WARTABUANA – Rumah Demokrasi, menyelenggarakan survei nasional dalam rangka mengukur kinerja pemerintah, memotret perilaku pemilih dan mengukur kualitas demokrasi di Indonesia. Survei juga dalam rangka mengukur elektabilitas Capres-Cawapres Pemilu 2019.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada 19/02/2019 – 01/03/2019 oleh Rumah Demokrasi, dimana saat responden diajukan pertanyaan dengan metode pertanyaan tertutup tentang harga barang pokok, “Apakah harga barang kebutuhan sehari-hari di era pemerintahan Jokowi murah?” sebagain besar responden tidak setuju harga-harga murah di era Pemerintahan Jokowi-JK. Sebanyak 31,30% menyatakan setuju harga murah, 61,11% tidak setuju harga murah, dan 7,59% tidak tahu. Artinya mayoritas publik 61,11% merasa harga-harga mahal di masa Pemerintahan Jokowi-JK.
Kemudian diajukan pertanyaan dengan metode tertutup tentang lapangan pekerjaan, “Apakah Pemerintahan Jokowi-JK berhasil menyelesaikan permasalahan lapangan pekerjaan?” sebagian besar menjawab tidak setuju yaitu 59,04%. Sisanya yaitu 29,05% menjawab setuju, dan 11,90% tidak tahu.
Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 60% masyarakat merasa bahwa harga kebutuhan sehari-hari mahal dan lapangan kerja masih menjadi persoalan. Artinya 60% masyarakat tidak puas dengan pemerintahan Jokowi pada urusan lepangan pekerjaan dan harga kebutuhan pokok.
Yang menarik adalah jawaban atas pertanyaan mengenai pembangunan infrastruktur. Ketika diberikan pertanyaan “Apakah pembangunan infrastruktur di era Jokowi telah menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia?”
Sebagian besar responden menjawab tidak setuju yaitu 62,14%. Sisanya sebanyak 29,15% menyatakan setuju, dan 8,71% tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tidak memberikan efek perubahan ekonomi yang diharapkan publik. Sebagian besar masyarakat masih merasa bahwa pembangunan di era Jokowi tidak menyelesaikan permasalahan.
Dari tiga isu tersebut yaitu tentang persoalan harga kebutuhan pokok, lapangan pekerjaan, dan pembangunan infrastruktur Pemerintahan Jokowi-JK dinilai belum mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Tim Prabowo-Sandi dipastikan akan memaksimalkan strategi grilya baik melalui jalur darat menyapa langsung masyarakat maupun melalui sosial media demi mempertahankan keunggulan elektabilitas yang sudah berselsiih 5%.
Lebih Unggul
Selain mengukur kinerja pmerintah, survei nasional Rumah Demokrasi juga mengukur elektabilitas Capres-Cawapres 2019. Dimana saat responden diajukan pertanyaan dengan metode top of mind “Jika Pilpres dilaksanakan hari ini anda memilih pasangan Capres-Cawapres siapa?”.
Mayoritas reponden menjawab memilih pasangan Capres 02 yaitu Prabowo-Sandiaga Uno sebesar 45,45%, sedangkan yang memilih pasangan Capres 01 Jokowi-Maruf Amin adalah sebesar 40,30% , dan sebanyak 14,25% belum menentukan pilihan. Hasil survei menunjukkan bahwa elektabilitas Prabowo-Sandi saat ini unggul atas Jokowi-Maruf Amin, dengan selisih sekitar 5% dan saat dilakukan survei masih banyak undecided voters, yaitu sebanyak 14,25%.
Survei Nasional Rumah Demokrasi dilaksanakan pada tanggal 19 Februari – 1 Maret 2019. Survei dilaksanakan dengan metode wawancara tatap muka langsung dengan melibatkan sampel responden sebanyak 1.067, tersebarsecara proporsional di 34 Provinsi di Indonesia. Responden adalah penduduk WNI yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2019. Penentuan sampel dilakukan dengan metode multi stage random sampling, dengan margin of error 3,06% pada tingkat kepercayaan 95%. Populasi responden berdasarkan jumlah DPT Pemilu 2019 yaitu sebesar 192.828.520.
