JAKARTA, WB – Tahun 2013 merupakan tahun sulit bagi industri penerbangan Indonesia. Harga bahan bakar bnaik (BBM) naiks ehingga memukul daya beli masyarakat. Selain itu, harga avtur juga naik selain dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah di dalam negeri. Intinya, biaya operasi bertambah sedang pendapat cenderung turun.
“Bisa dibilang dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Beberapa maskapai berhenti beroperasi dan tengah mencari investor. Kementerian Perhubungan membeberkan alasan mengapa sektor ini mengalami masa-masa sulit. Secara umum berada pada posisi sulit. Kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat turun drastis,” kata Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, Djoko Murdjatmodjo dalam acara Press Background di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (4/6/2014).
Tahun lalu, ada 54 rute penerbanagn ditutup tidak termasuk Batavia Air. Selain itu, Maskapai Merpati Nusantara Airlines (MNA) juga dalam kondisi sulit bahkan tidak terbang sejak Februari 2014 silam. Semua itu merupakan akumulasi dari berbagai masalah di dalam negeri dan pihak airlines ikut terkena dampaknya. Sky Aviation juga sudah tidak terbang sejak akhir tahun silam.
“Kondisi itu benar-benar paling beras bagi industri penerbangan nasional, sejak era keterbukaan tahun 2000-an silam. Sejak saat itu, arus penumpang udara nasional terus bertambah, naiknya di atas 10-15%. Namun karena hantaman berbagai kasus dan memburuknya ekonomi nasionald an dunia, maskapai penerbangan nasional harus berjuang ekstra keras.
“Mereka harus melakukan efisiensi di semua lini, restrukturisasi usaha dan menempuh berbagai terobosan untuk tetap ebrtahan,” papar Djoko.
Dia memaparkan, pada 2010 industri penerbangan tumbuh 18,2%. Kemudian 2011 turun menjadi 16,27%. Lalu pada 2012 kembali naik menjadi 18,65%. Namun pada 2013, industri ini hanya tumbuh 6,09%. “Di sini kita drop cukup banyak. Tetap tumbuh tapi tidak besar,” kata Djoko.
Pihak maskapai sendiri memutar otak untuk melakukan efisiensi demi keberlangsungan bisnis. Upaya yang dilakukan di antaranya restrukturisasi rute-rute yang diterbangi. “Akhirnya mengurangi dan restrukturisasi rute, mencoba peluang di rute lain. Tapi tetap pertumbuhannya tidak siginifikan,” tutur Djoko.
Kenaikan harga avtur, lanjut Djoko, juga berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan industri penerbangan. Penumpang akan mengalihkan skala prioritas dengan memilih moda yang lebih murah untuk bepergian. “Dari sisi airline kesulitan harga avtur naik. Dolar juga menguat,” ucap Djoko.
Djoko menambahkan, tahun ini kondisi industri penerbangan berangsur membaik. Ini ditandai dengan pertumbuhan penumpang pada Januari sebesar 18% dibandingkan periode yang sama pada 2013.
“Saya punya data, Januari 2014 penumpang 6,6 juta dibanding dengan 2013, dia naik hampir 18%. Kondisi ini diharapkan bisa meningkat pada bulan-bulan selajutnya,” tandas Djoko.[ib]