tegas, itu karena mereka telah lelah dengan simbol-simbol dan ungkapan manis yang tidak memperbaiki kehidupan. Dengan demikian, pernyataan Presiden dan harapan masyarakat dalam konteks ini adalah dua hal yang belum tentu sinkron.
Tindakan tegas Presiden tidak mungkin dilakukan tanpa konsensus karena mandat rakyat (60 persen pemilih) kepada Presiden bukan mandat untuk memerintah, tetapi membangun konsensus dengan kekuatan politik guna mewujudkan tujuan bersama. Ini terkait sistem pemerintahan yang berdasar konstitusi adalah presidensial, tetapi dalam praktiknya sistem parlementer.
Menurut kajian beberapa akademisi Universitas Indonesia sekitar dua tahun lalu (dimuat di Kompas), antara lain disimpulkan bahwa Presiden Yudhoyono bersifat hati-hati.
Presiden harus memenuhi janjinya. Masyarakat boleh berharap, tetapi hendaknya sabar dan bijak karena Presiden tidak mungkin bertindak tegas sesuai persepsi masyarakat yang kelelahan. Lebih- lebih pernyataan itu dikemukakan dalam konteks politik Indonesia yang sarat kepentingan sesaat. Masyarakat sebaiknya realistis, daripada menggantang asap dan terus mimpi.
Pernah dipublikasi di KOMPAS, 03 Januari 2007.