Keunggulan Prabowo-Sandi atas Jokowi-Ma’ruf Amin sangat berkaitan erat dengan strategi kampanye. Dibawah komando Jenderal Joko Santoso, strategi kampanye Prabowo-Sandi menggunakan cara grilya yaitu rajin menyapa masyarakat dan menyerap aspirasi publik melalui kegiatan kunjungan ke daerah. Strategi ini memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap peningkatan elektabilitas, bahkan posisi saat ini sudah unggul atas Jokowi-Ma’ruf Amin dengan selisih hampir 5%.
Model kampanye grilya di daerah basis seperti di wilayah Jabar dan Sumut bahkan ke daerah basis lawan seperti Jateng dan Jatim bahkan Bali cukup memberikan efek elektoral bagi pasangan Prabowo-Sandi. Setidaknya, mampu menggerus suara Jokowi-Maruf Amin yang cenderung stagnan di wilayah basis Prabowo-Sandi dan memangkas jarak di basisnya Jokowi-Amin (Jateng).
Kreatifitas kampanye di lapangan seperti kunjungan ke pasar, pesantren, kampus, dan pusat keramaian sering mendapatkan respon positif dan antusiasme masyarakat terhadap pasangan 02, meskipun beberapa kali mendapatkan hadangan dari kelompok lawan dengan meneriakkan dukungan kepada 01.
Strategi kampanye di sosial media juga nampak jelas bahwa tim Prabowo-Sandi selalu mampu menandingi tim Jokow-Amin, perang isu di media sosial terlihat sangat didominasi oleh kelompok tim 02. Tim sosial media 02 hampir selalu unggul tranding topik di twitter. Terbukti pasca debat, meski nampak dalam debat Jokowi unggul, seperti serangan tentang kepemilikan lahan HGU oleh prabowo. Namun, sehari pasca debat justru berubah berbalik men-downgrade Jokowi karena serangan pembuktian data-data melalui sosial media dari tim 02.
Ramdansyah, Direktur Rumah Demokrasi memperediksi bahwa upaya Jokowi-Amin menggunakan strategi offensif dan “perang total” ala Jendral Moldoko, akan dilakukan terus disisa waktu yang ada, guna menarik pemilih rasional yang akan fokus pada program, kinerja dan rekam jejak. Sebaliknya tim Prabowo-Sandi dipastikan akan memaksimalkan strategi grilya baik melalui jalur darat menyapa langsung masyarakat maupun melalui sosial media demi mempertahankan keunggulan elektabilitas yang sudah berselsiih 5%.
Ramdansyah menambahkan, Modal sosial dalam bentuk kepercayaan publik yang sudah terbentuk dari kedua pasangan calon akan terus menarik undecided voters yang saat ini masih 14%, dengan strategi mendegradasi elektabilitas lawan. Sementara itu strategi playing victims juga berpotensi akan dimainkan untuk meng-upgrade (positive campaign) elektabilitas dari kelompoknya. Sementara itu upaya untuk mengikat pemilih sentimentil karena loyalitas etnis, kesukuan, religiusitas, dan agama masih akan terus berlangsung hingga saat pencoblosan 17 April 2019.
Strategi political endorsement dari masing-masing tokoh yang dimiliki kedua pasangan Capres-Cawapres akan turut memberikan efek electoral tentunya. Hingga saat dilakukan survei kedua kubu masih terus berupaya mendapatkan political endorsement melalui caranya masing-masing.
Dari segi kualitas demokrasi, berdasarkan temuan survei bahwa saat ini masih terjadi fenomena pertempuran yang bersifat komunal yang jauh berbeda dengan perilaku pemilih rasional, Crowd atau kerumunan yang trercermin dalam identitas Cebong dan Kampret sebenarnya keduanya berusaha menarik undecided voters menjadi anggota kerumunan. Yaitu dengan cara menggerus modal sosial masing masing kandidat.[]