Oleh : J Kristiadi
DISKURSUS politik yang selalu aktual dan akan selalu up to date dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun yang akan datang setiap memperingati hari kelahiran ABRI 5 Oktober adalah bagaimanakah wujud dan bentuk peran politik ABRI dalam masyarakat yang semakin menuntut peningkatan proses demokratisasi. Beberapa pokok permasalahan yang berkaitan dengan isu tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, bagaimanakah ABRI sebagai kekuatan sosial politik menjalankan fungsi-fungsi sebagai layaknya organisasi politik, khususnya partai politik, antara lain bagaimana ABRI melakukan sosialisasi dan komunikasi politik dengan masyarakat. Kedua, bagaimana ABRI melakukan akuntabilitas kepada masyarakat berkenaan dengan anggota-anggota ABRI yang duduk di DPR. Mengingat kedudukan ABRI di lembaga tersebut bukan mewakili ABRI melainkan mewakili rakyat.
Dinamika Perubahan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan sosial politik telah menjadi bagian dari tradisi politik di Indonesia. Peranan yang diawali sejak keikutsertaan ABRI dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kemudian mendapat pengukuhan yang bersifat legal konstitusional, baik dalam ketetapan-ketetapan MPR maupun peraturan perundangan lainnya. Dalam perkembangannya, peran tersebut dapat dikatakan telah diterima oleh masyarakat sebagai suatu realitas politik. Peranan politik ABRI semakin menonjol karena berkat dukungan ABRI, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan pemerintah yang kuat dan stabil selama lebih kurang tiga dasawarsa, sehingga program-program pembangunan ekonomi secara relatif berhasil dilaksanakan.
Sejalan dengan perkembangan dinamika masyarakat yang disebabkan oleh karena semakin meningkatnya tingkat kesadaran politik, peran politik ABRI dewasa ini oleh sebagian masyarakat dirasakan terlalu mendominasi kehidupan politik. Sistem politik demokrasi Pancasila yang mengasumsikan bekerjanya mekanisme check and balance di antara lembaga-lembaga politik dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks semacam itulah golongan-golongan menengah menggugat peranan politik ABRI untuk ikut serta lebih aktif mendemokrasikan masyarakat.
Sikap kritis masyarakat beberapa tahun terakir ini antara lain dilatarbelakangi oleh penilaian sementara kalangan masyarakat bahwa fungsi sosial politik ABRI dalam perkembangannya dianggap cenderung mewujud hanya dalam hal menempatkan sebanyak-banyaknya anggota keluarga besar ABRI di lingkungan birokrasi serta organisasi kemasyarakatan.
Padahal ABRI pasca-1945 dipandang tidak mempunyai ikatan emosional dengan sejarah perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan yang merupakan andil dari Angkatan 1945. Dengan demikian ABRI generasi pasca-1945 dianggap tidak mempunyai hak istimewa dalam mengelola negara. Kalaupun peran politik ABRI dikaitkan dengan komitmen ABRI sebagai pembela ideologi negara, di kalangan sipil pun tidak kurang mereka yang mempunyai sikap dan komitmen yang sama patriotiknya dengan ABRI.
Sebab itu ABRI generasi pasca ’45 sejalan dengan perkembangan dinamika masyarakat dituntut mempunyai legitimasi politik yang tidak hanya mengandalkan warisan sejarah masa lalu, melainkan lebih mengacu kepada kemampuan ABRI mengakomodasikan tuntutan masyarakat mengenai keterbukaan, demokratisasi dan emansipasi. Pada masa yang akan datang diperkirakan proporsi kelas menengah akan semakin besar, dan karena itu bila ABRI ingin tetap berperan dalam kehidupan politik, ABRI dituntut mempunyai profesionalisme yang lebih lengkap, dalam arti ABRI perlu mengembangkan profesionalisme yang setara di bidang hankam.
Peningkatan profesionalisme di bidang hankam untuk mengantisipasi perkembangan teknologi persenjataan yang semakin canggih, sementara itu peningkatan profesionalisme di bidang politik untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan politik yang semakin kompleks baik karena perkembangan dinamika politik internal maupun global.
Dinamika politik internal terjadi karena bertambahnya jumlah kelas menengah di kalangan masyarakat sipil, dan karena itu secara natural akan menuntut perluasan partisipasi politik. Sementara itu perkembangan global pada dimensi politik akan semakin meningkatkan tuntutan keterbukaan, demokratisasi dan emansipasi.
