JAKARTA, WB – Rakyat Indonesia patut berbangga dengan langkah cepat dari pemerintah dalam melakukan kordinasi pembebasan Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok milisi Filipina Abu Sayyaf. Semua yang berpartisipasi patut mendapat penghargaan dan acungan jempol.
“Yang perlu dipikirkan kedepan adalah bagaimana implementasi pertemuan yang diinisiasi Presiden Jokowi, mengundang Menlu dan Panglima AB Filipina dan Malaysia. untuk merundingkan langkah pengamanan jalur ekonomi di kawasan kepulauan Sulu tersebut. Dengan langkah tersebut Indonesia memang pantas disebut sebagai Big Brother,” demikian kesimpulan Analisis Intelijen Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Jakarta, Jumat (13/5).
Pembajakan terhadap sepuluh WNI terhadap kapal berbendera Indonesia oleh Abu Sayyaf pada 26 Maret 2016 dinilai dari beberapa kasus adalah aksi terorisme dengan motivasi kriminal. Pembajak yang dikenal sebagai teroris Abu Sayyaf menuntut uang tebusan sebesar 50 Juta Peso. Melalui semacam operasi gabungan (diplomasi total), ke-10 WNI tersebut telah berhasil dibebaskan pada hari Minggu (1/5/2016). Pembajakan kapal tugboat kedua oleh Abu Sayyaf terjadi pada hari Jumat, 1 April 2016 dengan korban kapal berbendera Malaysia, MV Massiv. Empat WN Malaysia di culik, sementara empat awak lainnya terdiri dari WN Indonesia dan Myanmar dilepas.
Pada hari Jumat (15/4/2016) kembali terjadi pembajakan tugboat TB Henry berbendera Indonesia, pembajak menculik empat awak kapal, menembak satu diantaranya dan membebaskan enam lainnya. Melalui operasi senyap dimana informasi kulit hanya menyebutkan keterlibatan negosiasi tokoh utama MNLF Nur Misuari, pada Rabu dini hari (11/5/2016) keempat awak kapal tersebut telah berhasil dibebaskan. Presiden Jokowi sendiri yang mengumumkan berhasilnya pembebasan sebagai kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Filipina. Hanya sayang dalam statement di media elektronik, Presiden Jokowi menyebutkan 4 WNI tersebut disandera sejak 15 Maret 2016, sedangkan yang benar adalah sejak 15 April 2016.
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi mengatakan bahwa keempat orang tersebut sudah berada pada otoritas Filipina di RS Militer kepulauan Sulu. Retno menyatakan telah melakukan komunikasi dengan tim di lapangan sejak Rabu pagi dan saat ini Panglima TNI sedang membahas bagaimana memulangkan para sandera.
“Soal pelaku menjadi tidak penting, fokus adalah empat WNI dapat dibebaskan dalam kondisi selamat dan bahwa keempatnya sudah bisa dilepaskan. Posisi masih dengan otoritas Filipina, tetapi tim indonesia sudah ada di sana,” katanya.
Dikatakan juga bahwa pemulangan keempat WNI akan dilakukan secepatnya. “Secepatnya akan dipulangkan. Akan dilakukan dengan prosedur secara biasa”, katanya. Prestasi Pemerintah Indonesia Yang Membanggakan Pembebasan para sandera dari tangan kelompok Abu Sayyaf jelas bukan sebuah perkara yang mudah. Setelah dapat dibebaskannya 10 WNI pada tanggal 1 Mei 2016 (sekitar 36 hari), empat WNI lain yang disandera dapat dibebaskan pada 11 Mei 2016 (sekitar 28 hari). Operasi pembebasan 10 WNI yang disandera merupakan pengalaman kedua upaya pembebasan setelah pembajakan pertama di Filipina dan pembebasan empat WNI adalah pengalaman ketiga.
Kronologis kasus pembajakan pertama; Pada tanggal 30 Maret 2005, kapal Bonggaya 91 berbendera Indonesia telah dibajak saat tengah berlayar di kawasan Sandakan. Kelompok Abu Sayyaf di Mindanao menyergap kapal dan menyandera mereka di kawasan Tawi Tawi, Filipina Selatan. Tiga ABK itu adalah Achmad Resmiadi (Kapten), Erikson Hutagaol, (Klasi), dan Yamin Labuso (Klasi). Sementara empat ABK lainnya dilepas dan melaporkan peristiwa ini ke Balai Polis Sandakan pada 31 Maret 2005. Para penculik minta tebusan kepada pemerintah Indonesia sebesar 790 ribu dolar AS. Para penculik juga minta kiriman obat-obatan. Pemerintah Indonesia pun berkoordinasi dengan Filipina. Lewat kontak senjata antara tentara Filipina dengan penculik, pada tanggal 12 Juni 2005 dua sandera, Yamin Labaso dan Erikson Hutagaol berhasil dibebaskan.
“Tapi dua agen mereka dibunuh,” kata Benny Mamoto anggota Polri sebagai negosiator. Dalam sebuah operasi militer Filipina, tanggal 9 September 2005 Resmiadi dapat dibebaskan. Menurut Benny, waktu dari penyanderaan sampai dengan operasi militer itu (memakan waktu) tiga bulan.
