Oleh : J Kristiadi
SEAKAN sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia, menjelang peristiwa pemilihan umum dan sidang umum MPR (atau apa pun sebutannya) rakyat selalu dihantui rasa cemas, takut, khawatir, atau perasaan sejenis, campur aduk menjadi satu. Perasaan waswas semacam itu amat mudah dipahami karena trauma masa lalu. Kedua jenis peristiwa itu telah menghancurluluhkan ribuan bangunan (bahkan mungkin puluhan ribu) serta ribuan manusia meninggal dunia.
Kedua peristiwa itu seolah-olah mengubah masyarakat yang semula hidup rukun-rukun, tiba-tiba menjadi bengis dan buas terhadap sesamanya. Trauma masyarakat tak dapat dilepaskan oleh rekayasa dan rekapaksa penguasa untuk menciptakan kondisi seperti itu agar Pemilu dan SU MPR tetap dapat dimanipulasi menjadi sekadar alat legitimasi pemegang kekuasaan.
Pemerintahan otoriter telah runtuh sejak lebih dua tahun yang lalu. Pemilu dan SU MPR yang relatif demokratis telah dilewati dengan selamat, meskipun saat itu kecemasan masyarakat tidak dapat disembunyikan. Namun, rasa takut dan waswas menghadapi SU tahunan MPR Agustus mendatang masih menghantui masyarakat. Hanya bedanya kalau Pemilu pada zaman Orde Baru rakyat cemas dan khawatir karena rekayasa penguasa, dalam menghadapi SU tahunan mendatang rakyat khawatir karena gontok-gontokan elite politik sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan.
Pertikaian politik dalam berbagai bentuk seperti perebutan kapling di Badan Usaha Milik Negara, intrik politik, saling tuduh: sehat dan tidak sehat (soal kesehatan Presiden Abdurrahman Wahid), ditangkap dan tidak ditangkap (anggota DPR dan MPR), penahanan politik dan jenguk politik (Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin), dan segala macam jenis politiking, muaranya adalah power struggle. Iklim politik menjadi keruh dengan ungkapan-ungkapan elite politik yang saling membidik.
Perpolitikan nasional menjadi tidak berorientasi kepada penggunaan kekuasaan untuk menyelenggarakan kebijakan umum, tetapi menggunakan ungkapan-ungkapan panas untuk menyerang lawan politik guna memperoleh, mempertahankan atau bahkan untuk memperkuat kekuasaan itu sendiri. Bila kecenderungan semacam ini terus dibiarkan, maka sidang tahunan MPR hanya akan menjadi arena power struggle. Elite politik hanya memburu kekuasaan demi kekuasaan sendiri dan dipenuhi kepentingan politik sempit.
Sementara itu, persoalan yang dihadapi rakyat banyak amat konkret dan mendesak, seperti jutaan penganggur yang makin bertambah jumlahnya, jutaan anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah, makan tiga kali sehari menjadi barang mewah, kemustahilan rakyat mencari keadilan dan sebagainya. Semua persoalan itu bertumpuk menjadi satu sehingga rakyat frustrasi dan menjadi agresif, antara lain dalam bentuk kekuasaan komunal dan anarkis sosial.
Selain itu, betapa mudahnya kini anggota masyarakat membuat senjata rakitan, bom rakitan, membeli senjata api, dan kalau perlu merebut senjata dari gudang senjata militer, seperti terjadi di Ambon. Hal itu akan mudah menjadi ledakan dahsyat bila persoalan yang dihadapi rakyat tidak segera diatasi. Artinya, revolusi sosial sudah di depan mata. Konkretnya, bila pertarungan elite politik tidak segera diakhiri, bangsa ini akan tenggelam dalam keterpurukan yang sangat dalam, dan sulit untuk dapat bangkit kembali.
***
KARENA ITU, untuk sementara jeda politik menjadi sangat urgen dilakukan. Jeda politik tidak berarti dialog, debat, diskusi atau kritik masyarakat dan segala jenis wacana politik dihentikan. Tidak demikian. Jeda politik dimaksudkan agar pertarungan politik elite yang memburu kekuasaan dengan mengabaikan kepentingan, keprihatinan dan jeritan rakyat itulah yang dihentikan. Intinya, agenda perebutan kekuasaan untuk kepentingan subyektif harus segera dihentikan. Lalu apa sebaiknya agenda politik sidang tahunan MPR mendatang?
Dengan memahami persoalan mendesak yang dihadapi rakyat, sidang tahunan MPR mendatang harus dijadikan momentum untuk mengambil keputusan yang segera dapat mengatasi masalah yang secara konkret dihadapi rakyat sehari-hari. Aspek penting lain yang perlu dilakukan adalah membangun moral politik baru dan solidaritas sosial.
Hal ini sangat penting mengingat rakyat yang telah menderita akan dituntut lebih menderita lagi. Daya beli rakyat yang rendah akan dihadapkan dengan kenyataan kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari karena berkait dengan berbagai pencabutan subsidi bahan bakar minyak dan lainnya. Hanya dengan membangun solidaritas sosial dari seluruh elemen bangsa ini, rakyat akan bersedia diajak bersabar dan tekun menunggu datangnya kesejahteraan dan demokrasi.
Kegagalan mewujudkan reformasi dalam bentuk yang dapat dirasakan rakyat, terutama dalam menjawab tuntutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, rakyat akan menjadi tidak peduli dan bahkan tidak percaya dengan reformasi atau demokrasi. Dan hal itu hanya akan mengundang kekuasaan tirani baru atau anarki sosial yang sangat sulit dikendalikan. Artinya, janin demokrasi yang baru saja lahir, dimatikan oleh ibunya sendiri, bila jeda politik untuk sementara tidak dilakukan.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 10 Juli 2000.