WARTABUANA – Daftar 100 buku yang mewarnai Indonesia sejak era Kolonial sudah dirilis oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena ketika menyambut Sumpah Pemuda, Oktober 2021 lalu.
Kini enam buku dari serial 100 buku pilihan itu diluncurkan di Jakarta, 16 Desember 2021. Enam buku itu: Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Salah Asuhan (Abdul Muis), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar) dan Atheis (Achdiyat K Mihardja).
Denny JA selaku ketua umum Satupena menyatakan. Ia terinspirasi dengan kerja Library of Congres di Amerika Serikat yang menerbitkan kembali 88 buku yang membentuk Amerika Serikat. Ia juga terilhami oleh daftar 100 western canon books: daftar 100 buku yang mewarnai sejarah dunia barat.
Indonesia perlu memiliki versinya sendiri atas 100 buku yang mewarnai Indonesia sejak era kolonial.
Di samping peluncuran 6 buku serial 100 buku pilihan itu, Satupena juga meluncurkan buku perdana Print on Demand karya Dr. Satrio Arismunandar: Prilaku Korupsi Elit Politik Indonesia.
Denny JA mengutip Umberto Eco. Ia seorang novelis dari Italia. Novelnya yang terkemuka berjudul: in The Name of The Rose.
Umberco menyatakan. Buku yang bagus itu adalah buku yang dibaca. Sebagus apapun sebuah buku, jika Ia tak dibaca, bagusnya tak diketahui.
Umberco menyatakan ini karena Ia prihatin. Ia melihat semakin menurunnya minat membaca buku di negaranya. Percuma buku yang bagus, jika semakin tak dibaca.
Inilah yang menjadi latar belakang mengapa kita menerbitkan kembali buku- buku bagus dalam sejarah indonesia, ujar Denny.
Jika buku bagus itu tak lagi dibaca, bahkan publik tak lagi memiliki akses pada buku itu, seperti dikatakan Umberco, bagus buku itu tak terasa, lanjut Denny.
Riset yang dilakukan tim Satupena sudah memilih 100 Buku Pilihan Yang Mewarnai Indonesia Sejak Era Kolonial. Buku paling tua yang dipilih terbit di tahun 1920: 100 tahun yang lalu.
Denny juga mengutip hasil riset bahwa buku semakin tak dibaca. Itulah data tak hanya di banyak negara. Juga data di indonesia.
Riset dari National Endowment di Amerika Serikat. Bahkan sejak tahun 2012, penduduk di sana setahun itu sempat membaca satu buku saja, menurun hingga di bawah 50 persen.
Bahkan di AS, yang negaranya sangat maju, yang sempat membaca satu buku saja dalam setahun merosot hingga minoritas.
LSI Denny JA baru saja menyelesaikan survei nasional bulan November 2021. Juga ditemukan data.
Di Indonesia yg sempat membaca buku satu buku saja dalam waktu setahun itu hanya 24 persen.
Yang sempat membaca buku sastra hanya satu buku saja dalam waktu setahun: 12.8 persen.
Tapi ujar Denny, buku adalah harta karun budaya. Walau yang membaca buku bertambah sedikit, tapi buku yang bagus harus tetap diupayakan mudah diakses oleh siapapun yang mencarinya.
Tujuh buku ini diluncurkan Satupena dalam acara yang unik. Yaitu diskusi buku dan live music. Ujar Denny, kita mentradisikan diskusi buku yang berat sekalipun dalam suasana santai. Tradisi book and live music akan terus dilakukan Satupena.()