Oleh *Wina Armada Sukardi
KALAU saja Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan telah berlaku, tak pelak lagi pejabat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, kemungkinan besar bakal ditangkap, ditahan lantas diadili. Apa pasal rupanya? Erma dapat dinilai telah menyebarkan berita tidak pasti, berlebih-lebihan atau tidak lengkap ikhwal kemungkinan terjadinya badai besar, tapi sama sekali tidak terbukti.
Sebelumnya, diprediksi bakal adanya badai besar melanda Jabodetabek “Ramalan” ini awalnya disampaikan peneliti Klimatologi BRIN, Erma Yulihastin, setelah menganalisa data dari Satellite Disaster Early Warning System (Sadewa). Menurut Erma kepada publik, akan ada badai dahsyat yang datang dari Samudera Hindia dan menyapu wilayah Jabodetabek. Lantas dia pun dengan tegas mengingatkan agar warga yang tinggal di Jabodetabek bersiap.
“Warga Jabodetabek, dan khususnya Tangerang atau Banten, mohon bersiap dengan hujan ekstrem dan badai dahsyat pada 28 Desember 2022,” kicau Erma, di akun Twitter miliknya, @Eyulishatin, Selasa (27/12).
Tentu saja berita atau pemberitahuan ini bikin banyak pihak heboh. Berita itu cepat menyebar kemana-mana. Jadi perbincangan utama masyarakat kala itu. Pendeknya, warga panik.
Para banyak karyawan dijadikan bekerja dari rumah /WFH, bahkan ada yang diliburkan. Banyak rencana rapat, dianjurkan untuk diubah cukup melalui zoom saja. Pertemuan bisnis, dinas, pertemanan dan persaudaraan ditunda. Banyak yang mau libur dibatalkan.
Apalagi sesudah adanya “prediksi” itu, penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi yang nampaknya “menghormati” prediksi lembaga resmi pemerintah itu, sampai menyarankan para karyawan yang bekerja di Ibu Kota agar melakukan work from home (WFH) alias kerja di rumah.
Ternyata, oh, ternyata, “prediksi” BRIN soal adanya badai besar yang akan melanda kawasan Jakarta dan sekitarnya pada 28 Desember kemarin, meleset. Tak ada badai yang melanda Jakarta seharian pada saat itu. Ibu Kota dan sekitarnya memang betul diguyur hujan, tapi itu dengan intensitas sedang hingga sedikit lebat. Tak ada banjir bandang sama sekali.
Lantas apa hubungannya denga KUHP baru? Dalam KUHP baru, tindakan semacam Erma itu dilarang dan dihukum sebagaimana diatur dalam pasal 264 KUHP
Untuk lebih jelasnya, disini dikutip lengkap pasal yang dimaksud.
Pasal 264 KUHP berbunyi, “Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap, sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat , _dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III._ ”
Tidak Ada Penjelasan
Apa yang dimaksud dengan “berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap?” Ternyata tidak ada keterangannya sama sekali. Demikian pula tak dijelaskan apa pula yang dimaksud dengan frase “dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat.”
Dalam penjelasan pasal ini cuma disebut, “cukup jelas.”
Ketidakjelasan apa makna berita “berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap” menimbulkan problematik juridis yang berdampak luas terhadap proses pengembangan masyarakat demokrasi.
Kalau ada orang atau pihak yang merasa diberitakan dengan tidak pasti, berlebih-lebihan dan tidak lengkap mengenai dirinya atau badan hukum atau organisasi miliknya, dan melaporkan kepada penegak hukum, siapa yang pantas dan layak menafsirkan berita atau informasi semacam itu? Kalau sudah dilaporkan ke penyidik, pastilah pemaknaan itu berada di tangan penyidik.
Beranikah Melawan Pejabat Tinggi?
Masalahnya, jika yang melaporkannya petinggi pemerintah, dan atau pengusaha gede, beranikah penyidik menolaknya? Tanpa berpraduga negatif, diragukan ada penyidik yang berani menolak laporan pejabat tinggi pemerintah dan atau pengusaha gede soal ini. Apalagi sebelum melapor mereka biasanya sudah lebih dahulu “koodinasi” dengan pihak penyidik.
Lalu bagaimana jika hal itu dilakukan oleh pejabat pemerintah sendiri? Misal pada kasus Fredy Sambo pihak Polri yang sebelumnya masih percaya kepada Sambo, lantas menyiarkan berita penembakan oleh Sambo berdasarkan informasi dari Sambo. Faktanya, tidak demikian. Berarti ada informasi yang “tidak pasti, berlebih-lebih dan tidak lengkap.” Apakah pejabat Polri dapat berlindung di balik “menjalankan perintah perundang-undangan?”
Demikian juga Erma yang sudah menyebarkan berita yang “tidak pasti, berlebih-lebihan dan tidak lengkap” sehingga sampai begitu menggetarkan masyarakat banyak, tetapi ternyata meleset jauh? Adakah dia dapat berlindung di balik ketentuan kekebalan “menjalankan tugas sesuai perundang-undangan?”
