Oleh : J Kristiadi
Sekitar seminggu lalu, media massa mengutip pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang intinya menyatakan reformasi di Indonesia telah membuka peluang bagi pengusaha untuk mengisi lowongan kepemimpinan dalam pemerintahan karena pemilu membutuhkan figur, intelektual, dan biaya. Kecenderungan tersebut didorong larangan bagi pegawai negeri sipil, TNI, dan Polri berpolitik sejak reformasi. Diperkirakan jumlah pengusaha yang akan menjadi penguasa semakin besar pada masa mendatang.
Pernyataan tersebut secara tersirat mengungkapkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pengakuan bahwa pengusaha merupakan kelas masyarakat yang dibutuhkan untuk mengisi kekosongan jabatan publik yang pada masa lalu ditempati PNS, TNI, dan Polri. Kedua, kalangan pengusaha dianggap lebih mempunyai peluang dan kemampuan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya untuk merebut dukungan politik maupun dalam mengelola penyelenggaraan negara. Ketiga, masa depan politik di Indonesia akan lebih diwarnai peran pengusaha.
Namun, diperlukan beberapa persyaratan penting lainnya agar peran pengusaha dalam mengelola kekuasaan tidak justru menimbulkan permasalahan.
Beberapa persyaratan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tumbuhnya budaya politik di kalangan elite masyarakat (khususnya pengusaha) bahwa kekuasaan adalah amanah, dan oleh sebab itu harus dipergunakan sepenuhnya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, penegakan hukum harus benar-benar dapat diwujudkan. Ketiga, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat harus berfungsi sebagaimana mestinya.
Keempat, birokrasi harus profesional dan imparsial serta memelihara etik dan nilai-nilai yang dapat mendukung fungsinya sebagai lembaga pelayan publik.
Kelima, struktur kekuasaan politik juga sudah dapat menjamin berfungsinya mekanisme saling kontrol di antara lembaga-lembaga politik sehingga tak terjadi penyelewengan mandat rakyat untuk kepentingan bisnis.
Keenam, berkembangnya etika berbisnis yang sehat, terutama pengusaha yang menjadi pejabat publik harus mempunyai mental baja untuk tidak tergoda menyalahgunakan kekuasaannya untuk membangun imperium bisnisnya.
Dalam konteks kekinian, persyaratan itu masih jauh dari harapan karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, atmosfer politik di Indonesia didominasi ideologi pragmatisme yang mengakibatkan jagat perpolitikan nasional keruh dengan perebutan kepentingan politik. Akibatnya, dalam mewujudkan ambisi kekuasaan, para elite politik melakukan dengan segala cara sehingga demokrasi yang memang baru sampai pada tataran procedural sulit berkembang menjadi demokrasi substansial.
Kedua, hukum dan perundang-undangan masih merupakan produk politik kepentingan sempit dan sesaat. Sementara itu, lembaga peradilan oleh banyak kalangan diibaratkan lebih mirip tempat lelang perkara daripada tempat untuk mencari keadilan.
Ketiga, birokrasi yang korup dan parasitik telah menjadi medan pertarungan politik partai-partai politik untuk menjadi sarana akses terhadap kekayaan negara.
Keempat, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat masih sekadar broker politik yang memberlakukan politik sebagai dagangan yang dapat diperjualbelikan untuk kepentingan yang sangat subyektif.
Mencermati kenyataan tersebut, bilamana karakter pragmatis yang melekat pada pengusaha bersinergi dengan iklim politik yang pragmatis, dikhawatirkan akan semakin menjauhkan elite dengan masyarakatnya. Akibatnya, demokrasi bagi rakyat hanya sekadar seremoni politik yang tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna.
Peradaban dan kematangan berpolitik rakyat yang ditunjukkan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung selama dua tahun (2005-2006) sebanyak lebih dari 260 kali, tanpa ada kerusuhan yang berarti, akan menjadi bumerang bagi perkembangan demokrasi kalau para elite dan penguasa negara tidak dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Rakyat yang telah mematuhi segala aturan main dan sabar menunggu kebijakan konkret dari para elitenya dapat menjadi apatis dan kehilangan kesabaran. Mereka dikhawatirkan tidak percaya lagi kepada proses demokrasi dan mencari alternatif lain sesuai dengan kebutuhan mendasar mereka yang mendesak. Kelelahan masyarakat makin meningkat kalau mengetahui bahwa elite lebih mementingkan diri sendiri daripada memikirkan rakyatnya. Hal ini antara lain tercermin dalam APBD; sekitar 90 persen APBD provinsi dan kabupaten/kota, anggaran rutin jauh lebih besar dengan anggaran pembangunannya.
Sementara itu, isu cukup dominan di kalangan pimpinan lembaga perwakilan di daerah adalah terjadinya perbedaan mencolok antara fasilitas yang diperoleh mereka dan mitra kerjanya (eksekutif). Mereka lupa sebagian besar rakyat masih sulit untuk makan tiga kali sehari.
Dalam konteks kehidupan politik semacam itu terlalu berharap tampilnya pengusaha menjadi penguasa yang mempunyai kemampuan dan daya tahan terhadap godaan untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan hanya mencurahkan perhatian untuk melayani publik sangat sulit diharapkan. Fungsi ganda pengusaha merangkap sebagai penguasa tanpa disertai dengan beberapa persyaratan sebagaimana disebutkan di atas justru dikhawatirkan akan menjadikan demokrasi hanya sekadar alat pemilik modal untuk berkuasa dan menumpuk kapital yang lebih besar lagi.
Kombinasi itu akan memproduksi pelaku politik yang haus kekuasaan, dan oleh sebab itu akan menyedot kekayaan negara guna membangun imperium bisnis bagi kelompoknya. Skenario akan semakin buruk kalau akumulasi kapital juga melibatkan sumber yang berasal proses pencucian uang, perdagangan narkoba dan sejenisnya, elite politik dan penguasa pasti akan dikendalikan oleh mafia atau kekuatan yang menjadi sumber atau asal-usul kapital tersebut.
Selain itu menghindarkan konflik kepentingan antara dunia usaha dan dunia pengabdian sebagai pejabat publik (penguasa) sangat sulit. Contohnya, kasus Lapindo Brantas dapat dijadikan pelajaran yang baik. Meluapnya lumpur selama berbulan-bulan dan membuat rakyat kecil seakan-akan dunia sudah kiamat, tetapi tokoh yang dianggap bertanggung jawab memberikan kesan lari dari tanggung jawab sebagaimana diungkapkan dalam majalah Tempo edisi 27 November-3 Desember 2006.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 28 November 2006.