Oleh : J Kristiadi
HAMPIR dapat dipastikan, setiap ada kongres, muktamar, munas, dan sejenisnya, yang menjadi isu sentral adalah siapakah yang bakal duduk dalam kepengurusan, terutama siapa yang menjadi pucuk pimpinan organisasi.
Agenda lain yang mestinya lebih diutamakan, seperti bagaimana organisasi dapat lebih bermanfaat untuk anggota atau masyarakat luas, jarang mendapat perhatian dalam forum-forum itu. Agenda-agenda itu tenggelam dalam pertarungan memperebutkan kedudukan dan posisi dalam organisasi. Dan hampir pasti, permainan uang menjadi bagian tak terpisahkan dari proses tawar-menawar dan tarik-menarik untuk mendapatkan kedudukan. Fenomena itu menunjukkan, memperebutkan kedudukan dianggap lebih penting daripada menyusun strategi untuk mewujudkan tujuan organisasi demi kepentingan anggota.
Aneka peristiwa seperti itu-yang hampir menjadi kebiasaan dan tidak mencerminkan kepekaan pengurus terhadap kepentingan anggota- tampaknya juga akan muncul pada Musyawarah Nasional (Munas) Ke-7 Partai Golkar, 15-19 Desember di Bali. Forum yang seharusnya menjadi kesempatan emas bagi elite dan anggota untuk melakukan refleksi, kontemplasi, dan konsolidas agar Golkar dapat menjadi partai modern yang demokratis, tenggelam dalam kasak-kusuk pemilihan ketua umum. Forum yang menghadirkan ratusan pengurus dan simpatisan direduksi sebagai medan pertarungan elite guna mengegoalkan calon masing-masing.
***
PADAHAL, bertemunya pengurus, dari tingkat kabupaten/kota hingga dewan pimpinan pusat ditambah organisasi pendukung dan organisasi sayap, seharus lebih memusatkan agenda penting sebagai berikut. Bagaimana Golkar melakukan transformasi politik dari partai yang pernah sekadar alat politik rezim otoriter menjadi partai modern. Artinya, partai yang tidak saja membangun struktur organisasi yang canggih dan menyusun prosedur yang rapi dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga mempunyai perangkat aturan yang demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Agenda penting lain adalah mendidik kader-kader partai yang meyakini nilai-nilai demokrasi dalam menjalankan roda organisasi. Singkatnya, Partai Golkar, seperti partai-partai lain sebagai salah satu pilar demokrasi, harus mengagendakan proses demokratisasi internal dalam munas yang saat ini sedang berlangsung.
Namun, tampaknya harapan itu akan terhambat upaya kelompok sekitar ketua umum yang akan mencoba mempertahankan tokohnya tetap dalam kedudukan. Senjata yang dianggap ampuh untuk mempertahankan kekuasaan adalah dua ketentuan dalam AD/ART. Pertama, calon ketua umum harus pernah menjadi pengurus Golkar (Partai Golkar) selama lima tahun. Kedua, hak suara dalam proses pemilihan ketua umum hanya dibatasi kepada DPP (satu suara), masing-masing DPD provinsi satu suara (33 suara), satu suara lagi untuk organisasi pendukung, dan satu suara lagi bagi organisasi sayap. Jadi jumlahnya hanya 36 suara. Suatu jumlah yang amat sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota Partai Golkar yang mungkin jutaan dan konstituen yang puluhan juta jumlahnya. Harga dan pameran ketidakpantasan itu dipersembahkan kepada seorang ketua umum yang akan dipertahankan kedudukannya oleh kelompoknya.
Upaya seperti itu jelas rekayasa pemaksaan kehendak yang akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Sebab, jika kelompok yang ingin memaksakan ketua umum (Akbar Tandjung) bersedia secara sadar melakukan sedikit permenungan, sebenarnya amat mudah ditemukan tanda-tanda zaman yang dapat membantu membuka mata hati bahwa bersikukuh mempertahankan Akbar bukan tindakan bijaksana. Tanda pertama adalah kekalahan Akbar di kandang sendiri oleh Jenderal (Purn) Wiranto dalam Konvensi Nasional Partai Golkar beberapa bulan lalu. Kekalahan yang pahit dan menyakitkan, tetapi jika dicerna, ia adalah obat yang dapat menyembuhkan penyakit oligarki dalam tubuh Partai Golkar. Kekalahan Akbar menunjukkan barisan Partai Golkar pada tingkat grassroot tidak menghendaki ia menjadi calon presiden Partai Golkar.
