Oleh : J. Kristiadi
Sederet kalimat terdiri kurang dari 40 suku kata, tetapi mempunyai tenaga raksasa dan kedidagyaan yang luar biasa, keampuhannya menakjubkan. Narasi tersebut dikumandangkan para pemuda Indonesia berasal dari seantero nusantara. Mereka berkumpul tanggal 28/10/ 1928 dan bersumpah untuk bersatu. Perisitiwa monumental itu disebut hari Sumpah Pemuda.
Tekad mereka berhasil, fenomena yang dianggap ajaib dan sangat mengagumkan adalah bahasa persatuan adalah bahasa melayu pantai yang penuturnya sangat terbatas. Bahasa tersebut meskipun penuturnya sedikit, tetapi karena kabanyakan pedagang dan nelayan, mobilitas mereka tinggi. Di harapkan bahasa tersebut lebih cepat tersebar diwilayah Indonesia yang lain.
Para pemuda yang mewakili berbagai daerah yang pengujarnya jauh lebih banyak, bahkan belipat-lipat, demi persatuan Indonesia, bahasanya ikhlas tidak dipergunakan sebagai bahasa nasional.
Perjuangan tersebut tidak mudah mengingat struktur masyarakat Indonesia melekat dua faset yang kompleks dan “idiosinkretis”. Pertama, konfigurasi sosial sangat beragam dan merekat identitas primordial, seperti suku, agama, ras, tradisi, adat istiadat,bahasa dan berbagai golongan; bahkan struktur kekuasaan lokal.
Fenomena tersebut tercermin para pemuda yang mewakili daerahnya mempergunakan identitas lokal, seperti Jong Pasundan, Jong Sumatera, Jong Jawa, Jong Celebes, Jong Ambon,Jong Minahasa dan sebagainya.
Kedua, struktur masyarakat Indonesia terbelah oleh kesenjangan yang tajam, antara kelas atas dan kelas bawah, serta struktur feodalisme. Perjuangan membangun Ke-Indonesiaan semakin berat karena konsentrasi generasi muda waktu itu juga terpecah fokusnya karena harus melawan penjajah.
Modal perjuangan para pemuda Indonesia hampir satu abad yang lalu adalah berkobarnya semangat membanguan ke-Indonesia-an. Gerakan tersebut merupakan counter ideology yang selama masa kolonial di hegemoni ideologi pecah belah ( devide et impera).
Gagasan persatuan sangat penting sebagaimana tersirat dalam sepenggal kalimat wanti-wanti Bung Hatta bahwa membangun per-satu-an, bukan per-sate-an. (Majalah Daulat Ra’yat, 20 April 1932). Sindrom per-sate-an hanya sekedar berkumpul menjadi satu karena daya paksa kekuatan ekternal tanpa dilandasi semangat dan tekad mulia.
Persatuan yang dibangun tanpa etos hanya akan mampu menyatukan teritori, tetapi tidak akan mampu mempersatukan hati, semangat dan rasa kebersamaan. Maka persatuan Indonesia harus dilandasi oleh etos dan semangat saling berkorban serta menghargai keragaman. Sehingga budaya, adat istiadat, tradisi, sikap politik dan lain sebagainya diberikan keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Persatuan Indonesia bukan sekedar instrumen politik untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek golongan tertentu.
Semangat Sumpah Pemuda merupakan salah satu engsel sejarah perjuangan kemerdekaan mewujudkan negara bangsa. Persendian sejarah bangsa yang lebih dulu muncul adalah lahirnya Boedi Oetomo, organisasi kemasyaratakan, lahir 20/5/1908.
Kehadirannya, membangkitkan kesadaran masyarakat membangun organisasi sejenis yang jumlahnya semakin banyak, sehingga menjadi pergerakan nasional mewujudkan kemerdekaan. Kiprah politik ini merupakan kristalisasi asketisme para intelektual muda Indonesia yang meyakini merebut kemerdekaan selain dilakukan dengan perlawanan bersenjata, memerlukan juga perjuangan politik. Simbolisasi pergerakan politik ini kemudian hari dikenal sebagai Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei.
Kesinambungan dan tautan antara kedua engsel sejarah tersebut bermuara kepada tujuan utama, Proklamasi kemerdekaan 17/8/1945. Peristiwa historis-fenomenal tersebut mejungkir balikan status hamparan wilayah yang luasnya puluhan ribu kilometer, terdiri lautan dan taburan belasan ribu pulau dan telah berabad-abad turun temurun dihuni manusia yang disebut penduduk; setelah Proklamasi kawasan yang sangat luas tersebut bukan sekedar zone atau area, melainkan entitas politik yang berdaulat, bernama Indonesia. Isinya bukan dinamakan penduduk tetapi disebut warga negara yang berhak dan bertanggung jawab mengelola negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Sumpah pemuda sebagai salah satu engsel sejarah perjalanan bangsa, selama hampir satu abad selalu diperingati setiap tahun. Namun peringatan tersebut biasanya dirasakan hambar karena terbatas kepada upacara yang sarat dengan tata krama, pidato bernuansa retorik serta seremoni lainnya.
Peringatan seharusnya mampu menggugah generasi muda menyerap nilai-nilai peristiwa sejarah yang sangat menakjubkan.Merawat etos dan semangat Sumpah Pemuda sangat diperlukan demi kelangsungan kehidupan bersama mewujudkan kesejahteraan. Keutamaan harus terpateri pada generasi muda agar warisan nilai-nilai difahami, dirasakan, dihayati serta menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari sebagai rutinitas.
Semangat membangun etos nasionalisme perlu dirawat agar tidak mudah terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan karena terminologi sumpah semakin kehilangan tuahya, terutama dikalangan para elit.
Mereka mengucapkan sumpah sekedar melegitimasi kekuasaan negara atau pemerintahan. Pada hal secara maknawi ia adalah pernyataan sakral dan resmi diucapkan secara khidmat dengan bersaksi kepada Tuhan untuk menguatkan kebenaran atau tekad melakukan sesuatu, bahkan berani menderita bila ingkar.
Oleh sebab itu politik pendidikan sejarah sangat mutlak bagi generasi muda agar mereka mampu memahami, merasakan, menghayati serta dan menjadikan semangat persatuan sebagai rutinitas. Modal dasarnya adalah puluhan gererasi muda yang berbakat, berwatak, berketrampilan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jakarta,20 Oktober 2021