Sedangkan pada dimensi ekonomi akan terjadi persaingan yang semakin ketat di antara negara-negara dalam memperebutkan peluang-peluang ekonomi dalam tatanan ekonomi dunia yang semakin liberal. Oleh karena itu fungsi sosial politik ABRI pada masa yang akan datang tergantung dari kemampuan dan persamaan persepsi antara ABRI dan lapisan elite sipil dalam mengidentifikasikan kepentingan nasional, sasaran pembangunan, termasuk ancaman dan tantangannya. Ini berarti implementasi dwifungsi ABRI bersifat dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat.
ABRI sebagai kekuatan sosial politik berarti ABRI harus mampu bertindak sebagai organisasi politik yang pada pokoknya mempunyai kemampuan menyerap, memadukan dan menyalurkan aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Namun karena ABRI pada dasarnya adalah organisasi kader yang tidak mempunyai basis massa, maka Golkar yang selama ini menjadi instrumen ABRI untuk menjadi ujung tombak pembaharuan kehidupan politik menuju semakin terwujudnya masyarakat yang demokratis perlu ditekankan beberapa penegasan sebagai berikut.
Pertama, jalinan hubungan antara ABRI dan Golkar yang bersifat ideal berupa komitmen terhadap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila harus selalu diperkukuh. Artinya, hubungan timbal balik antara ABRI dan Golkar diharapkan di satu pihak akan semakin meningkatkan kepekaan ABRI terhadap tuntutan dan perkembangan masyarakat, sementara itu bagi Golkar diharapkan akan semakin kuat komitmennya terhadap ideologi Pancasila.
Kedua, sejalan dengan tingkat perkembangan masyarakat sudah sepantasnya Golkar semakin lama menjadi kekuatan sosial politik yang mandiri dalam arti tidak sepenuhnya tergantung dari kekuatan di luar dirinya baik birokrasi pemerintah, dan terutama ketergantungan dari ABRI. Hal ini sesuai dengan alasan utama didirikannya Golkar oleh ABRI adalah perwujudan dari komitmen ABRI untuk melakukan proses demokratisasi. Dengan semakin mandirinya Golkar sebagai kekuatan sosial politik diharapkan pemilihan umum akan semakin kompetitif, dan karena itu pada gilirannya akan semakin meningkat pula sistem politik yang mengacu pada sistem check and balance dari kekuasaan penyelenggaraan negara.
Ketiga, keanggotaan ABRI sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya diintegrasikan dalam wadah organisasi Golongan Karya. Hal ini akan mempermudah anggota ABRI untuk memberikan akuntabilitas kepada rakyat. Dalam hal ini ABRI yang duduk dalam Lembaga Perwakilan Rakyat bukan lagi hanya mewakili ABRI melainkan mewakili rakyat. Oleh sebab itu ABRI yang akan duduk dalam Lembaga Perwakilan Rakyat sebaiknya dipensiun terlebih dahulu. Sebab kehadiran ABRI dalam Lembaga Perwakilan Rakyat yang diutamakan bukanlah penampilan ABRI secara fisik dan formal melainkan gagasan-gagasan yang dilandasi oleh semangat kebangsaan dan komitmennya kepada ideologi Pancasila dan kepentingan rakyat.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan peningkatan proses demokratisasi di lingkungan ABRI perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, agar ABRI yang bertugas di bidang politik tidak terlalu terikat kepada jalur komando. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat lebih leluasa menyampaikan gagasan dan pendapat-pendapatnya tanpa merasa takut melanggar disiplin organisasi.
Kedua, seleksi bagi anggota ABRI yang akan ditugaskan dalam bidang sosial politik sebaiknya dilakukan mulai dari sejak pendidikan di Akabri. Oleh karena itu kurikulum di Akabri mengenai masalah-masalah nonmiliter yang proporsinya lebih kurang 60 persen dari keseluruhan muatan kurikulum taruna, seyogyanya diperdalam lagi pada jenjang pendidikan kedinasan yang lebih tinggi (Sislapa-Kursus Lanjutan Perwira Pertama). Bahkan kalau perlu diberikan pula keterampilan yang berkaitan dengan tugas-tugas politik di masa yang akan datang, seperti keterampilan berdebat atau berdiskusi, berargumentasi dan sejenisnya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan tugas-tugas di bidang sosial dan politik.