Tanda berikutnya, kegagalan Koalisi Kebangsaan yang dipimpin Akbar untuk memenangkan Mega-Hasyim pada pemilu presiden Oktober lalu. Sebagai ketua umum, perintahnya tidak mendapat respons memadai di tingkat akar rumput. Kedua indikasi itu menujukkan, kepemimpinan Akbar sudah tidak menjangkau basis terbawah Partai Golkar.
***
MENGACU pada kedua peristiwa itu, seharusnya agenda ke depan Partai Golkar yang amat penting adalah melakukan proses demokratisasi internal partai dan jangan terjebak isu-isu sekitar ketua umum. Artinya, kedaulatan partai harus di tangan anggota atau mereka yang secara demokratis dipilih mewakili konstituen. Dalam konteks penyelenggaraan munas kali ini, yang dapat dilakukan adalah memberikan hak suara kepada pengurus Partai Golkar daerah tingkat II (kabupaten/kota). Sebab, pada level inilah sebenarnya kekuatan partai Golkar bersandar. Mereka adalah tokoh-tokoh daerah yang paling mengerti aspirasi dan kepentingan konstituennya. Hal itu amat pantas diberikan mengingat pada Munas Luar Biasa Golkar 1998 institusi itu telah menjanjikan, Munas Golkar berikut, dewan pimpinan tingkat kabupaten/kota akan diberi hak suara.
Sementara itu, mempertahankan AD/ART dengan membatasi hanya mereka yang pernah menjadi pengurus selama lima tahun adalah kurang adil. Seolah-olah Golkar hanya besar karena pengurus sendiri. Semua tahu, Golkar menjadi besar karena dukungan dari jalur A (militer) dan jalur B (beringin-birokrat) dalam setiap pemilu. Karena itu, Golkar G (huruf besar) dan golkar g (huruf kecil) harus dibedakan dengan jelas. Golkar huruf besar (G) adalah organisasi terdiri dari jalur A, B dan G. Sementara golkar dengan huruf g kecil adalah organisasi yang menjadi alat legitimasi kedua jalur yang lain. Karena itu, jika mau dianggap adil, seharusnya mereka yang pernah menjadi petinggi di jalur A dan B harus diberi kesempatan. Mereka itu elemen-elemen yang benar-benar telah membesarkan Golkar karena mempunyai kekuasaan untuk memaksa rakyat memilih organisasi itu dalam setiap pemilu.
Jika pada munas kali ini Partai Golkar tidak bersedia melakukan proses demokratisasi, artinya hanya akan memperpanjang paradoks politik berikut: proses pemilu yang berjalan relatif cukup baik, bahkan mendapatkan pujian banyak kalangan dalam maupun luar negeri, tetapi hasil dari proses itu justru menghasilkan aktor-aktor atau elite politik yang perilakunya amat jauh dari harapan masyarakat. Hal itu menunjukkan, lembaga politik, yaitu partai politik, institusi yang memproduksi aktor atau elite politik tidak melakukan perekrutan sesuai standar dan kualitas minimal yang diperlukan bagi lembaga- lembaga di mana mereka akan ditempatkan.
Namun akhirnya, semua itu terserah kepada peserta munas. Apakah mereka akan menjadikan Golkar partai modern, partai besar, partai pejuang demokrasi, dan partai yang mempunyai komitmen kepada nasib rakyat. Atau sebaliknya, akan menjadikan Partai Golkar fosil yang akan lapuk dan ditinggalkan pemilih dan masyarakat umumnnya. Mudah- mudahan sebagian besar peserta munas memilih alternatif pertama.
Selamat bermusyawarah nasional.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 15 Desember 2004.