Pada pembebasan penyanderaan kedua terhadap sepuluh WNI, apabila dihitung tercatat butuh waktu sekitar 36 hari untuk membebaskannya. Yang jelas, walau tidak diungkap dengan transparan, diplomasi pemerintah serta negosiasi mereka yang langsung terlibat di lapangan sangat berperan erat untuk membebaskan sandera. Memang pemerintah tegas menyatakan tidak membayar uang tebusan, hanya memfasilitasi keamanan team dan melindungi terhadap aturan pelibatan serta hukum di Filipina. Penyandera 10 WNI adalah kelompok Abu Sayyaf dari faksi pemimpin senior Alhabsy Misaya dan Uddon Hassim. Disebutkan sebanyak lima belas anggota kelompok bersenjata Abu Sayyaf membawa 10 WNI memakai speedboat menuju kota pesisir Kalingalan Caluang Sulu pada Minggu (26/3/2016).
Memang disebut upaya serta peran dari Yayasan Sukma dari Media Group dengan ujung tombak Achmad Baedowi (Rauf) serta peran dari negosiator pemilik Kapal (PT Patria Maritime Line) yang mempercayakan kepada Mayor Jenderal Purn Kivlan Zein. Dalam upayanya Kivlan meminta bantuan kepada tokoh utama MNLF (Moro National Liberation Front / Front Organisasi Liberal Bangsa Moro). MNLF adalah organisasi Bangsa Moro yang dipersenjatai yang berjuang bagi kemerdekaan Bangsa Moro dan tanah air mereka, yakni Mindanao, Sulu, dan Palawan yang dikenal sebagai MinSuPala.
Pembebasan penyanderaan ketiga yang semula diperkirakan akan lebih sulit dan rawan, ternyata selesai dalam waktu lebih pendek, sekitar 28 hari. Penyandera empat WNI tersebut diperkirakan faksi Abu Sayyaf di Barangai Indaan, Pulau Jolo (wilayah kekuasaan Alden Bagade). Setelah melalui negosiasi, keempat WNI tersebut dipindahkan ke kepulauan Sulu, khususnya ke wilayah MNLF (kekuasaan Nur Misuari). Nah, dari tiga operasi penyelamatan sandera, dua langkah terakhir dinilai jauh lebih cepat dibandingkan penyelamatan pertama yang mengandalkan operasi tempur militer Filipina. Dari beberapa operasi penyelamatan beberapa sandera akhirnya tewas tertembak.
Langkah Pembebasan Yang Perlu Ditiru Beberapa negara yang warganya di sandera oleh Abu Sayyaf mengalami kesulitan dalam menyelamatkan nyawanya. Abu Sayyaf bisa menahan seseorang berbulan-bulan dalam keadaan tersiksa, hidup di hutan dan makan seadanya. Beberapa yang tidak membayar kemudian dipenggal kepalanya, seperti warga Malaysia, Filipina dan terakhir Canada. Jelas negara-negara itu tidak bisa hanya mengandalkan pembebasan dari pemerintah Filipina semata,karena militer hanya fokus menyerang teroris. Umumnya menyatakan bahwa pembebasan adalah urusan polisi. Juru bicara Komando Mindanao Barat, Mayor Filemon Tan Jr, membantah mengetahui cara soal pembebasan 10 sandera Indonesia dari Abu Sayyaf. ”Perhatian kami telah difokuskan pada operasi militer yang sedang berlangsung,” katanya, seperti dilansir Inquirer, Selasa (3/5/2016).
Kepala Polisi Mindanao Barat, Miguel Antonio, juga tidak tahu tentang negosiasi rahasia MNLF dengan Abu Sayyaf hingga akhirnya sepuluh WNI dibebaskan. Antonio hanya tahu laporan pembebasan para sandera Indonesia itu. Menurutnya, sepuluh WNI itu diterbangkan ke Zamboanga di mana pesawat pribadi sudah menunggu untuk membawa mereka ke Indonesia. Saat ditanya soal negosiasi, Antonio mengatakan, “Negosiasi? Saya pikir orang Indonesia bernegosiasi dengan mereka (Abu Sayyaf). Kami tidak berbicara tentang uang tebusan di sini,” katanya.
“Nah, inilah sebuah bukti bahwa sebuah upaya operasi tertutup yang dilakukan baik formal maupun informal membuaktikan sangat efektif dan efisien dalam penyelamatan di wilayah yang sangat berbahaya dan rawan. Negara-negara lain perlu meniru langkah Indonesia dalam operasi pembebasan tersebut. Pemerintah Indonesia bahu membahu dengan perusahaan yang mempekerjakan mereka yang disandera, serta mengapresiasi pelaku informal lain yang bersedia ikut membantu, karena memiliki jalur ke hutan di Filipina Selatan. Perkara membayar ataupun tidak, urusannya lain, yang penting sesuai dengan aturan PBB bahwa pemerintah manapun tidak dibenarkan membayar tuntutan teroris,” tandas Prayitno. []