WARTABUANA – Di era digitalisasi, industri seni turut terpapar dengan beragam inovasi teknologi yang membuat pelakunya semakin tertantang untuk bereksperimen dengan karya. Sayangnya, tidak banyak ruang bagi para seniman progresif untuk bisa memamerkan karya mereka yang berbasis teknologi digital dan tetap diapresiasi sebagai sebuah bentuk seni. Berbagai festival seni media baru atau multimedia berskala besar masih kerap ditemui di Eropa, Amerika Serikat, atau Tokyo.
Namun kini geliat seni media baru di Indonesia semakin hidup dengan adanya inspirasi dari Wave of Tomorrow. Festival seni, teknologi, dan musik, terbesar di Indonesia tersebut baru saja mengumumkan daftar para seniman dan musisi yang terlibat serta informasi penyelenggaraannya pada 20-29 December 2019 di The Tribrata, Dharmawangsa, Adapun sederet kreator yang terlibat yaitu Rubi Roesli, Sembilan Matahari, Kinara Dharma x Modulight, Maika, U Visual, Ricky Janitra, Motionbeast, Notanlab, Farhanaz Rupaidha, dan beberapa international artists yaitu Nonotak, Tundra, Ouchhh, dan Jakob Steensen.
Mona Liem, seorang artpreneur dan curator Indonesia yang berdomisili di Swiss, merupakan figur di balik penentuan line up kreator dan turut andil dalam merancang konsep Wave of Tomorrow. Di tengah persiapannya untuk Wave of Tomorrow, Mona membeberkan bahwa festival yang memasuki tahun kedua tersebut akan membawa berbagai transformasi karya dari para kreator progresif.
“Publik mungkin sudah mendengar bahwa Wave of Tomorrow akan hadir kembali. Namun yang mungkin mereka belum benar-benar tahu, bahwa Wave of Tomorrow kali ini akan semakin interaktif dengan berbagai karya multidisiplin yang ahead of its time. Bahwa kami memilih para kreator yang terlibat berdasarkan progress mereka. Contohnya Sembilan Matahari, dari yang tadinya dikenal sebagai visual mapping artists, kini bereksplorasi dengan instalasi kinetik dan robot. Lalu Kinara Dharma yang tahun lalu menghadirkan visual mapping interaktif, kini akan membangun sebuah instalasi audio visual dengan eksperimen sosial,” jelas Mona.
Lebih lanjut ia juga menerangkan bahwa demi menghadirkan sebuah pengalaman yang unik dan penuh transformasi, Mona tidak hanya menantang para kreator tanah air untuk bereksperimen. Namun ia turut membawa award-winning artists dengan karya fenomenal yang menginspirasi.
Permainan Audiovisual
Instalasi audiovisual mungkin akan banyak ditemui di area eksibisi Wave of Tomorrow. Namun sebuah kolektif multidisiplin asal Rusia, Tundra, mampu mengisi lanskap ruang berskala besar dengan teknik audiovisual yang dimainkan di hamparan rumput sintesis. Karya bertajuk ‘The Day We Left Field’ tersebut kini sedang ditampilkan di Prosvet Festival, Rusia dan Manhattan, New York. Namun dengan adanya Wave of Tomorrow, para insan kreatif tanah air bisa menikmati karya teranyar dari Tundra tersebut tanpa harus berkunjung jauh.
Tundra yang pernah mengantongi Event of The Year Award 2018 di Moscow, sebelumnya banyak bermain dengan audiovisual projection yang ditampilkan secara langsung seperti NOMAD Live di Roma, Moscow, Augsburg, dan London. Melalui karya ‘The Day We Left Field’, kolektif yang terdiri dari visual artist, programmer, musisi, dan sound engineer tersebut, seakan ingin menyisipkan pesan mendalam melalui pengalaman audiovisual yang lebih intens. Mereka ingin membuat para pengunjung larut dan mampu berlama-lama berada di dalam instalasi tersebut serta menantang realita dengan imajinasi, melalui harmonisasi alam yang dibawa ke dalam lanskap urban.
Artificial Intelligence
Di antara 14 karya ahead of its time yang akan mengisi Wave of Tomorrow, akan terdapat sebuah masterpiece yang mengisi area tengah eksibisi. Karya tersebut bertajuk ‘Data Gate’ dari studio kreatif asal Istanbul, Ouchhh, yang merupakan 360° visual projection pada sebuah kubus raksasa dengan konten yang divisualisasikan melalui artificial intelligence atas data kepler hasil riset NASA. Permainan AI tersebut merupakan karya seni publik pertama yang menggunakan data astronomi NASA bahkan mampu menjuarai Muse Creative Award USA 2019.
Melalui ‘Data Gate’, Ouchhh kembali membuktikan kemampuan mereka dalam menyatukan seni, teknologi, dan sains. Mereka ingin membuat publik berkontemplasi melalui ‘Data Gate’ yang seakan mampu membuka gerbang antar galaksi dan melihat fenomena astronomi secara intens. Penyajian data yang seakan saling berinteraksi bahkan dengan pengunjung, merupakan keutamaan dari karya-karya terbaru Ouchhh. Sehingga Ouchhh yang sebelumnya mengawali karir sebagai visual mapping artist kini sukses membawa berbagai karya mereka ke publik internasional dan diakui sebagai sebuah eksibisi AI terbesar di dunia melalui Iconic Award Paris 2019 dan Reddot Award Jerman 2019.[]