JAKARTA, WB – Berbicara tanah akan selalu menjadi permasalahan pelik. Terlebih persoalan pertanahan di DKI yang kerap berpolemik, imbasnya tidak terlepas dari tangan mafia tanah yang kerap ikut bermain.
Efeknya berpengaruh banyak keberbagai aspek persoalan hukum. Imbasnya, investor pun `ciut` untuk membangun lahan guna berinvestasi.
Rasa takut dan banyaknya masalah tanah pelik itulah yang ingin diselesaikan oleh Sumanto, selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat. Berbagai ide cemerlang sudah ia terapkan, dijajaran BPN Jakarta Barat.
“Investor saat ini banyak yang takut investasi. Soalnya ia mau bangun tiba-tiba tanahnya digugat, ini menakutkan,” urai Sumanto, saat berbuka puasa bersama Wartawan dibilangan Pondok Indah Jakarta Selatan, belum lama ini.
Menurutnya, persoalan tanah akan mudah diselesaikan jika ada kerja sama lintas sektor seperti kantor kementerian Agraria, MenkumHam, Mendagri, Menku dan Mahkamah Agung selaku benteng hukum.
Ia mengakui, masalah pertanahan warga Jakarta, begitu pelik dan memprihatinkannya. Ia melihat masih banyak tanah milik warga yang belum memiliki sertifikat. Persoalannya jelas, tanahnya yang bersengketa, ditambah proses pengurusan sertifikat yang lama dan berbelit. Bagi dia polanya yang harus dirubah.
“Ini harus diubah, sebetulnya ada cara mudah dan gampang agar persoalan tanah di Indonesia bisa tidak rumit. Itu tadi kerjasama lintas sektor,” ujarnya.
Maksud kerjasama dengan melibatkan berbagai kementerian terkait lanjut Sumanto, adalah adanya peran masing-masing kementerian yang memang harus dilibatkan.
Untuk satu tahapan saja misalnya Mendagri. Peran Mendagri dari sini penting untuk pembukuan data kepemilikan tanah.
“Jadi nanti Mendagri bisa instruksi kan Gubernur, Bupati sampai RT, agar memasang pagar batas tanah masing. Nanti didata dalam pembukuan, lalu BPN datang dan melakukan pengukuran,” ulasnya.
Sumanto meyakini jika hal tersebut diterapkan maka polemik tanah akan segera teratasi. Pembukuan data sangat penting. Bahkan ia optimis jika pendataan itu berjalan, maka cukup tiga tahun saja berbagai persoalan tanah akan teratasi.
“Kalau ini bisa dijalankan, karyawan BPN tidak perlu banyak. Tidak seperti yang sekarang ini.
Ia melanjutkan, adanya peran Mahkamah Agung disini diperlukan sebagai benteng hukum. MA diperlukan untuk menjaga pengadilan, dimana nantinya sudah tidak ada ruang gerak buat pelaku oknum (mafia tanah) yang akan bermain.
“MA disini sebagai benteng hukum. Oknum mau main kemana lagi ? Jadi sudah tidak ada ruang,” tandas Sumanto.[]