Ini belum soal tafsir “dapat menimbulkan kerusuhan.” Rumusan ini jelas, tidak perlu benar-benar terjadi kerusuhan. Cukup jika dinilai “dapat” menyebabkan “kerusuhan di masyarakat” sudah cukup memenuhi pasal ini. Pihak yang dituding sudah dapat dijerat pasal ini. Kemungkinan “kerusuhan semacam apa” yang bakal terjadi, dalam rumusan ini menjadi sudah tidak penting lagi.
Begitu dianalisis pihak berwenang “dapat terjadi kerusuhan” langsung dapat dipakai untuk memenuhi unsur “dapat menimbulkan kerusuhan.”
Sudah “dibuang” UU Pers
Jika pasa 264 KUHP diterapkan untuk pers lebih rumit lagi. Pastilah banyak pers yang akan diadili karena telah membuat berita yang “tidak pasti, berlebih-lebihan dan tidak lengkap.” Sama sekali tidak ada parameter apa itu berita “yang tidak pasti, berlebih-lebihan dan tidak lengkap.”
Waktu kejuaraan dunia sepak bola lalu, begitu banyak pers membuat “analisis” dan atau “prediksi” terhadap kemungkinan kesebelasan negara mana yang bakal juara. Demikian juga jika ada pertandingan antara negara yang menarik, muncul berbagai ulasan dengan ragam sudut pandang dan data yang berkaitan. Hasilnya? Sebagian “prediksi” itu meleset jauh alias tak terbukti sama sekali. Padahal dari kasus berita sepak bola pun dapat mendatangkan kerusuhan.
Jika tiga tahun lagi KUHP baru sudah berlaku, pekerjaan pers yang semacam ini boleh jadi ada yang menafsirkan pers juga dapat dikenakan pada 264 KUHP ini, sehingga pers pun dapat ditahan, diadili dan dihukum! Maka bakal banyak insan pers yang bakalan terkena hukumnya.
Masyarakat pers sendiri sudah sejak awal menyatakan pasal ini termasuk salah satu pasal yang bermasalah untuk menegakkan masyarakat demokrasi, terutama untuk pelaksanaan kemerdekaan pers.
Oleh sebab itu, masyarakat pers menilai, ketentuan ini tidak berlaku bagi pelaksanaan kemerdekaan pers. Filosofi dan argumentasinya, untuk bidang pers berlaku UU Pers No 40 Tahun 1999 yang bersifat lex primaat atau lex priviil. Artinya, sepanjang ada dan dapat diatur dalam UU Pers maka yang berlaku bagi pers adalah UU Pers.
Tiga Kekuatan
Filosofi ini sudah memiliki tiga kekuatan dasar dan atau bukti.
Pertama, keputusan-keputusan Mahkamah Agung (MA) soal pers telah menegaskan UU Pers merupakan lex primaat atau lex priviil. Artinya UU Pers merupakan UU yang diutamakan, dikedepankan jika menyangkut pers.
Kedua, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah menguatkan UU Pers bersifat swaregulasi atau mengatur diri sendiri.
Dengan kata lain, bagi pers berlaku ketentuan yang sesuai dengan pasal 12 ayat (2) huruf “f” UU Pers sebagaimana telah diuji di MK.
Ketiga, rumusan pasal ini sudah pernah diajukan dalam proses pembahasan UU Pers No 40 Tahun 1999. Dalam proses pembahasan UU Pers, rumusan ini sudah disepakati semua pihak, sangat berbahaya bagi pers. Hal ini lantaran tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud “berita tidak pasti, berlebih-lebihan, dan tidak lengkap.”
Waktu itu rumusan pasal seperti ini dianggap bersifat “karet” yang dapat ditafsirkan terlalu lebar, kemana-mana serta tidak sesuai dengan sifat hakekat pers sendiri. Itulah sebabnya pasal ini tegas dikatagorikan sebagai pasal yang membahayakan bagi kemerdekan pers.
Maka ketika itu pemerintah dan DPR sepakat “membuang” rumusan pasal ini. Dokumen pembahasan soal ini sampai sekarang masih tersimpan rapi dan dapat dipelajari oleh siapapun, termasuk oleh para perancang KUHP, kalau berminat.
Aneh bin ajaibnya, pasal yang sudah “dibuang” pemerintah dan DPR saat membahas UU Pers, kini malah “dipungut” kembali oleh pemerintah dan DPR, dan bahkan dimasukan menjadi rumusan hukum positif dalam KUHP baru.
Seandainya para perancang KUHP mau mendengar tokoh pers dan atau ahli hukum pers saat membahas RUU KUHP Baru, mungkin sejarah akan berjalan berbeda.
Apakah dimasukkannya rumusan yang sudah pernah dibuat dalam proses pembahasan UU Pers, sebuah “kemajuan, ” ataukah sebuah “kemunduran?”
*Penulis adalah pakar hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik