Oleh : *Mohamad Siradj Parwito
WARTABUANA – Setiap manusia memerlukan air minum antara 2-3 liter setiap hari. Sekitar 15.000 liter air diperlukan untuk memproduksi satu kilogram daging dan 1.500 liter untuk memproduksi satu kilogram beras. Ketersediaan pangan, energi dan air semakin menjadi prioritas di dalam berbagai agenda internasional, sebab keterkaitan (nexus) ketiganya merupakan isu strategis dan menentukan masa depan global. Ini juga vital bagi kelangsungan pembangunan suatu bangsa.
Delegasi lebih dari 100 negara akan berkumpul dalam pertemuan World Water Forum (WWF) ke-10, tanggal 18-25 Mei 2024 di Bali. Forum dua tahunan ini diselenggarakan oleh negara-negara yang terpilih melalui voting dalam pertemuan World Water Council dan Indonesia terpilih sebagai tuan rumah untuk tahun 2024.
Peserta Forum diharapkan mengeluarkan dokumen akhir “Deklarasi Menteri” yang memuat antara lain isu akses terhadap air bersih dan sanitasi, pentingnya konservasi air, pengelolaan air yang terintegrasi di daerah rentan, termasuk kepulauan, dan saling ketergantungan (nexus) antara air, pangan dan energi.
Penanganan isu ketahanan pangan, energi dan air tersebut bersifat sangat lintas sektoral. Untuk itu, berbeda dengan penyelenggaraan WWF sebelumnya di negara lain, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan pula High-Level Meeting (HLM) yang dihadiri oleh beberapa Kepala Negara/Pemerintah dan pejabat setingkat Menteri dari 52 negara.
Ketiga isu air, pangan dan energi menjadi pijakan pula untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Tekanan terhadap kebutuhan dasar manusia tersebut semakin meningkat dalam 50 tahun terakhir, sehingga menjadi tantangan bagi model perencanaan pembangunan konvensional. Mencoba memenuhi sisi permintaan hanya melalui pendekatan sektoral secara sepihak terhadap proses yang bersifat lintas bidang tersebut, akan menjadi hambatan dalam penyediaan layanan dasar di sektor air, pangan dan energi.
Pada saat yang sama, dampak kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki serta peningkatan konflik sosial dan geopolitik, kian terasa. Di banyak negara, air menjadi isu politik yang sangat sensitif dan menjadi sumber konflik (pembuatan bendungan di hulu sungai, imigrasi akibat kelangkaan air dan saling berebut aquifer).
Jika gagal mengenali dampak keputusan di satu sektor terhadap sektor lain, akan terjadi ketimpangan serius dalam sistem secara keseluruhan. Contoh, kebijakan dalam penyediaan pangan akan mempengaruhi kebutuhan terhadap air dan energi. Pada saat yang sama, cara pengelolaan, penentuan harga dan pendistribusian air akan meningkatkan atau menurunkan kebutuhan terhadap energi. Sementara itu, pengadaan lahan untuk memproduksi “biofuels” akan memengaruhi secara signifikan permintaan terhadap air dan mengorbankan lahan yang sedianya memproduksi pangan.
Ketersediaan air, energi dan pangan masih jauh dari harapan global. Mengingat sekitar 70% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan (diperkirakan sekitar 9,3 milyar pada tahun 2050), permintaan terhadap air, energi dan pangan akan meningkat secara eksponensial. Diproyeksikan akan terjadi peningkatan permintaan sebesar 70% terhadap produk pertanian pada tahun 2050 dan kenaikan 40% terhadap kebutuhan energi pada tahun 2030.
Menurut World Water Forum (WWF), pelayanan mendasar tidak tersedia bagi sebagian besar penduduk dunia. Sekitar 2,6 milyar penduduk tidak memiliki akses terhadap sanitasi. Sekitar 0,9 milyar tidak memiliki akses terhadap air minum dan sedikitnya 1,5 milyar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap sumber energi modern.
Oleh karena itu, masih banyak penduduk yang belum terpenuhi hak asasinya dan terampas kesempatan dalam pembangunan.
Dalam Jalur
Indonesia berada dalam jalur untuk mencapai SDGs, utamanya dalam upaya mengurangi setengah penduduk miskinnya. Namun, masih banyak upaya yang harus dilakukan untuk mencapai SDGs lainnya, khususnya akses terhadap air minum dan sanitasi.
Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi secara berkelanjutan masih belum meningkat secara signifikan. Jumlah penduduk yang menggunakan fasilitasi sanitasi yang lebih baik di wilayah perkotaan dan pedesaan masih jauh dari target yang ditetapkan.
Kota-kota besar di Indonesia semakin meningkat secara signifikan. Penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan mencapai hampir 55 persen dari total jumalh penduduk pada tahun 2020.
Hal ini memberikan tekanan terhadap kebutuhan air yang semakin meningkat. Sayangnya, ketersediaan sumber daya air juga semakin menipis. Masalah kekurangan air akan semakin sering terjadi di kota-kota besar.
Dalam beberapa kasus, sumber mata air bawah tanah tealh digunakan untuk mengatasi kekurangan air tersebut. Namun, penggunaan air yang berlebihan telah mengeringkan sumber mata air dan masuknya air asin di wilayah pesisir. Keputusan untuk memindahkan ibukota ke Nusantara salah satunya untuk mengurangi berbagai tekanan tersebut.
Masalah yang dihadapi tersebut diperparah dengan minimnya anggaran yang tersedia dan fakta bahwa di beberapa wilayah telah mencapai batas maksimum ketersediaan sumber air berkelanjutan.
Maka, diperlukan langkah-langkah inovatif untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Masih ada ruang untuk mencapai standar minimal akses terhadap air, energi dan pangan secara universal, asal ada komitmen politis yang kuat dan lingkungan yang mendukung.
Namun demikian, situasi kini menunjukkan, efektivitas perencanaan dan pembuatan keputusan konvensional telah mencapai batas maksimumnya dan dapat mengganggu prospek pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu diperlukan transformasi dan pendekatan baru. Di antaranya, perubahan dalam pola pikir untuk menerima fakta bahwa pangan, air dan energi saling terakit, harus dikelola secara komprehensif. Kemudian, pengelolaan sisi permintaan untuk lebih mencerminkan sifat air yang terbatas.
Ini memerlukan komitmen politis tertinggi dan aksi terpadu seluruh pemangku kepentingan. Untuk itulah diselenggarakan High-Level Meeting dalam WWF ke-10. Lalu pengelolaan sumber daya air dan lahan untuk mencapai perimbangan antara ketersediaan pangan, energi terbarukan dan pembangunan berkelanjutan. Tak lupa, pengarusutamaan keterkaitan yang semakin meningkat di antara ketiga isu tersebut di setiap perencanaan nasional. Terakhir, kepemimpinan yang kuat untuk menginternalisasikan keterkaitan ketiganya. Pada saat yang sama, perlunya mengarusutamakan Deklarasi Menteri WWF ke-10 tersebut dalam “UN Water Agenda”.
Hanya dengan menerapkan pendekatan keterkaitan (nexus) inilah dapat lebih dipahami saling ketergantungan ketiganya. Lebih lanjut, kebijakan yang tepat yang mempertimbangkan untung-rugi dari berbagai pilihan kebijakan dapat dikembangkan. Sudah mendesak untuk menerapkan pendekatan keterkaitan itu guna menciptakan berbagai peluang baru mencapai ketahanan ketiganya.
Pelaksanaan perspektif keterkaitan (nexus) tidak akan dapat dicapai seketika, diperlukan komitmen terus-menerus. Ada tantangan untuk mengidentifikasi pemecahan masalah yang dapat diterapkan dan mengejawantahkannya menjadi kebijakan yang inovatif dan efektif.
Dengan begitu, dapat memicu perubahan ke arah pembangunan yang lebih koheren. Pada saat yang sama, kearifan lokal harus tetap dipelihara, seperti praktek irigasi Subak di Bali. Di atas semuanya itu, diperlukan kepemimpinan kuat untuk memastikan konsistensi pelaksanaan.
Mengingat perhatian yang tinggi World Water Forum terhadap ketiganya, diharapkan muncul Deklarasi Menteri atas isu tersebut agar diprioritaskan dalam agenda pembangunan nasional setiap negara. Sudah saatnya pula PBB mengadopsi pendekatan keterkaitan ketiganya dan tidak lagi mengotak-kotakkan. []
*Penulis adalah Pemerhati World Water Forum ke-10 / Alumni Fletcher School of Law and Dplomacy – Amerika Serikat.