Ketiga, kebijakan pengembangan profesionalisme yang dikaitkan dengan karier ABRI yang ditugaskan di bidang sosial politik. Sebagaimana dimaklumi bahwa perputaran penugasan di lingkungan ABRI sangat cepat.
Hal itu dapat dimengerti karena seorang anggota ABRI yang akan memegang pimpinan semakin lengkap pengalamannya akan semakin baik dalam menjalankan tugas nantinya. Namun hal itu kiranya tidak diberlakukan bagi mereka yang ditugaskan dalam bidang sosial politik. Justru mereka yang ditugaskan dalam bidang ini memerlukan waktu yang cukup lama tidak saja untuk menguasai persoalan-persoalan politik yang berkembang melainkan diperlukan pula kepekaan dan kemampuan menangkap nuansa-nuansa yang berkembang dalam masyarakat. Dengan mutasi perputaran yang sedemikian cepat, mereka yang mendapatkan tugas di bidang sosial politik akan sangat sulit untuk menghayati tugasnya. Persoalan politik adalah persoalan yang pelik dan kompleks dan karena itu memerlukan ketekunan dan pengalaman yang cukup untuk menanganinya. Namun demikian karier dan masa depan mereka perlu diperhatikan. Dengan demikian generasi muda ABRI yang ditugasi di bidang politik akan memperoleh kesempatan mengembangkan karier yang sama dengan mereka yang bertugas di bidang pertahanan keamanan.
Jadi, mengembangkan karier di ABRI tidak saja harus melalui jalur komando tetapi dapat juga melalui jalur politik. Dengan semakin dihargainya ABRI yang menekuni di bidang politik akan semakin diperoleh generasi muda ABRI yang mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan mereka yang bertugas di bidang pertahanan keamanan.
Berjiwa Besar
Peran ABRI dalam kehidupan politik selama lebih kurang tiga dasawarsa telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi proses perubahan sosial di Indonesia berupa kemampuan ABRI dalam menjaga kualitas stabilitas politik. Bertumpu kepada stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru telah berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan secara relatif konstan, dan pada gilirannya menghasilkan golongan-golongan menengah yang mempunyai daya kritis yang semakin tinggi serta secara alamiah mempunyai tuntutan untuk meningkatkan proses demokratisasi.
Manifestasi dari tingkat daya kritis masyarakat antara lain mempersoalkan eksistensi dan peran politik ABRI itu sendiri. Pada tingkat tertentu kadang-kadang kritik masyarakat tersebut di satu sisi dirasakan oleh jajaran ABRI sebagai hal yang menyakitkan, namun di sisi lain harus diingat bahwa kritik-kritik tersebut lahir sebagian justru karena keberhasilan peran sosial politik ABRI. Oleh karena itu ABRIharus mempunyai jiwa besar dalam menerima kritik-kritik tersebut karena hal itu adalah buah yang dihasilkan dari jerih payah dan pengorbanan selama tiga puluh tahun.
Sebab itu, agenda ke depan yang sangat penting adalah kemampuan ABRI menyusun strategi dan perencanaan jangka panjang mengenai peran politik ABRI agar sejalan dengan perkembangan dan dinamika politik masyarakat yang semakin menuntut keterbukaan dan demokrasi. Dengan mempunyai strategi dan perencanaan tersebut ABRI diharapkan akan selalu menangani masalah-masalah politik secara konsepsional dan memberikan arah yang jelas bagi peran ABRI sendiri di masa yang akan datang.
Pada akhirnya peran politik ABRI di masa depan akan tergantung dari interaksi antara generasi muda ABRI dan non-ABRI yang akan menimbulkan suatu persepsi dari kedua belah pihak mengenai masa depan bangsa ini. Secara ideal dapat dibayangkan bahwa generasi muda ABRI akan semakin mempunyai sikap dan pandangan demokratis, sementara itu generasi muda non-ABRI akan semakin meningkatkan wawasan kebangsaannya. Dinamika interaksi yang demikian diharapkan akan menemukan bentuk peran politik ABRI yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.[]
Pernah dipublikasi di KOMPAS, 05 Oktober 1996