WARTABUANA – Proses hukum sengketa merek antara produk cairan anti karat WD40 dan Get All 40 yang sudah berjalan lebih dari satu tahun masih berlanjut. Pihak Get All 40 akan lakukan Kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Majelis Hakim PN Niaga Jakarta Pusat yang dianggap tidak menerapkan prinsip keadilan dan terkesan sembrono.
Perseteruan itu dimulai sejak tahun 2015 ketika WD40 mengajukan gugatan pembatalan sertifikat Get All 40 hingga tingkat Mahkamah Agung (MA). Namun Get All 40 berhasil mengambil kembali haknya melalui Komisi Banding Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan memanfaatkan diterbitkannya PP 10 tahun 2019, tentang Tata Cara Banding Merek di HAKI.
Setelah mendapatkan kembali sertifikat, pada 18 Agustus 2020, Benny Bong selaku pemilik merek dagang Get All 40 menggugat ganti rugi kepada WD40.
Persidanga gugatan dimasukan tanggal 6 Agustus 2021. Namun pada tanggal 5 Januari 2021, pihak WD40 melalui kuasa hukumnya Hadiputranto, Hadinoto & Partner (HHP) melakukan gugatan balik pembatalan sertifikat Get All 40 seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.
Lalu Majelis Hakim mengabulkan gugatan WD40 dengan putusan Nomor 03/Pdt.Sus-Merek/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst pada 25 Agustus 2021. Namun putusan dari Majelis Hakim yang dipimpin Dulhusin,S.H,M.H itu dianggap cacat hukum karena kekurangan para pihak, sembrono dan tidak berdasarkan prinsip keadilan.
Benny Bong selaku pemilik merek dagang Get All 40 merasa putusan sidang itu telah mencederai hukum dan prosesnya tidak berdasarkan prinsip keadilan, “Semua pembelaan yang kami sampaikan tidak dijadikan pertimbangan. Majelis Hakim hanya mengacu kepada dalil-dalil yang disampaikan pihak penggugat,” ungkap Benny Bong kepada sejumlah awak media pada Senin (6/9/2021).
Sedangkan keterangan saksi ahli Dr. Suyud Margono, SH., MHum., FCIArb. yang menyebut tidak ada kesamaan pada pokoknya diabaikan oleh Majelis Hakim “Pak Suyud ini orang yang paling ahli dalam bidang merek. Tapi keterangannya tidak dijadikan bahan pertimbangan,” ujar Benny Bong yang menduga ada ‘permainan’ dibalik putusan itu.
Benny Bong sangat menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang tidak berpihak kepada pengusaha lokal yang susah payah menciptakan produk dalam negeri untuk bisa bersaing dengan produk impor. “Bahkan Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan agar kita mencintai produk dalam negeri,” katanya.
Hal senada disampaikan Chandra Suwono, pengusaha sekaligus Ketua Koperasi Pasar HWI Lintedeves. Menurutnya, telah terjadi ketidak adilan dan pendzoliman terhadap pengusaha lokal,serta mempermainkan hukum di Indonesia oleh pengusaha asing, karena majelis hakim beropini bahwa WD40 ini adalah perusahaan besar, terdaftar di seluruh dunia.
“Tapi seyogyanya, kita mengacu kepada hukum di Indonesia. Produk Indonesia harus didukung oleh semua masyarakat Indonesia, termasuk aparat penegak hukum. Presiden sendiri mendukung produk dalam negeri,” kata Chandra.
Chandra menduga ada kekuatan besar yang sengaja melakukan upaya dengan segala cara untuk mempermainkan hukum di Indonesia dan berusaha mematikan produksi dalam negeri. “Seharusnya Get All 40 sebagai poduk dalam negeri kita dukung sehingga bisa berkompetisi dalam dunia global,” ujar Chandra.
Dengan tidak adanya kepastian hukum, menurut Chandra akan membuat dunia usaha, khususnya produksi dalam negeri akan terkatung-katung, karena diserang oleh pihak luar negeri yang besar.
Dari keputusan itu kita patut menduga telah terjadi perselingkuhan hukum. Selain melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, saya juga akan mengadu ke Komisi III DPR, Komisi Yudisial, dan KPK untuk mengawasi proses hukum selanjutnya tegas Chandra.
Sebagai Kuasa Hukum Get All 40, Djamhur, S.H memiliki banyak catatan yang akan dituangkan dalam memori kasasi nanti. Ada beberapa point penting yang melemahkan putusan tersebut seperti kurangnya para pihak dan keabsahan legal standing.
Menurut Djamhur, dalam pertimbangannya terkait kurang pihak Majelis Hakim mengatakan itu adalah hak inisiatif penggugat untuk menentukan siapa-siapa pihak yang akan digugat sesuai yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 546K/Sip/1970 yang dikeluarkan tanggal 28 Oktober 1970.
“Ternyata setelah saya cek, Keputusan Mahkaman Agung No. 546 itu bukan menyangkut pihak yang digugat, putusan itu hanya untuk sengketa penjualan karet antara Eka Nasrun Direktur Utama PT Bintang Jaya Raya dengan pemimpin Bank BNI Cabang Kota. Itu tidak ada hubungannya dengan perkara ini. Berarti ini Majelis Hakim ‘asal tembak’, seolah-olah kami dikelabui dan dibodohi,” ungkap Djamhur.
Djamhur heran, mengapa beberapa yurisprudensi terkait sengketa merek yang dia ajukan dibaikan, tetapi Majelis Hakim malah menggunakan yurisprudensi yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang diputuskan.
“Seharusnya Komisi Banding dilibatkan sebagai tergugat karena yang dipersoalkan adalah sertifikat yang dikeluarkan Komisi Banding. Padahal setiap keputusan Komisi Banding biasanya digugat di Pengadilan Niaga,” jelas Djamhur.
Djamhur juga menyoroti keputusan Majelis Hakim yang tidak mempertimbangkan pendapat saksi ahli yang menyebut tidak ada kesamaan pada pokoknya antara WD40 dan Get All 40.
Menurut Djamhur, pihaknya juga telah mengajukan eksepsi terkait Legal Standing kuasa hukum penggugat karena paspornya prinsipal penggugat hanya dalam bentuk foto copy yang dilegalisir KBRI setempat , bukan dokumen asli.
“Legalisir KBRI setempat itu hanya sebatas cap dan tanda tangan, tetapi bukan mengenai isi. Dalam putusan hakim tertuang keterangan, tanda tangan yang ada pada dokumen itu dibenarkan oleh Konsulat Jenderal RI. Nah, kata-kata ‘dibenarkan’ itu tidak bisa dibuktikan. Itu hanya asumsi Majelis Hakim saja, bukan berdasarkan bukti surat,” papar Djamhur yang berharap Mahkamah Agung akan mempertimbangkan kasasinya denga bijak dan berkeadilan. []