KAIRO, Menteri luar negeri (menlu) Mesir dan Yunani menggelar pembicaraan di Kairo pada Minggu (9/10), menyusul penandatanganan kesepakatan eksplorasi gas dan minyak baru-baru ini antara Turki dan Pemerintah Persatuan Nasional Libya.
Menlu Yunani Nikos Dendias mendeskripsikan kesepakatan tersebut sebagai “ancaman bagi stabilitas regional.” Dia menekankan bahwa pencapaian stabilitas di Libya dan kawasan Mediterania Timur merupakan salah satu “tujuan strategis” bagi Yunani maupun Mesir.
Dendias mendesak diadakannya pemilihan umum Libya sesegera mungkin untuk menjaga stabilitas dan integritas teritorial Libya. Dia menambahkan “Yunani mendukung upaya-upaya untuk membuka jalan bagi penyelenggaraan pemilihan presiden dan parlemen di Libya.”
“Pemerintah persatuan di Tripoli yang telah berakhir masa jabatannya tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani nota kesepahaman atau perjanjian internasional apa pun,” kata Menlu Mesir Sameh Shoukry, seraya menambahkan bahwa Pemerintah Persatuan Nasional Libya dibentuk melalui peta jalan yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Forum Dialog Politik Libya dengan masa jabatan dan misi khusus untuk menyelenggarakan pemilihan presiden dan parlemen Libya pada 24 Desember 2021, dan pemerintah tersebut gagal menunaikan misi itu.
Libya terbelah menjadi dua pemerintah tandingan sejak Maret tahun ini, ketika Dewan Perwakilan Rakyat, atau parlemen, yang berbasis di Libya timur menunjuk Fathi Bashagha sebagai perdana menteri, sementara Perdana Menteri Abdul-Hamed Dbeibah yang berbasis di Tripoli menolak mundur dari posisinya dengan mengatakan bahwa dirinya hanya akan menyerahkan jabatannya kepada pemerintahan terpilih.
Pemerintahan Dbeibah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Turki sebelumnya pada bulan ini yang mengizinkan Turki melakukan eksplorasi ladang minyak dan gas di sejumlah area di Mediterania Timur, yang oleh Yunani diklaim sebagai wilayah kedaulatannya.
Libya mengalami kekacauan dan instabilitas politik sejak jatuhnya rezim mendiang pemimpinnya, Muammar Gaddafi, pada 2011.
Diproduksi oleh Xinhua Global Service